Selain dikenal sebagai jalur alternatif mudik, penghasil nanas simadu, kesenian sisingaan, dan situs-situs peninggalan prasejarah, Kota Subang ternyata menyimpan sekelumit kisah kehidupan masyarakat agraris yang tak kalah menarik untuk disimak.
Saya menyadari ini selepas menelusuri keberadaan toleat, alat musik yang konon muncul dari kreativitas masyarakat sebagai media hiburan anak gembala di daerah Pantura. Tepatnya, di Desa Sukamandi, Kecamatan Ciasem, Pamanukan, Kabupaten Subang.
Meski semula tak menaruh perhatian khusus pada kajian etnomusikologi, kali ini saya ingin menggali informasi lebih banyak tentang alat musik toleat. Tersebab perkembangannya kini tak dapat dilepaskan dari peran seorang seniman asal Subang sekaligus pendiri Sanggar Seni Toleater, Asep Nurbudi.
Kota Subang tengah menguar hawa panas sesampainya saya di sanggar milik Asep Nurbudi, di Komplek RSS Sidodadi, Kota Subang. Meski cuaca cukup terik, ia bersedia meluangkan waktu, menjeda kesibukannya sebagai staf Seksi Kesenian Bidang Kebudayaan di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Subang untuk menanggapi permintaan wawancara dengan saya siang itu.
Menyambangi Sanggar Seni Toleater berarti mengunjungi kediaman Asep yang rimbun oleh instrumen musik tradisional. Koleksi toleat tertua di bengkel seni itu kira-kira berusia 50 tahun, hasil karya Parman, seorang mahir toleat dari Pamanukan yang kisahnya ia dengar melalui penuturan sang ayah, Dalang Latim (alm).
Selain toleat dan satu set perlengkapan karawitan, serambi rumah yang dirancang serupa galeri seni itu memamerkan sederet piagam penghargaan dan potret berbagai gelaran. Inilah semesta kecil Asep Nurbudi yang ditata se-apa adanya ia dalam pandangan orang-orang.
Lapis demi lapis makna terungkap seiring rasa ingin tahu saya tentang kronik kehidupan sang maestro. Kami berbincang ihwal kesibukannya kini, mulai dari proyek musik, sosialisasi, hingga pasang-surut perjalanan membumikan toleat.
Mula-mula Asep mengakrabi suling dan pernah menjadi salah satu pengrajinnya. Ia tak menduga akhirnya terpaut secara emosional dan menyadari panggilan jiwa terhadap instrumen musik kalangenan itu setelah merenungi pertanyaan seorang dosen penguji tugas akhir, "akan jadi apa setelah lulus nanti?". Ketika itu ia terdaftar sebagai mahasiswa diploma jurusan seni karawitan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (kini Institut Seni dan Budaya Indonesia atau ISBI).
Berbekal disiplin ilmu karawitan dan dukungan dari sejumlah seniman Subang, selepas menamatkan studi pada tahun 1996, Asep melanglang ke Pamanukan untuk menemui Parman. Syahdan, ia menemui hambatan lantaran Parman sudah hijrah ke Karawang.
Menurut penuturan Dalang Latim (alm), ayah dari Asep Nurbudi, pria yang akrab disapa Mang Parman itu sebelumnya berprofesi sebagai penggembala bebek. Seorang tokoh mahir toleat yang tertangkap radar penilik kebudayaan sekitar tahun 80an di Pamanukan.
Parman dinobatkan sebagai pemuda pelopor. Kemahirannya disosialisasikan hingga ke level bupati bahkan diberikan reward berupa permodalan untuk berwirausaha (berdagang kopi) agar ia tetap tinggal di Pamanukan.
Tahun 2001, pertemuan dengan sang guru akhirnya terjadi di Kampung Lio, Kecamatan Klari, Kabupaten Karawang. Asep yang ingin terus memperdalam instrumen musik toleat rupanya sudah sesuai dengan harapan Parman yang memang menginginkan adanya regenerasi.
Sebelum toleat, masyarakat agraris di kawasan Pantura sudah lebih dulu berkreasi dengan jerami padi dan menghasilkan empet-empetan, alat musik kalangenan dengan resonator kecil yang hanya menghasilkan satu nada.
"Kalangenan artinya permainan atau hiburan. Diciptakan untuk menghilangkan kejenuhan para anak gembala", ujar Asep seraya menirukan kesan bunyi (onomatopea) instrumen empet-empetan dan torotot ole-olean yang terkesan jenaka.
