Hindu dan bunyi adalah sebuah pertautan yang tak terpisahkan. Sebab, agama Hindu mengajarkan penggunaan bunyi untuk peribadatan, yakni panca gita atau panca nada.
Secara umum, panca gita atau panca nada diartikan sebagai lima unsur bebunyian suci yang seyogyanya dikumandangkan untuk Sang Hyang Widhi Wasa dalam dimensi makrokosmos agar berkenan hadir di tempat peribadatan (Andayani, 2020).
Terdapat lima unsur bebunyian dalam panca gita atau panca nada, yaitu: 1) mantram, 2) genta, 3) kidung, 4) gamelan, dan 5) kul-kul atau kenthongan. Dari kelima unsur tersebut, saya ingin menelisik lebih jauh ihwal genta yang berhasil memikat saya dalam suatu peristiwa.
Genta
Pada bulan September 2023, dihelat sebuah upacara bertajuk “Gema Shanti Puja 1008 Genta dan Tumpeng” di Candi Prambanan. Sebelumnya, pada bulan Juli 2023, upacara serupa juga digelar di Candi Penataran dengan kegiatan mengumandangkan 1000 genta dalam waktu bersamaan. Keberadaan genta memang lazim dalam peribadatan Hindu, namun jika dimainkan dalam jumlah banyak, menjadi semakin tampak keunikannya.
Genta menjadi daya tarik dari peribadatan umat Hindu dalam perhelatan itu. Dari sudut pandang etnomusikologi, peristiwa mengumandangkan genta menjadi hal yang menarik. Bukan hanya sebagai peristiwa spiritual, tetapi juga sebagai peristiwa musikal.
Gaung
Genta berbentuk seperti mangkuk dalam posisi terbalik. Di tengah-tengahnya, terdapat sebuah bandul yang menggantung. Materialnya beragam, ada yang terbuat dari besi, kuningan, ada pula dari perunggu. Cara membunyikan genta adalah menggerakkannya ke kanan atau ke kiri.
Adanya gerakan tersebut membuat bandul berbenturan dengan mangkuk, sehingga mampu menghasilkan sebuah getaran. Donder (2005) menyatakan bahwa seluruh sistem dan filsafat Hindu betumpu pada getaran yang disebut dengan “nada brahman”.
Salah satu mantra Hindu menerangkan ihwal keterkaitan antara nada brahman dan genta, yakni mantra Ngaskara Genta. Mantra ini biasanya dirapalkan ketika seorang pandita atau pinandhita menyucikan genta sebelum didentingkan.
Secara singkat, mantra itu menyiratkan bahwa alunan genta sesungguhnya adalah tempatnya “OM”—“AUM”—“Ang Ung Mang”—yang berarti Brahma, Wisnu, dan Siwa (Sidemen, 2019).
Hampir seluruh mantra dalam agama Hindu senantiasa diawali dengan term "Om" atau "Aum" sebagai wujud dari dewa tertinggi dalam Hindu: Tri Murti (Brahma, Wisnu, dan Siwa) yang merupakan manifestasi dari jagat raya. Mencermati hal tersebut, maka dapat diartikan bahwa denting genta merupakan denting dari jagad raya itu sendiri.
Saya memandang genta, secara esensial, sebagai katalisator untuk menganyam keharmonisan antara manusia (jagad alit) dan semesta (jagad ageng). Dengan adanya keharmonisan ini, manusia dapat mencapai gerbang transedental sehingga ibadah yang ditunaikan menjadi lebih khusyuk dan damai.
Ada tiga teknik dalam membunyikan genta, yakni: 1) tabuh siki, 2) tabuh kalih, dan 3) tabuh telu (Andayani, 2020). Satu denting genta terdengar nyaring dan bergaung panjang, denting itu mampu mencipta atmosfer yang sakral dan magis. Bisa dibayangkan ketika ketiga teknik tersebut dimainkan secara bersamaan.
Ketika ratusan atau bahkan ribuan genta dimainkan dalam tiga teknik tersebut secara bersamaan, secara tekstual, maka bunyi yang dihasilkan akan riuh dengan gaung yang saling berbenturan dan sambung-menyambung.
Secara kontekstual, bunyi tersebut menjadi katalisator untuk merapalkan mantra “AUM” secara terus-menerus dan sambung-menyambung. Ada benang merah antara teks dan konteks dalam hal ini. Gaung dari genta yang dilantunkan terus menerus merupakan wujud persembahan dan pengharmonisan antara manusia dan alam.
