Denyut forum diskusi musik Bukan Musik Biasa (BMB) telah genap berjalan 100 episode. Kehadirannya menjadi satu dari sekian banyak forum yang jauh dari kemegahan gemerlap panggung musik mainstream.

Berbicara BMB sama halnya menantang nyali si komposer. Forum dialog musik 2 bulan sekali ini bak kawah candradimuka, oleh karena itu tak sembarangan orang berani tampil atau asal manggung.

Bukan hanya meyuarakan musik dalam susunan bunyi semata, namun sang komposer tentu harus siap untuk beradu argumen dan mempertanggungjawabkan ihwal bermusiknya. Barangkali pula, pantas disematkan jika BMB disebut sebagai laboratorium musik. Darinyalah pengalaman ide-ide musikal dari para komposer dituangkan, saling berkelindan, bahkan menantang untuk diperdebatkan.

Latar belakang hadirnya forum diskusi musik yang diinisisi oleh almarhum I Wayan Sadra ini berangkat dari krisisnya para kreator musik untuk mendedahkan karya-karyanya. Sadra dikenal tegas dalam hal bunyi dan musik. Terbukti lewat tangan dingin dan ketajaman naluri komposernya, ia melahirkan karya-karya berkelas dunia dengan grupnya Sonoseni Ensembel.

Karya yang tak hanya menawarkan bunyi saja, tetapi ia juga menawarkan wacana yang dibangun di balik bangunan bunyi yang ia rangkai. Bersama Sonoseni inilah ia menjelajah panggung musik hingga gelar komposer dunia melekat pada namanya. Bebaskan musik dari beban kulturalnya adalah salah satu wacana yang ditawarkan oleh Sadra dalam bermusik termasuk juga menjadi dasar dalam menyelenggarakan BMB.

Surutnya forum-forum musik di Indonesia juga menjadi latar belakang lahirnya forum dialog musik Bukan Musik Biasa ini. Waktu itu, semangat diskusi forum Pekan Komponis Muda (PKM) mulai meredup. PKM merupakan forum musik yang mengedepankan kebebasan kreativitas pada waktu itu.

Pada tahun 2000-an sudah tidak ada forum seperti PKM yang mencetak komposer kreatif dan berani bereksperimen bagi banyaknya jenis musik yang berkembang. Hal ini yang pada akhirnya direspon oleh I Wayan Sadra dan berujung pada didirikannya forum Bukan Musik Biasa.

Pertarungan dan Perjuangan Masyarakat Musik

Forum BMB menjadi kawah yang menantang adu debat inteletual komposer dalam menyelami pengetahuan bermusiknya. Kelindan pengalaman-pengalaman musikal dituangkan, ide dan gagasan dipertaruhkan, dan tidak kalah penting membawa wacana musik yang ditawarkan.

Musik yang dimainkan dan wacana apa yang ditawarkan dari musik tersebut menjadi bagian penting dalam gelaran BMB ini. Bukan ruang penghakiman karya musik, tetapi lebih pada ruang berbagi dan belajar mempertanggungjawabkan karya musik yang diciptakan.

Pertarungan ide dan wacana menjadi menarik antara sang komposer dan semua peserta diskusi yang di dalamnya terjadi saling tukar wawasan musik baik secara tekstual maupun kontekstual.

Dalam pertarungan ide dan wacana pasti lekat dengan perbedaan perspektif yang itu sangat lumrah, namun justru dari situlah muncul stimulus baru sebagai referensi menciptakan karya musik lagi dikemudian hari.

‌BMB tidak boleh disepelekan. Semua orang yang mengaku komposer tentu harus belajar kepada BMB. BMB tak ubahnya seperti katalog musik dunia dengan berbagai genre, berbagai kultur, berbagai budaya, dan berbagai bunyi-bunyian dari berbagai belahan dunia.