Musim berganti, ungkapan artistik anak-anak gembala ikut beradaptasi dengan ketersediaan sumber daya alam yang ada. Mereka bereksplorasi dengan pelepah daun kelapa dan daun pepaya sambil menantikan musim unduh padi. Dalam suasana itu, terciptalah instrumen musik yang menghasilkan dua sumber bunyi (double reed) yang bergetar dengan resonator lebih besar atau dikenal dengan nama torotot ole-olean.
Seiring waktu, torotot ole-olean juga mengalami penyempurnaan. Inilah cikal bakal alat musik toleat, instrumen musik yang terbuat dari ujung bambu tali—Gigantochloa apus)—salah satu jenis pohon bambu yang tumbuh subur di kawasan Pantura.
Selain sistem nada, struktur alat musik kalangenan tak terikat oleh aturan baku. Kelonggaran pakem estetik itu teramati oleh Asep. Berbekal pengetahuan di bidang alat musik tiup Sunda, ia kemudian bereksplorasi dengan bambu cina yang memiliki tekstur lebih tebal agar resapan akustik suara toleat menjadi lebih lembut, lebih nyaring, dan lebih menyerap.
"Meski sekarang banyak jenisnya dan terbuat dari material yang berbeda, tapi secara fungsi tetap sama. Estetika visualnya saja yang terlihat lebih menarik", terang Asep."Sudah terjadi modifikasi atas rekomendasi para pegiat kesenian toleat. Jadi ya, mangga, toleat mau dibawa kemana yang penting lebih hidup", ujar Asep. Jawabannya rileks namun optimis.
Paham betul seluk beluk toleat, Asep tak menampik bahwa dari segi filosofi, kesenian toleat termasuk alat musik mandiri yang tak mengandung muatan sakral. Mulanya sebatas hiburan untuk mengatasi kejenuhan anak-anak gembala di areal persawahan. Dalam perjalanannya, toleat dipadankan dengan elemen-elemen pembentuk estetika lain yang terdapat dalam keseharian masyarakat agraris, seperti: buyung, ketug, marakas, gambang awi, angklung, dan kentongan bambu.
Dalam struktur alat musik toleat, reed atau rit adalah area sumber bunyi di bagian pangkal lidah yang terbuat dari kayu berenuk atau kayu mojo. Setelah dikaji dan dianalisa berdasarkan keilmuan Asep di SMKI dan ISBI, instrumen musik tradisional Sunda yang termasuk dalam klasifikasi aerophone reed tunggal itu memiliki keistimewaan interval nada tradisional dan non-tradisional (pentatonis dan diatonis) serta kemiripan dengan clarinet saxophone buatan Brazil.
"Toleat terdiri dari tujuh lubang. Semakin ke bawah, nadanya semakin rendah", terang Asep. "Meski memerlukan keterampilan khusus, saya ingin tetap mengupayakan agar toleat dapat dipelajari secara spontan, seperti halnya angklung yang bisa dimainkan dengan satu nada", lanjutnya lagi.
Agar dapat menjangkau seluruh kalangan, Asep mengupayakan penguatan lokal identitas di bidang pendidikan dan lingkungan birokrasi. "Ada saja mahasiswa dengan tugas akhir toleat, apalagi sejak ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di tingkat nasional tahun 2021", tuturnya.
Bersama Angklung Bungko, Gong Si Bolong, Bangkong Reang, Gantangan, Toleat, Rengkong, Badeng, Angklung Dogdog Lojor, Batik Dermayon, Payung Geulis, dan Arsitektur Kampung Pulo—Toleat ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada tahun 2021.
Tak selesai sampai di situ, siasat kreatif untuk meregenerasi toleat agar lebih tajam dan menyeluruh di tingkat lokal, terus dilancarkan. Dalam waktu dekat, Pekan Budaya Daerah Subang segera dilaksanakan. Begitu pula dengan sosialisasi di tingkat SMP, perguruan tinggi di luar lingkungan Subang seperti ISBI dan UNPAD, hingga peminatan jurusan di SMKI. Sedangkan pada tataran birokrasi, toleat diberikan sebagai cenderamata bagi tamu-tamu kedinasan yang berkunjung dari luar daerah.
Pasalnya, kementerian mensyaratkan produk budaya yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda untuk ambil bagian dalam berbagai kegiatan sosialisasi dan promosi budaya. Sedangkan untuk mewujudkannya, memerlukan partisipasi masyarakat dan dukungan pemerintah. "Jika tidak, sertifikat WBTB bisa dicabut", terang Asep. "Oh ya, di WBTB, alat musik toleat tidak disebut kesenian toleat, tapi kemahiran alat musik toleat", lanjutnya lagi.