Harapannya adalah untuk mencapai kedamaian di dunia. Oleh karenanya, peribadatan dengan pengumandangan ratusan genta tersebut seringkali diberi tajuk “Shanti Puja” yang berarti memuja atau memohon kedamaian.
Rame
Tak dapat dipungkiri bahwa genta dalam upacara “Shanti Puja” menjadi episentrum laku peribadatan. Ratusan genta dimainkan secara bersamaan untuk memuja sekaligus memohon kedamaian, dan tentu saja, menghasilkan suara nan gegap gempita.
Puspawarna frekuensi bunyi dari yang rendah, sedang, hingga tinggi saling berbenturan dan tak beraturan tatkala ketiga teknik yang mempunyai pola ritme berbeda melebur menjadi satu. Tak ada komando sama sekali. Para pandita dan pinandhita hanya mengandalkan nalurinya.
Menurut hemat saya, periode gegap gempita (selanjutnya dibaca rame) adalah tampuk yang menjadi capaian dalam upacara tersebut. Pasalnya, gaung dari ratusan genta tersebut sama sekali tidak pekak. Gaungnya justru terdengar kompleks, berjejalin, merdu, dan memesona.
Seolah-olah pendengar diantarkan pada pengalaman musikal yang menenangkan. Semakin khusyuk mendengarkannya, semakin damai rasa yang didera. Dalam hal ini, rame perlu diartikulasikan lebih rinci. Rame sering diasosiasikan sebagai sebuah suasana yang gemuruh, banyak orang dan berisik.
Secara kultural, rame menjelma sebuah prasyarat, penentu, atau penanda ihwal sukses atau tidaknya suatu acara (Howe, 2000). Saya teringat karya Jhon Cage bertajuk 4’33’’ sebagai sebuah dekonstruksi bunyi yang memperkarakan pengertian hening.
Agaknya, karya ini menjadi katalisator bagi Cage dalam merespon tentang rame. Demikian juga karya Robert Wilson yang bertajuk I La-Galigo yang menunjukkan reaksi kontras atas sebuah keramaian (Mulyana, 2012). Dalam hal ini, rame menjadi sebuah peristiwa visual maupun aural yang sebenarnya bermakna. Hanya saja, makna itu dekaden karena terlalu dekat, sehingga dianggap biasa-biasa saja.
Zoetmolder dan Robson (1995) secara jelas mendefinisikan rame yang terdiri dari tiga makna: 1) indah, cantik, memesona, 2) senang, gembira, riang, dan 3) bersuka cita, ramai, sibuk. Sejauh ini, kebanyakan masyarakat kerap mengasosiasikan rame hanya pada makna ke dua dan ke tiga.
Makna rame yang berarti keindahan atau keantikan seolah diasingkan. Secara etimologis, kata rame berasal dari bahasa sansekerta, yakni ramya yang berarti cantik atau indah (Becker, 1979).
Bertumpu pada hal itu, saya cenderung mengartikulasikan rame sebagai sebuah luapan perasaan atas keindahan atau kecantikan akan suatu hal. Salah satu representasinya adalah gaung genta yang berbenturan dan tak beraturan, namun mampu mengumandangkan bunyi yang indah dan memesona.
Bunyi genta yang rame tersebut sebenarnya telah membuktikan bahwa bunyi yang ‘enak’ tidak selalu ditata dengan sedemikian rupa. Ada beberapa bunyi yang dibiarkan tak beraturan agar makna yang terkandung didalamnya tetap terjaga.
Selama ini, keindahan suatu bunyi seringkali diukur oleh bunyi-bunyi yang ditata rapi. Bunyi-bunyi yang tak beraturan adalah nihil keindahannya. Bukankah “tidak indah” adalah bagian dari keindahan itu sendiri? Jangan-jangan, kebanyakan dari kita terlalu melingkung pada konsep estetika yang populis.
Nyatanya, rame menjadi parameter keberhasilan suatu hajat—entah visual maupun aural. Rame adalah suatu estetika yang bukan nir makna. Lebih lanjut, rame, gaung, dan genta nyatanya adalah bentuk persembahan serta pengharmonisan hubungan antara manusia dan alam untuk mencapai kedamaian.
Penyunting: Nadya Gadzali