Apa yang kalian pikirkan jika mendengar kata Merapi Merbabu? Sebuah nama gunung di Jawa Tengah yang berbatasan dengan Yogyakarta? Sebuah Taman Nasional? Atau justru ke sebuah kelompok yang sering disebut dengan Merapi Merbabu Complex?
Di balik semua itu, serta kepopuleran Merapi Merbabu sebagai gunung yang banyak didaki, juga konsep kosmis Merapi–Yogyakarta–Pantai Selatan yang kerap dibicarakan, tahukah kalian bahwa di daerah Merapi Merbabu pada sekitar abad 16 sampai 18 terdapat sebuah skriptorium besar?
Bagi yang belum mengetahui, skriptorium adalah ruang untuk menyimpan, menyalin, menulis, atau membaca manuskrip. Nah, manuskrip sendiri adalah apa yang sering kita sebut dengan naskah kuno yang ditulis dengan tangan. Media tulis naskah itu bermacam-macam, mulai dari kertas, dluwang, daun tal (rontal kemudian menjadi lontar), dan daun nipah (dua terakhir banyak ditemukan dalam naskah Merapi-Merbabu).
Dahulu, di sekitar gunung Merapi dan Merbabu, termasuk gunung Telomoyo, Andong, dan Ungaran, sangat banyak ditemukan pangajaran. Pangajaran adalah sekolah atau pesantren pada masa Jawa Kuna. Setidaknya, banyak ditemukan bukti arkeologi di sekitar gunung yang mempunyai nama Jawa Kuna Mandarageni dan Damalung, seperti Prasasti Watu Lawang, Prasasti Ngrawan, bahkan di puncak Merbabu yang bernama puncang Kentheng Songo ini pun terdapat beberapa watu lawas. Selain itu, di lereng-lereng kedua gunung ini juga terdapat struktur-struktur bebatuan yang diduga sebuah pangajaran dahulu kala.
Sehubungan dengan banyaknya pangajaran di sekitarnya, tentu saja membutuhkan semacam buku-buku bahan ajar. Maka dari itu, kemudian ditemukan sebuah kumpulan naskah yang sekarang dikenal dengan nama naskah-naskah skriptorium Merapi-Merbabu.
Apakah naskah-naskah tersebut hanya berasal dari sekitar Merapi Merbabu? Tentu saja tidak. Ada naskah yang diketahui berasal dari sejumlah pegunungan: Telomoyo, Andong, Karungrungan (nama kuna Ungaran), Wilis, bahkan ada beberapa pula yang beraksara Sunda Kuna. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Pada zaman dahulu, praktik nyantrik dan laku itu sudah sangat wajar. Seperti jika membaca Bujangga Manik, sebuah teks yang menceritakan tentang agamawan dari Sunda yang berkeliling pulau Jawa dan Bali. Di perjalanannya, Bujangga Manik banyak mengunjungi pangajaran di gunung-gunung.
Beberapa gunung yang disebut adalah Mandarageni (Merapi), Damalung (Merbabu), Mahendra (Lawu), Kampud (Kelud). Disanalah Bujangga Manik bersilaturahmi sekaligus belajar, dan disini pula lah terjadinya proses pertukaran kebudayaan. Tidak heran jika banyak naskah dari gunung lain yang ditemukan di skriptorium Merapi-Merbabu.
Ada pula hal menarik yang menggambarkan bagaimana sosio-kultural pada waktu itu. Naskah-naskah itu semuanya ditulis di daun tal (palem) dan nipah yang notabene tidak tumbuh di gunung itu. Almarhum Rama Kuntara, ketika meneliti naskah Merapi-Merbabu, pernah mengatakan bahwa naskah-naskah tersebut bahannya tidak mungkin dari daerah gunung tempat ditemukan naskah, melainkan dari daerah pantai di kawasan pesisir utara.
Sehubungan dengan hal itu, kemudian ditemukan titik temu pada buku Suma Orientale karya Tome Pires. Ketika Tome Pires singgah di pelabuhan di pesisir utara, dia melihat bahwa Brahmana dan para ajar dari gunung, turun pergi ke pantai untuk membeli rontal yang kemudian digunakan untuk menulis naskah.
Kemudian aksara apa yang digunakan dalam naskah ini? Ini juga menarik, karena ternyata di sinilah mata rantai perubahan aksara Jawa Kuna ke Jawa Baru. Bagi yang belum tahu, aksara Jawa Kuna (Kawi) adalah aksara seperti yang digunakan untuk menulis prasasti, sedangkan Jawa Baru adalah yang kita kenal dengan ha na ca ra ka itu.
Pada naskah-naskah Merapi-Merbabu terdapat dua aksara, yakni aksara Merapi-Merbabu dan aksara Jawa Baru. Terkait dengan aksara Merapi-Merbabu, Prof. Willem van der Molen, seorang filolog dari Belanda berpendapat bahwa aksara tersebut bukanlah turunan aksara Jawa Kuna gaya Majapahit seperti yang banyak kita jumpai pada prasasti era Majapahit, tetapi justru lebih dekat sebagai turunan dari aksara Jawa Kuna gaya Mataram Kuna (Mataram Hindu-Buddha), namun hal ini masih bisa diperdebatkan dan dibantah lagi dengan penelitian paleografis lebih lanjut.
