Banyak yang berubah dari Makassar. Anging Mammiri, meski hanya sebuah lirik puitik, tampaknya bisa memanggil kenangan masa silam, sebelum Makassar bersalin rupa.
Jakarta, Etnis.id - Aku masih ingat, pada tahun 90-an, kakekku kerap mengajakku berkunjung ke Pantai Losari. Waktu itu, ada banyak sekali pedagang pisang epe dengan gerobaknya di pinggir jalan.
Losari, dalam hematku sewaktu kecil, belum semegah sekarang. Sepanjang pantai itu, ada tempat duduk dari beton yang panjang alias pinggiran tanggul. Dari depan rumah dinas wali Kota Makassar, hingga samping Makassar Golden Hotel.
Peralihan sore menuju magrib di tanah Makassar, atau senja saat itu, sungguh cantik. Tak jauh dari sana, Pulau Laelae tampak seperti onggokan hutan yang di pinggirnya ada kapal nelayan yang tambat menurunkan jangkar dan menarik tali tambang ke pohon-pohon yang tegak.
Selain di Losari, ada juga beberapa spot yang menarik di Makassar, yang kini sudah berganti jadi tempat yang sungguh asing dengan masa kecilku dulu.
Sekarang, Losari sudah berubah menjadi tempat untuk berkunjung bagi banyak sekali orang. Saking banyaknya, ditimbunlah pantai itu dan dibangun anjungan yang sungguh cantik.
Di sekitarnya, dibangun lagi wisma negara yang entah kapan selesainya, dan masjid 99 kubah. Maka terhalangilah pandangan seperti bagaimana aku menyaksikan matahari tenggelam sewaktu aku masih berusia tak cukup 10.
Di anjungan yang megah itu, proyek monumental wali kota, dulunya, banyak orang yang kencing sembarangan. Bau pesing kerap menyeruak. Aku tahu, karena sekolahku dulu, tak jauh dari Anjungan Pantai Losari.
Kontras sekali dengan tampakannya yang dibalut dengan patung-patung yang megah, yang menyimbolkan kalau di Sulawesi Selatan ada banyak budaya dan adat yang harus dilestarikan.
Sekarang sudah tidak lagi. Sebab tempat itu sudah dijaga polisi pamong praja. Kegerahan itu sekali-kali dikabarkan media-media lokal juga nasional, dan tentu saja menjadi perhatian serius wali kota. Kata orang Makassar, kemae siri'nu? Di mana malumu?
Aku pikir ekonomi masyarakat sekitar Losari bisa maju, sesuai berkembang pesatnya Tanah Daeng. Iya, ekonomi maju. Pemasukan usaha dan pajik dari retribusi meningkat pesat, Makassar semakin berkembang.
Apa cuma sampai di situ saja? Ternyata tidak. Ada hal-hal yang luput dibincangkan dari majunya Makassar saat ini seperti perkelahian di Anjungan Pantai Losari yang dulu sempat bikin heboh.
Pertama adalah, jika parkir ke sana, dulunya, sangatlah mahal. Berbeda dari apa yang tertulis dari karcis parkir. Jika tidak sesuai dengan bayaran yang diinginkan penjaga parkir, maka bersiaplah untuk disemprot dan ditinju.
Kedua adalah banyaknya pengamen yang kerap memaksa untuk diberi uang seusai ia menyanyi, atau bicara, atau bercanda, tak tahu betul bagaimana mendefinisikan seni para pengamen itu. Aku tak menyoal pengamennya, tapi memaksa itu, apakah bagian dari budaya orang Sulawesi?
Lagipula laut Pantai Losari sudah hitam. Barangkali karena pasir, atau juga limbah-limbah perusahaan yang dibuang ke sana. Air laut sudah dibaluri minyak-minyak, seperti gorengan. Aku melihat itu dari dekat, saat pergi menenangkan diri di Pulau Samalona.
Makassar belum kehilangan senyumnya meski zaman berganti. Wajah-wajah tua para penarik becak di sekitar losari, atau pembawa kapal ikan dan muatan seperti motor dan sebagainya, masih selalu menyimbolkan wajah Makassar yang sesungguhnya: Ramah.
Di tanah rantau, aku selalu sedih ketika melihat kampung halaman Jusuf Kalla dan tanah tempatnya berkuliah dulu di Universitas Hasanuddin, dianggap garang dan tak gampang menyemai pertemanan di mana-mana.
Aku ingin menolak anggapan itu, namun sangat sulit. Politik menciptakan wajah kota itu menjadi menakutkan. Demontrasi yang berujung bentrok. Pelemparan rumah ibadah. Banyak lagi. Jika aku ditanya, Makassar kasar-kasar ya? Aku jawab sekenanya.
"Jika kaumerasa orang Makassar itu kasar, mereka pasti sudah tidak bisa lagi hidup berdampingan dengan masyarakat yang heterogen. Di mana-mana ada orang Makassar. Tidak baik terlalu primordial macam begitu."
Aku pikir, di tanah Arab sana, di tempat Nabi Muhammad SAW dilahirkan, adalah tanah kebaikan. Tempat mukjizat dipamerkan dan janji-janji Tuhan ditepati. Meski begitu, ada saja masyarakat yang bandel.
Mereka berperang atas nama tanah mereka sendiri padahal untuk ego dan kekuasaan pribadinya. Mereka mencandai perempuan-perempuan muda yang cantik. Mereka hinakan tamu-tamu yang datang dari luar negerinya, karena merasa ia adalah tuan besar.
Semua tanah adalah baik, jika dihuni oleh orang-orang yang baik. Jika jahat? Maka, tanah itu akan tercoreng pula. Tanah selalu beda dari orang yang tinggal di atasnya. Tanah berubah lama, manusia sedetik saja bisa kalap halus budinya.
Aku merindukan masa-masa kecilku itu. Bagaimana Losari yang dulu. Bagaimana orang-orang datang ke sana, tanpa harus takut dengan panah, gertakan, kemacetan dan banyak lagi.
Aku anggit lirik-lirik puitik dari Anging Ammiri, yang barangkali sudah sangat tepat dinyanyikan oleh orang-orang yang punya masa lalu di mana pun berada. Barangkali lagu ini adalah ritual cara memanggil ingatan.
Anging mammiri ku pasang
Pitujui tongtongana
Tusarua takka lupa
Eaule namangurangi
Tutenaya, tutenaya parisina
Battumi anging mammiri
Anging ngerang dingin-dingin
Namalantang saribuku
Eaule namangurangi
Nalolorang, nalolorang jene mata
Terjemahan bebas ke Indonesia:
Wahai semilir angin, aku menitip pesan
Sampaikanlah hingga ke jendela rumahnya
Pada dia yang sering melupakan
Duhai, hingga dia dapat teringat
Si dia yang tak memiliki simpati
Datanglah semilir angin
Angin yang membawa rasa dingin
Yang menusuk hingga ke sumsum tulang
Duhai, agar dia teringat
Bercucuranlah air mata ini
Terlepas lagu ini awalnya ditujukan untuk seseorang yang merindu dengan sangat pada lawan jenisnya yang ia kasihi. Lagu ini tampaknya semakin baik didengar pada zaman kiwari, yang sudah banyak mengubah wajah Kota Makassar itu sendiri, atau kotamu barangkali?