Etnis.id - Membahas budaya musik Banyumasan, tak lain kita akan membicarakan keintiman dari empat musik yang memiliki hubungan persaudaraan yang kuat dan terbingkai oleh khasanah laras slendro.

Adalah bongkel, buncis, krumpyung, dan calung. Daerah yang terkenal dengan bahasa Ngapak-nya ini, menjadikan bongkel sebagai kakak tertua keluarga musik Banyumasan. Kedua yang hidup di daerah Panginyongan ini, adalah Buncis. Krumpyung menjadi generasi ketiga, lalu lahir Calung sebagai generasi terakhir.

Sebagai kakak pertama, bongkel lebih sederhana dari adiknya. Bongkel hanya terdiri dari satu instrumen musik saja dengan bentuk menyerupai angklung, namun memiliki empat nada slendro yang ditata urut dari kiri nada terendah hingga ke kanan, menuju nada yang berangsur tinggi.

Urutan nada bongkel ada tiga jenis, yaitu 1 – 2 – 3 – 5 atau bisa juga 2 – 3 – 5 – 6, dan 6 – 1 – 2 – 3. Melihat wilayah nada ini, tampak perbedaan dari ketiga adik bongkel yang memiliki kompleksitas nada dan permainan yang jauh berbeda.

Butuh lebih dari lima orang untuk memainkan adik-adik bongkel. Untuk memainkan musik bongkel, cukup seorang sahaja. Secara cakupan nada, hanya bongkel yang menggunakan laras slendro empat nada.

Instrumen yang lainnya menggunakan laras slendro lima nada yaitu 1 – 2 – 3 – 5 – 6. Bahkan cakupan nada yang terdapat pada krumpyung dan calung, bisa sampai tiga kali lipat bahkan lebih.

Dalam istilah gamelan Jawa, disebut gembyang. Sebagai contoh ada urutan nada calung dari 3 – 5 – 6 – 1 – 2 – 3 – 5 – 6 – 1 – 2 – 3 – 5 – 6 – 1 – 2 – 3. Urutan nada ini dari kiri adalah nada terendah dan bergerak ke kanan sampai nada tertinggi.

Selain cakupan nada, cara memainkan bongkel juga jauh berbeda dengan ketiga adiknya. Memainkan bongkel tak sesederhana instrumennya, malah rumit. Ditandai dengan minimnya generasi penerus yang bisa bermain bongkel, sehingga eksistensinya kini meredup.

Secara kasat mata, memang mudah memainkan bongkel karena kelihatan seperti hanya digoyang saja. Nyatanya, butuh kelihaian dan kecepatan tangan untuk membuka bilah bambu ketika nada itu harus berbunyi dan menutup bilah bambu ketika nada itu harus diam.

Posisi tangan ketika memainkan bongkel adalah tangan kiri di depan memainkan dua nada dan tangan kanan di belakang juga memainkan dua nada. Cara memainkan bongkel adalah diayun dan digetarkan secara terus-menerus.

Jalinan nada dibangun dengan cara melepas dan menghentikan empat tabung pada bongkel secara bergantian. Nada yang diinginkan berbunyi, maka tabung tersebut dibiarkan bergetar. Nada yang tidak diinginkan berbunyi, ditahan menggunakan jari-jari tangan.

Ada tiga hal penting yang membutuhkan konsentrasi tinggi secara bersamaan ketika memainkan bongkel. Pertama adalah cara mengayun dan menggetarkan bongkel yang harus dilakukan secara konsisten dan ajeg, agar bunyi yang dihasilkan bisa teratur.

Keteraturan bunyi ini menjadi penting, karena bongkel terbuat dari bambu yang tidak memiliki sustain atau gelombang bunyi yang panjang. Nada-nada yang membutuhkan sustain panjang, maka sang pemain harus pandai menjaga keteraturan getaran bilah nada bongkel.

Hal ini sangat berbeda dengan instrumen musik yang bahannya berasal dari sejenis logam yang memiliki sustain lebih panjang, dibandingkan dengan alat musik berbahan bambu. Sehingga, saat memainkan bongkel, dibutuhkan keterampilan
mengayun dan menggetarkan bongkel, agar kesan musik yang ditimbulkan bisa meriah, mengingat pemainnya seorang saja.

Konsentrasi kedua yang tak kalah penting adalah membuka dan menutup bilah nada bongkel secara tepat sesuai dengan komposisi gending yang disajikan. Secara bersamaan ketika berganti nada, maka ketepatan menutup nada sebelumnya dan membunyikan nada selanjutnya harus diperhatikan betul, agar jelas nada yang ditimbulkan dan tidak tumpang-tindih dengan nada yang lainnya.

Dalam gamelan Jawa, terdapat teknik pithetan yaitu menghentikan nada bersamaan dengan membunyikan nada selanjutnya. Pithetan juga sangat penting untuk diperhatikan ketika memainkan bongkel.

Konsentrasi ketiga adalah melantunkan nyanyian sambil memainkan bongkel. Orang yang memainkan bongkel harus bisa nembang atau bernyanyi. Dalam pertunjukannya, bongkel hadir mengiringi nyanyian yang juga dilantunkan oleh pemain bongkel.

Fokus dan konsentrasi pun bertambah karena dalam perjalanan gending, ada bagian komposisi antara nada vokal dan bongkel berjalan sama, ada juga bagian komposisi antara vokal dan bongkel berbeda nada.

Fenomena ini menunjukkan keistimewaan dari bongkel. Tiga konsentrasi penting yang harus dilakukan dalam waktu yang sama. Namun, pada perkembangannya, hadir seorang vokalis untuk membantu melantunkan gending karena pemain bongkel tidak bisa bernyanyi. Ini hanya sebagian kecil saja. Kebanyakan orang yang bisa memainkan bongkel, juga bisa bernyanyi.

Bongkel tumbuh dan berkembang di Desa Gerduren, Purwojati, Banyumas. Keadaan bongkel saat ini bisa dikatakan sedang berjuang untuk lestari lagi. Sudah sangat jarang orang yang mau memainkannya. Bahkan jarang ditemui orang yang bisa memainkan bongkel dengan baik.

Menelisik sejarah zaman dahulu, bongkel merupakan instrumen tunggal yang dimainkan oleh satu orang (petani jagung) sebagai “teman” dan pengisi waktu ketika menjaga tanamannya dari serangan babi hutan di waktu malam.

Mengingat sekarang sudah jarang orang yang bisa bermain bongkel dengan bagus dan bermain sendiri, maka seniman-seniman di Gerduren mulai memikirkan strategi supaya bongkel tetap hidup.

Bentuk-bentuk usaha pelestarian yang dilakukan sampai saat ini, bongkel sudah membaur dengan instrumen lain seperti gong bambu, kendang, dan sinden sebagai vokalis. Walau begitu, melodi utama dan ikonnya tetap dipegang oleh bongkel.

Selain itu, bongkel tidak hanya dimainkan di sawah dan ladang, tetapi bongkel sudah masuk ke dunia hiburan, hajatan, dan upacara-upacara besar di Desa Gerduren. Juga di dalam gemerlap dunia dan keramaian. Ia tak lagi sendiri, menyepi di tengah sawah dan ladang untuk menemani petani.

Walau demikian, bongkel tidak lupa dengan rumah halamannya yaitu sawah dan ladang. Oleh seniman dan warga Gerduren, bongkel masih dimainkan di depan hamparan sawah dan ladang, sebagai pengingat dan pelepas rindu, di balik zaman yang sudah serba canggih seperti saat ini.

Editor: Almaliki