BMB menjadi ruang perjumpaan berbagai tampilan musik-musik yang boleh dibilang nyeleneh, absurd, namun punya bobot tendensi. Bisa dilihat setiap penampilan komposer-komposernya dari Abdul Sjukur, Tanto Mendut, Djaduk dan Kuaetnika, rombongan Gangsa Dewa, Rahayu Supanggah, maupun komposer-komposer antar berbagai negara.

Danis Sugiyanto membawakan karya I Wayan Sadra pada gelaran BMB #100/ Mukhlis Anton Nugroho 

Forum ini tak berbayar, tapi mampu menjadi contoh poros diskusi musik yang berbobot kualitas intelektual tinggi. Dahulu, Sadra semasa masih mengurusi BMB, enggan disponsori dari perusahaan manapun lantaran tak ingin terkontaminasi oleh politik uang.

Spirit yang selalu ditanamkan oleh Sadra dalam acara BMB adalah kebersamaan dalam sebuah proses pencarian ide gagasan bermusik. Menurut Sadra, uang adalah pengganggu karena prasangka yang tidak baik bisa bermula dari uang.

‌Spirit yang diusung oleh I Wayan Sadra dalam forum ini tentunya mempunyai pengaruh yang sangat besar, hingga BMB sampai saat ini masih diselenggarakan. Spirit kebersamaan tanpa embel-embel komersial ini dijaga sampai sekarang. Tidak hanya dikalangan panitia yang bekerja tanpa bayaran, para penampil atau komposer juga datang dengan sukarela.

Smara Tantra, grup world music yang merupakan generasi muda dalam BMB #100 membawakan karya berjudul Ramayana/Mukhlis Anton Nugroho 

Penyelenggaraan Forum Diskusi Musik BMB

Seperti yang sudah dibahas di atas bahwa spirit dalam acara BMB adalah kebersamaan dalam sebuah proses pencarian ilmu, bunyi, dan wawasan. Di dalam proses penyelenggaraan BMB ini meminimalisir pengeluaran dalam bentuk uang.

Para peserta atau penampil dalam acara BMB tidak menerima bayaran. Bahkan ada juga penampil yang antusias dan menawarkan diri untuk ikut mempresentasikan karyanya. Beberapa penampil juga masih ada hubungan jaringan pertemanan dari pengurus BMB seperti Gondrong Gunarto (seniman), Halim HD (budayawan), Joko S Gombloh (seniman dan pengajar), dan lain sebagainya.

Komponis/musisi antara lain berasal dari Palu, Yogyakarta, Padang, Makassar, Jakarta, Surabaya, Bandung dan berbagai pelosok negeri lainnya, yang datang dengan sukarela. Ada yang biaya sendiri, ada pula yang mencari sponsor.

Panitia BMB hanya membantu surat rekomendasi atau persyaratan administratif untuk mencari sponsor. Para penampil biasanya juga mengajukan proposal di dinas kebudayaan setempat untuk membantu biaya mereka tampil di BMB.

Fasilitas yang disediakan panitia, selain surat rekomendasi, juga menanggung penginapan dan kebutuhan makan selama di Solo. Panitia BMB juga bersedia menjemput di stasiun atau bandara di Surakarta bagi peserta yang membutuhkan penjemputan.

Beberapa fasilitas pada acara BMB dibantu oleh Taman Budaya Jawa Tengah yang menyediakan kamar penginapan untuk para penampil, pendopo sebagai tempat pentas dan diskusi, sound, dan konsumsi. Beberapa kebutuhan yang lain diambilkan dari kas BMB. Uang kas itu didapat dari pengedaran tampah iuran suka rela dari semua yang hadir pada acara BMB tersebut.

Selain penampil yang tidak dibayar, para pekerja yang terlibat dalam BMB juga tidak diberi honor seperti kru panggung, crewsound, kru dokumentasi, MC, sie konsumsi, dan sebagainya.

