Etnis.id - Saat sedang menyantap makanan, sombong rasanya jika tidak ingin mengetahui informasi ihwal apa yang kita lahap. Seperti brem, makanan dari Dusun Tenggar, Desa Gebang, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri yang akan saya ulas.

Brem adalah penganan berbahan dasar dari ketan yang dimasak menjadi tape dan diambil sarinya lalu dimasak sedemikian rupa sehingga terbentuklah adonan, yang kemudian dijemur di bawah sinar matahari.

Di Dusun Tenggar, kurang lebih ada 17 keluarga yang berprofesi sebagai pembuat brem. Mereka tekun menjalani profesi ini, meski zaman makin hari kian melupakan hal-hal yang berbau tradisional.

Saat bercerita dengan masyarakat Tenggar, konon katanya proses pembuatan brem dilakukan oleh nenek moyang mereka yang awalnya hanya untuk mengisi waktu luang saat kemarau. Di Tenggar, masyarakatnya mayoritas berprofesi sebagai petani. Jika musim kering, apa yang ingin ditanam?

Maka mereka memutuskan untuk membuat brem, yang dulunya berbentuk seperti permen lolypop. Sejalan dengan perkembangan zaman, brem dicetak bulat dengan beralaskan daun pisang. Kini, sudah dialasi plastik.

Menurut keluarga saya juga, zaman dahulu mereka setiap pagi harus berebut daun pisang di pasar. Daun pisang yang dibutuhkan adalah daun pisang yang utuh dan tidak sobek. Sungguh, itu sebuah perjuangan yang patut diacungi jempol demi menjalankan usaha yang luhur.

Alat untuk mencetak brem dulunya adalah kawat yang dibentuk lingkaran, kemudian digabungkan dengan kayu sebagai pegangannya. Sekarang, brem sudah dicetak dengan  triplek yang dilubangi sisinya. Proses pembuatannya juga unik dulunya. Awalnya ketan dimasak menjadi tape dan diambil menggunakan bagor atau glangsing yang biasa digunakan untuk mewadahi padi hasil panen.

Tak lama, tape dalam glangsing diperas untuk diambil sarinya. Jika sarinya sudah didapat, akan dimasak lagi sampai mendidih. Saat dimasak, sari tape akan mengental. Barulah cairan yang berbentuk adonan itu diaduk pakai kayu hingga mengeras.

Saat adonan brem sudah bisa dicetak menggunakan kawat yang disiapkan, ia disimpan di atas daun pisang. Brem kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelahnya, dikemas dengan sederhana dan siap untuk disantap.

Itu pola dulu. Kini, banyak alat-alat modern yang tercipta. Mulai dari pemerasan sari tape ketan menggunakan mesin cuci yang dimodifikasi khusus, pengaduk mesin, alas yang menggunakan plastik dan pembuatan oven besar yang dapat digunakan saat musim penghujan tiba.

Setelah pembahasan sari tape selesai, lalu bagaimana dengan ampas tape yang tertinggal tersebut. Apakah menjadi limbah dan dibuang begitu saja. Ternyata, ampas itu digunakan oleh masyarakat sebagai makanan tambahan bagi hewan kambing dan sapi.

Di Tenggar, selain menjadi daerah sentra pembuatan brem, dusun itu juga menjadi tempat menggemukkan sapi sebab di sana, bahan pangan sapi melimpah ruah. Masyarakat Dusun Tenggar rata-rata memiliki sapi untuk digemukkan, sapi-sapi dari dusun Tenggar dijual dengan harga hampir mendekati angka Rp30 juta.

Selain itu, ampas tape juga bisa dibuat campuran es dan gula jawa. Masyarakat biasa menyebutkan dengan “ngrucuh gandos”. Pokoknya, sangat menyegarkan jika diminum saat siang terik. Jika ada pertanyaan, apakah brem dijadikan makanan saat ada hajatan tertentu. Jawabannya, iya. Brem bersanding dengan jadah dan wajik saat acara mantu.

Akhir kata, kita mengetahui bahwa proses pembuatan brem sangatlah panjang. Ketan yang dimasak menjadi tape memerlukan waktu 5 hari. Setelah itu, masih diambil sari tapenya, diolah dan dijemur. Proses penjemuran tidak dilakukan sekali, tetapi dilakukan dua kali pada hari yang berbeda.

Dari proses pembuatan yang panjang, terdapat pesan yang mendalam dari leluhur kita, yaitu kita harus sabar, selalu bekerja keras dan tidak pantang menyerah. Semua yang kita lakukan dengan sungguh-sungguh akan berubah manis.

Brem yang dulunya berbentuk lolypop kecil dan hanya dinikmati saat musim kemarau tiba, sekarang menjadi makanan yang hampir semua masyarakat mengenalnya. Makanan yang manis dan lumer saat dimakan ini, memiliki banyak penggemar mulai dari anak–anak hingga pejabat.

Saking kuatnya kudapan ini bertahan, muncul brem lain seperti brem Bali, brem Solo dan brem Wonogiri. Tentunya dengan kekhasan dari daerah-daerahnya sendiri. Variasi brem pun mulai bermunculan seperti brem cokelat yang tak kalah enaknya dari brem biasa.

Editor: Almaliki