Menarik bukan, ketika kita membayangkan pada sekitar abad ke-10 Masehi, kerajaan Mataram Kuna atau Medang yang dikisahkan hancur diduga lantaran meletusnya gunung Merapi, dan pusat kerajaan pindah ke Jawa Timur, di gunung-gunung tidak jauh dari pusat kerajaan Mataram Kuna masih terdapat orang-orang yang mempertahankan kebudayaannya. Ketika orang-orang meninggalkan Prambanan dan Borobudur, para ajar masih mengajarkan ajaran yang terpahat di candi-candi di atas gunung.
Selain itu juga dapat juga kita bayangkan pada sekitar abad ke-17 Masehi, ketika di gunung-gunung itu para ajar masih mengajarkan ajarannya menggunakan aksara transisi di bawah gunung itu, di daerah Kota Gedhe, tempat pusat kerajaan Mataram Islam berdiri, orang-orang sudah mulai menggunakan aksara Jawa Baru dan (mungkin) sudah tidak bisa membaca aksara yang kuna.
Di lain sisi, ketika kebangkitan atau renaisans sastra Jawa di Surakarta yang dipelopori oleh keluarga Yasadipura (Yasadipura I, Yasadipura II, Ranggawarsita) pada abad ke-18 Masehi, naskah ini ikut ambil bagian di dalamnya sebagai sumber-sumber yang kemudian disadur oleh keluarga Yasadipura.
Kemudian dimanakah naskah-naskah itu sekarang? Ceritanya, setelah dahulu naskah-naskah itu dikumpulkan oleh seseorang bernama Ki Ajar Windusana, kemudian diturunkan kepada Ki Ajar Daka (sekarang makam keduanya dikeramatkan oleh warga Kedakan, Pakis, Magelang), keduanya beragama buddha (pra Islam), kemudian diturunkan kepada Kyai Doellet (Islam), kemudian diturunkan kepada Pak Kodjo.
Pada saat naskah tersebut disimpan Pak Kodjo sekitar tahun 1850an, naskah tersebut menarik minat pihak Kolonial untuk dibawa ke Batavia. Awalnya, pihak kolonial tidak tertarik dengan naskah-naskah itu, karena dianggap hanya menceritakan tokoh-tokoh lokal, tetapi setelah diteliti lebih lanjut bahwa naskah-naskah itu berisi teks-teks Jawa Kuna, pihak kolonial kembali melirik koleksi tersebut. Setelah diganti dengan beberapa barang berharga kemudian naskah-naskah tersebut dibawa dan menjadi koleksi dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang sekarang menjadi Perpustakaan Nasional dan Museum Nasional.
Awalnya dikatakan bahwa naskah yang dibawa ke Jakarta berjumlah 1000 eksemplar. Entah ini melebih-lebihkan atau memang sebanyak itu jumlah aslinya, namun sekarang naskah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional yang sudah dikatalogisasikan berjumlah 300 sampai 400an eksemplar. Lainnya, naskah-naskah itu tersebar di beberapa penjuru dunia. Seperti Perpustakaan Nasional Perancis, Perpustakaan Leiden, dan diduga ada juga yang tersimpan di Perpustakaan Vatikan.
Isi dari naskah-naskah tersebut bervariasi, mulai dari mantra-mantra, pawukon, cerita wayang, kakawin, kidung, dan lain sebagainya. Beberapa naskah yang sudah diteliti seperti naskah Arjunawiwaha yang berada di Perpustakaan Prancis diteliti oleh I. Kuntara Wiryamartana, Kunjarakarna diteliti oleh Prof. Willem van der Molen, Kidung Surajaya oleh Kartika Setyawati, Uttarasabda oleh Abimardha Kurniawan dan masih ada lagi beberapa lainnya.
Meneliti Merapi-Merbabu agaknya memang suatu tantangan (bagi yang merasakan itu tantangan) tersendiri. Mulai dari naskahnya yang secara kodikologis sudah tua aksara dan bahasanya yang sudah jarang yang mengenali, naskah-naskah itu sekarang teronggok sepi, menanti diteliti.
Memang, setelah meninggalnya dua orang dari Three Mustketeer-nya Merapi-Merbabu (Alm. I. Kuntara Wiryamartana, Almh. Kartika Setyawati, Prof. Willem van der Molen) banyak tumbuh peneliti muda yang menaruh minat padanya, tetapi Merapi-Merbabu memang benar untuk para penempuh jalan sepi. Di salah satu sudut sepi filologi dan sastra Jawa, Merapi-Merbabu menyepi di salah satu sudutnya.
Penyunting: Nadya Gadzali