Di samping itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan telah mengakomodir peran strategis kebudayaan nasional yang dikembangkan melalui peran masyarakat dan peran pemerintah. Beleid ini yang menjadi landasan bagi toleat sehingga menjadi produk budaya yang mampu "ngingelan zaman" (mengikuti irama zaman).
Ketokohan Asep berkembang secara organik di panggung-panggung pertunjukan. Namanya kian terdedah di jagat musik kontemporer seturut kolaborasinya dengan musisi lintas genre. Asep sukses memberi warna baru pada garapan musik elektronik melalui permainan alat musik "toleat". Kerja kreatifnya bersama Iwan, Danet, Safrudin, dan Hati dalam tajuk "Baraya" yang digawangi Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2004, berhasil mencuri perhatian publik.
Kendati semakin populer, Asep merasa lebih lega tatkala toleat tak hanya dipandang sebagai atribut yang melekat di belakang namanya, tetapi juga diingat sebagai karya kolektif masyarakat agraris dari Kabupaten Subang. "Karena memang bukan hasil penemuan satu orang saja, toleat itu kreativitas anak-anak gembala di areal pesawahan kawasan Pantura", ujar Asep di sela-sela menyesap secangkir kopi.
Ketika ditanyai ihwal motivasi pelestarian alat musik toleat, saya menangkap kerisauan Asep terhadap aset-aset budaya yang seringkali dibenturkan pada persoalan identitas. "Toleat harus dilindungi dari kemungkinan klaim antardaerah. Karena itu, tahun 2007-2009 saya melanjutkan studi S1 dengan menjadikan toleat sebagai fokus penelitian tugas akhir", ungkap pria kelahiran Subang, 27 Juli 1970 yang mengarsipkan toleat dalam kajian akademik di ISBI Bandung itu.
Perjalanannya sebagai maestro mendapat pengakuan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Ia dijadikan rujukan untuk pihak luar yang ingin meneliti alat musik toleat serta mengakrabi panggung pertunjukan domestik dan mancanegara untuk mengemban misi peningkatan eksistensi toleat pada cakupan yang lebih luas. Di antaranya, tampil dalam event Dies Natalis Daya Mahasiswa Sunda di Sumurbandung, Cikapundung (1998); Festival Kebudayaan Lampung bersama seniman dari Sumatra Barat, Kalimantan Barat, dan Jawa Barat (1999); perhelatan budaya yang digelar oleh Dirjen Imigrasi Malaysia (2010); kolaborasi dengan dua orang seniman alat musik tiup dalam pementasan "Irut Pincut Seni Tiup" di Bale Rumawat Universitas Padjadjaran (2011); pemecahan rekor MURI dengan melibatkan 1200 orang peserta dalam permainan alat musik toleat; Festival Legian Bali sebagai seniman perwakilan kedinasan (2016); dan kiprahnya dalam kesenian toleat masih terus berlanjut.
Esensi alat musik toleat perlahan akan sirna jika tak didukung semangat kolektif masyarakat di daerah asalnya sendiri. "Toleat memang sudah menjadi salah satu benda koleksi di Museum Guangxi Cina dan telah menembus predikat 'go international', tapi saya akan berupaya supaya toleat dapat ditampilkan sesuai usia emosional audiens agar lebih familiar", kata Asep. "Biar outputnya tak kalah dengan alat musik tiup dari luar".
Sebelum menutup pertemuan petang itu, sang maestro sempat merangkum pembabakan toleat dari masa ke masa. Setelah melewati tiga tahap perkembangan toleat sebagai instrumen musik kalangenan (permainan), pintonan (hiburan), dan saat ini sebagai instrumen musik kreasi (kontemporer), ia berharap dapat membangun konservatorium pelestarian toleat.
"Jadi kalau saya sudah tidak ada, toleat tetap ada yang melanjutkan. Mungkin berupa museum atau konservatorium yang memuat berbagai bentuk toleat, dokumentasi, literatur, multimedia, sampai hasil kajian yang dapat dijadikan referensi bagi generasi muda yang ingin mempelajari toleat", ungkap Asep.
Harapan yang tak terlampau muluk untuk melestarikan karya budaya seperti toleat, tetapi untuk merealisasikannya, memerlukan kerja sama dan dukungan berbagai pihak. Semoga, suatu hari nanti.