Etnis.id - Skena industri musik nasional dibuat ‘Ambyar’ dengan kemunculan seorang Godfahter Of Brokenheart, Lord Didi Kempot. Sebetulnya sudah menjadi berita umum, jika seniman bernama asli Didi Prasetyo ini, sudah memiliki jam terbang cukup tinggi di industri musik tanah air.
Namun kemunculannya kali ini lebih masif, menggebrak dan membuat banyak mata terbelalak karena Lord Didi kian hari kian laris. Tidak hanya sebatas di tempat penjual CD bajakan seperti dulu, tetapi sudah berhasil menyita perhatian banyak pihak dan para pelaku industri musik kreatif di era millenial.
Didi Kempot muncul di era millenium dan millenial. Namun satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari Didi Kempot, adalah musik berjenis Campursari. Makanya, saya mengajak Anda semua, dari golongan Sobat Ambyar, Sadbois, Sadgirls, atau siapa saja yang mengikuti sepak terjang mas Didi Kelompok Pengamen Trotoar (KEMPOT), untuk sedikit kembali mengenang masa-masa kejayaan musik Campursari di tanah air.
Tulisan Joko Wiyoso di Jurnal Harmonia – Jurnal Pengetahuan Seni UNNES (2007) yang berjudul "Jejak Campursari" mengisahkan sejarah awal perkembangan campursari yang diawali kegiatan grup kesenian yang dipelopori oleh R.M Samsi di Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang medio tahun 1953.
Istilah campursari mulai terdengar. Grup kesenian itu disebut Campursari RRI Semarang. Mereka waktu itu rutin mengisi siaran radio setiap Rabu malam, dari pukul sembilan hingga menjelang dini hari.
Saat itu, popularitas mereka bersifat lokal. Artinya, hanya berada di wilayah yang terjangkau oleh frekuensi radio. Sebab pada masa itu, tidak setiap rumah memiliki radio.
Campursari akhirnya mengalami stagnasi. Hingga pada tahun 1978, mereka mulai berpikir untuk menyebarluaskan karya mereka ke sekup yang lebih besar lagi. Adalah Ira Record, label rekaman yang menaungi Campursari RRI Semarang untuk merekam karya sekaligus mendistribusikannya.
Pada tahun 1978 hingga 1980, Ira Record berhasil memasarkan sembilan album rekaman musik Campursari RRI Semarang. Produktivitas yang layak mendapatkan apresiasi sebenarnya. Lagu-lagu yang pernah direkam antara lain, Sumpah Palapa, Lela – Ledhung, Yen Ing Tawang Ana Lintang, Wingko, Waton Konco, Ondhe-Ondhe, Jenang Gula dan masih banyak karya yang lainnya.
Namun popularitas Campursari RRI Semarang masih belum bisa menyaingi rekaman gendhing-gendhing karya Ki Nartosabdo. Hasil analisis menyebutkan karena secara penciptaan, karya Campursari RRI Semarang memang masih belum sejajar dengan kreasi gendhing dari Ki Nartosabdo.
Hingga tahun 90-an, muncul kreator musik bernama Anto Sugiartono. Lewat tangan dinginnya, musik campursari mulai dikenal luas di nusantara. Kreasinya adalah dengan menggabungkan instrumen musik barat seperti keyboard, gitar dan bass elektrik yang tidak digunakan pada format pendahulunya.
Campursari Anto Sugiartono membuka kemungkinan yang lebih luas dan luwes. Berbagai jenis musik digarap. Dari langgam Jawa, Keroncong hingga Dangdut. Pada tahun 1993 ia juga membentuk grup CSGK (Campur Sari Gunung Kidul). Dari kelompok tersebut, kita mulai mengenal lagu-lagu campursari seperti Gethuk, Kanca Tani, Nyidam Sari, Lamis, Kempling, Mbah Dukun, atau Tiwul Gunung Kidul.
Modal nekatnya memboyong grup ke Jakarta, membuahkan hasil. Album demi album terjual laris manis. Lagu-lagunya menjadi semakin dikenali dan diminati. Hingga kini, lagu Nyidam Sari atau Lamis masih sering kita dengar di acara-acara pernikahan berlatar belakang budaya Jawa.
Belakangan, kita mengenal Anto Sugiartono sebagai Ki Manthous. Musisi campursari yang juga pernah menyabet penghargaan Anugerah Musik Indonesia, serta mengorbitkan beberapa penyanyi campursari seperti Sunyahni dan Nurhana.
Dari segi fashion, para penyanyi campursari memilih untuk memakai pakaian adat Jawa. Seperti Lurik atau beskap untuk lelaki dan kebaya lengkap dengan gaya sanggul untuk para penyanyi wanitanya.
Dari sana terlihat bahwa upaya untuk tetap menghargai budaya Jawa masih begitu kental dan kentara. Meski musik campursari seperti menabrak konsep gamelan yang sudah ada, namun sebetulnya ada tata krama yang masih dijunjung. Seperti para pemain musik yang juga duduk lesehan.
Keyboard, gitar, bass elektrik serta drum bersanding mesra dengan saron, bonang, kendhang, dan gong. Dicari kemungkinan laras yang paling selaras di antara nada-nada yang ada dalam gamelan slendro pelog dan diatonikal musik barat.
Sebenarnya campursari selain berbicara “lara ati, mending dijogeti”, jauh sebelum itu ia juga berbicara soal kebhinekaan. Tentang kemajemukan yang masih bisa disatukan. Dengan media yang selama ini dipercaya, masih bisa menyatukan semua, yaitu musik. Meski sekarang format musik Didi Kempot tanpa seperangkat alat musik gamelan, tapi itu bukan persoalan. Demikian.
Editor: Almaliki