Etnis.id - Kematian di Bali sungguh erat dengan pembakaran jenazah alias ngaben. Sewaktu kecil, saya biasa melihat tradisi itu di televisi. Apalagi di drama-drama kolosal yang berbau Hinduisme.
Makin lama saya bertanya untuk apa sebenarnya membakar seorang mayat? Jika sudah jadi abu, akan dikemanakan abunya? Filosofi dan pelajaran apa yang didapat dari ritual itu?
Salah satu cerpen menarik yang pernah saya baca perihal jenazah dan abunya adalah karya Martin Aleida "Melarung Bro di Nantalu". Abu jenazah dalam cerpen itu, akhirnya dilarung ke laut. Ceritanya sungguh menggugah emosi.
Berbicara soal ngaben, sama halnya dengan kelahiran, meskipun diselimuti duka yang mendalam, kematian juga disambut dengan berbagai ritual besar.
Anda boleh mencarinya di mesin pencari jika ingin melihat sekilas saja. Intinya, dari segi budaya, tradisi ini menarik. Kita boleh berdebat soal prosesi, tetapi pelajaran yang didapat sebaiknya diambil dan direnungi.
Masyarakat Hindu di Bali menjadikan ngaben sebagai sarana belajar tentang bagaimana caranya melepas dengan ikhlas orang yang sudah tidak bernyawa.
Upacara ngaben jika ingin diperas pesannya, bisa bermakna orang yang ditinggal telah ikhlas akan sebuah kepergian. Makanya yang ditinggal merasa harus membuat perkabungan untuk terakhir kali.
Setelah tumbuh dewasa, pandangan saya meluas. Menilai ngaben hanya pembakaran mayat saja kurang tepat. Alasannya, ada tradisi ngaben tanpa melalui pembakaran.
Dilansir dari beberapa sumber, beberapa desa di Bali ternyata ada yang menjalankan ritus ini tanpa diikuti pembakaran jenazah. Seperti di desa sekitar Gunung Agung, Badung Selatan, atau beberapa desa lain yang berada di kawasan perbukitan.
Asal muasal ngaben tanpa dibakar ini ternyata dilatarbelakangi oleh beberapa mitos yang berkembang yakni hasil abu pembakaran jenazah akan mengotori kesucian Pura Kahyangan Jagat, yang merupakan sebuah Pura Luhur yang ada di Uluwatu, sebuah kawasan di Gunung Agung.
Ngaben tanpa dibakar ini mengandung filosofi yang sangat dalam. Sebenarnya yang dibakar adalah raganya, bukan jiwanya. Memang banyak yang menafsikan pembakaran raga ini kerap disamakan dengan pembakaran fisik. Padahal, raga ini sendiri mengandung makna sebagai nafsu, indriya.
Lantas di mana keberadaan raga fisik setelah itu. Raga fisik akan dikembalikan ke bumi pertiwi dengan dikubur di dalam tanah, atau dengan melalui akasa, sebuah cara masyarakat Trunyan yang meletakkan jenazah di dalam alam terbuka.
Dalam sumber lain disebutkan, jika ngaben asal muasalnya dari kata “beya” yang memiliki makna biaya atau kekal. Sebagai orang awam, tentu kita semua menyimpan pertanyaan akan ritus ini.
Dalam definisi umum, ngaben merupakan sebuah proses kembalinya manusia ke Panca Mahabhuta (lima elemen dasar pembentuk alam), serta mengantarkan kembali Atma (Roh) ke dalam Pitra dengan badan duniawi yang menjadi perantaranya.
Saat kecintaan atma terhadap dunia, maka ia akan kembali ke asal muasalnya, yaitu alam Pitra, alam ruh tetua dulu. Dalam hal ini tujuan utama dari upacara ngaben, tidak lain supaya Raga Sarira (badan kasar) bisa kembali kepada Panca Maha Bhuta.
Mengenai praktik ritualnya, ngaben akan dilaksanakan dengan meriah bersama dengan ratusan bahkan ribuan orang yang terdiri dari saudara atau penduduk setempat.
Yang biasanya jenazah dibakar, kini hanya dikuburkan. Meskipun hanya dikubur, akan tetapi ritual upacaranya juga sama dengan pelaksanaan ngaben pada umumnya.
Seusai jenazah dikuburkan, semua perlengkapan yang digunakan kemudian dibuang ke tengah laut. Kegiatan ini menjadi sebuah simbol jika semua akan kembali ke alam semesta.
Proses ritual akan diawali dengan mempersiapkan semua perlengkapan untuk acara. Jika sudah, maka jenazah akan ditempatkan di dalam wadah dari rangkaian kayu, bambu serta kertas hias.
Setelah itu, jenazah kemudian diarak menuju kuburan. Keberadaan warga yang ikut serta dalam proses arak-arakan ini menjadi sebuah daya tarik tersendiri. Selepas diarak, jenazah dikuburkan.
Ngaben hanya khusus dilaksanakan oleh agama Hindu yang merupakan agama mayoritas di Pulau Dewata. Ritual ini sudah diterapkan sejak dahulu dalam agama Hindu di India. Hingga akhirnya diikuti oleh agama Hindu di Bali.
Yang membedakan, jika di Bali, masih ada alternatif untuk menunggu sementara waktu, asal tidak boleh lewat setahun. Hal ini agar keluarga bisa berkumpul utuh dan mendapatkan hari baik.
Hal ini dilakukan dengan tujuan supaya tidak ada hal yang mengganjil nantinya. Mayat yang dikuburkan ini juga diberikan upacara khusus yang dikenal dengan nama tirtha pangentas.
Lebih dari itu, proses kembalinya raga sasira kepada alam juga berlangsung di dalam upacara ini. Mengenai makna dan tujuan dari ngaben, tidak bisa dimungkiri jika ngaben menyimpan makna pokok yang sangat luas.
Pertama, ngaben bertujuan untuk melepaskan Sang Atma dari ikatan duniawi. Kedua, untuk bisa mendapatkan keselamatan serta kesenangan. Ketiga, supaya manusia mendapatkan surga dari Sang Pitra.
Dalam pelaksanaan ngaben, sudah tidak ada keluarga yang menangis. Mereka ikhlas melepaskan dan yakin jika mayat hanya tidak ada dalam beberapa saat saja, hingga akhirnya menjalani reinkarnasi yaitu proses kehidupan berulang untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
Editor: Almaliki