Panitia BMB pun juga bekerja dengan sukarela tanpa bayaran sedikitpun. Kalaupun ada perkecualian, hanya untuk satu jenis kontribusi, yakni pembicara. Dialah narasumber yang sengaja dihadirkan untuk membahas atau mengomentari karya yang dipresentasikan oleh para penampilan, namun juga ada narasumber yang suka rela berbagi ilmu dalam forum diskusi musik BMB. Para penonton juga tidak dipungut biaya dan mereka diuntungkan dengan ilmu, wawasan, dan juga mendapatkan snack atau makanan ringan.

Meskipun serba gratis, forum yang digelar setiap akhir bulan ganjil ini masih berlangsung hingga sekarang. Forum ini diselenggarakan di pendapa Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah. Spirit yang ditanamkan oleh I Wayan Sadra begitu melekat hingga sekarang.

Panitia di dalam acara BMB tidak lain merupakan murid-murid I Wayan Sadra dan para seniman yang mendukung konsep acara BMB. Koordinator acara ini biasanya adalah Gondrong Gunarto, dibantu oleh teman-teman komunitas BMB, Halim HD, dan Joko S. Gombloh.

Perencanaan yang dilakukan dalam acara BMB yang pertama adalah menentukan tanggal pelaksanaan. Biasanya memilih tanggal di minggu ke-3, tetapi juga tidak harus dan masih bersifat kondisional. Setelah menentukan tanggal pelaksanaan BMB, selanjutnya mulai menentukan penampil atau komposer yang akan mempresentasikan karyanya.

Pada tahap ini proses pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan sudah dilakukan. Pembukaan pendaftaran bagi para penampil atau komposer dilakukan setiap saat dan sangat bebas. Persyaratan yang mendasar adalah mempunyai karya sendiri dan bersedia mempertanggung jawabkan karya tersebut. Apabila terjadi kelebihan pendaftar maka akan dilakukan koordinasi dengan para penampil untuk supaya bisa mengisi di edisi berikutnya.

Langkah selanjutnya setelah menentukan penampil atau komposer adalah menentukan moderator dan pembicara untuk acara diskusi karya komposisi yang sudah disajikan para komposer. Penentuan seorang pembicara didasarkan atas materi komposisi karya yang disajikan para penampil.

Hal ini bertujuan supaya diskusi bisa hidup dan berjalan lancar. Setelah semuanya sudah ditentukan kemudian selanjutnya membuat publikasi berupa liflet dan pamflet. Pembuatan publikasi ini juga dilakukan oleh salah satu murid I Wayan Sadra yaitu Sigit Prasetyo.

Setelah selesai dibuat, kemudian mulai melakukan publikasi lewat jejaring sosial dan juga mencetak pamflet yang nantinya ditempel di space publikasi. Mendekati hari H dilaksanakannya acara BMB, kemudian dilakukan koordinasi lebih lanjut terkait kedatangan para komposer, pembicara dan moderator. Koordinasi ini dilakukan karena ada beberapa komposer dan pembicara yang terkadang membutuhkan penjemputan di stasiun, terminal, atau bandara.

Eksekusi hari H dipersiapkan sejak pagi hari dari mulai set sound system, set alat musik, dan set lighting. Setelah sound system sudah selesai dipersiapkan, selanjutnya dilakukan soundcheck oleh para penampil.

Setelah semua persiapan sudah selesai, acara BMB dimulai pada pukul 19.30 WIB. Acara diawali dengan pementasan karya dan kemudian dilanjutkan dengan diskusi karya yang sudah ditampilkan.

Selama acara berlangsung, yang bertugas sebagai koordinator adalah Gondrong Gunarto. Ia yang mengontrol acara dari awal hingga akhir acara.

Dok/Foto Utama: Sono Seni Ensemble bentukan mendiang I Wayan Sadra bersama Gondrong Gunarto, Zoel Mistortoify, Joko S Gombloh, Rudy Sulistanto, Ade Abdul Kholik dan John Jacobs pada tahun 1998.

Penyunting: Nadya Gadzali