Sumbawa, daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, terdiri dari berbagai etnis dengan latar budaya, adat, bahasa, dan nilai-nilai yang menjadi pedoman dalam bersosial antar sesama. Saya mendapati keragaman suku di Sumbawa, meski hanya melihat di kotanya saja. Sedangkan di desa-desa, masyarakatnya adalah orang Sumbawa atau Tau Samawa, suku yang tinggal di desa dan masih mempertahankan tradisi leluhur.
Tradisi masyarakat di pedesaan memiliki banyak ruang-ruang perjumpaan. Tidak hanya dalam melaksanakan tradisinya, tetapi juga terjadi dalam kesehariannya. Salah satu tradisi yang masih dipertahankan oleh masyarakat Sumbawa, khususnya masyarakat yang tinggal di desa adalah tradisi Rajang Basa.
Rajang Basa adalah proses mengupas, meracik bumbu-bumbu dapur, dan memasak secara bersama-sama dalam acara adat seperti pernikahan, sunatan, sedekah, hajatan dan lain-lain. Karena dilakukan bersama-sama, tradisi Rajang Basa melibatkan ibu-ibu di kampung tempat acara tersebut dilaksanakan. Dua hari atau satu hari sebelum Rajang Basa, kepala dusun atau pemerintah setempat mengumumkan bahwa ibu-ibu diundang Rajang Basa di rumah pemilik hajat.
Keesokan harinya, pada saat acara Rajang Basa, ibu-ibu berbondong-bondong menuju rumah hajatan dengan membawa pisau masing-masing. Pisau menjadi alat utama dalam mengupas bahan dan bumbu dapur. Saya sendiri sampai sekarang masih menyaksikan di Desa Pemasar, Kecamatan Maronge, Kabupaten Sumbawa-NTB, daerah asal saya, ibu-ibu berjalan bersama menuju rumah hajatan guna membantu pemilik hajat menyiapkan lauk, nasi, dan makanan lainnya untuk menyukseskan acara sedekah, sunatan, pengantin dan lain-lain.
Tidak hanya di kampung halaman saya, tradisi Rajang Basa, di Kecamatan Empang, Lape, Desa Sempe pun masih melestarikan tradisi ini. Tradisi Rajang Basa memiliki nilai-nilai positif yang dijadikan prinsip dalam bermasyarakat oleh orang Sumbawa, baik dengan sesama suku Samawa ataupun dengan suku Bima, Lombok, Bugis, Makasar yang sudah lama tinggal di Sumbawa.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak suku, seperti suku Jawa, Sunda, Batak, Madura, Bugis, Betawi, Lombok, Minangkabau, Dayak dan lain-lain. Keanekaragaman suku yang ada menjadikan Indonesia memiliki bermacam-macam budaya. Walaupun berbeda-beda bahasa, budaya, seni, permainan tradisional, tetapi bangsa Indonesia sangat memegang teguh budaya gotong royong yang menjadi modal bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang besar, tangguh, dan unggul, karena semua elemen masyarakat ikut terlibat dalam pembangunan.
Budaya gotong royong juga masih dapat disaksikan di Sumbawa, baik di Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Sumbawa. Contoh kecil saja, ketika ada orang Sumbawa hendak membangun rumah, maka pemerintah setempat mengumumkan untuk mengajak laki-laki desa tersebut untuk terlibat membantu membangun rumah. Begitupun budaya gotong royong yang diterapkan oleh perempuan Sumbawa dalam tradisi Rajang Basa yang bertujuan untuk meringankan pekerjaan pemilik acara.
Dalam sosial masyarakat Sumbawa, dikenal dengan boat telas dan boat mate. Boat telas adalah pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan dalam daur hidup masyarakat Sumbawa seperti acara pernikahan dan sunatan, bahkan dalam acara yang bukan daur hidup seperti membangun rumah, membersihkan jalan desa, komplek makam, masjid dan lain-lain. Sedangkan boat mate adalah pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan kematian, seperti memandikan jenazah, mensalatkan jenazah, menggali kubur, dan acara hajatan 9 hari orang meninggal.
Dalam pandangan masyarakat Sumbawa, ketika ada acara boat telas dan boat matemereka harus terlibat dan menghentikan semua aktivitasnya. Mereka (Tau Samawa) akan malu jika tidak terlibat berpartisipasi atau membantu dalam acara tersebut. Kangila no tempu boat dengan atau kangila lamen no tama boat desa darat (artinya malu jika tidak membantu pekerjaan orang lain atau malu jika tidak ikut berpartisipasi dalam pekerjaan desa).
Kalimat itu dipegang teguh oleh orang Sumbawa dalam kehidupan bermasyarakat, baik yang tinggal di Sumbawa ataupun yang tinggal di daerah lain. Tradisi Rajang Basa yang menjadi simbol gotong royong masyarakat Sumbawa, tidak memandang status sosial ataupun dari suku mana dalam membantu meringankan pekerjaan untuk menyiapkan makanan dalam acara syukuran, dikarenakan masyarakat Sumbawa sangat terbuka dalam membantu orang lain.
Salah satu lawas/puisi Samawa, yaitu:
Mana tau barang kayu
(Walaupun seseorang yang tidak dikenal dan bukan kerabat)
Lamen to sanyaman ate
(Jika dia memberi kedamaian dan ketenangan hati/jiwa)
Ba nan si sanak parana
(Sesungguhnya dialah keluarga yang sebenar-benarnya)
Lawas dijadikan sebagai etika budaya oleh masyarakat Sumbawa dalam hubungan sosialnya, baik yang tidak sedaerah ataupun yang tidak. Bahwa masyarakat Sumbawa dalam mengimplementasikan budaya gotong royong tidak memilih-milih dalam membantu orang lain, dalam artian dia tetap membantu orang lain walaupun bukan sesama suku. Bahkan, pesan yang ingin disampaikan oleh lawas tersebut adalah bahwa Tau Samawa mendambakan suasana aman, damai, dan tenteram, walaupun berbeda keyakinan.
Selain lawas, yang menjadi pedoman, prinsip atau parenti Tau Samawa dalam kehidupan sosial adalah parenti kalanis (prinsip positif masyarakat Sumbawa) dalam bertetangga atau dalam kehidupn sosial. Prinsip ini meliputi 19 saling (hubungan timbal balik), yaitu saling pendi, saling sayang, saling sakiki, saling beme, saling tulung, saling sating, saling jango, saling satotang, saling santuret, saling beri, saleng sadu, saling saharga, saling gantuna, saling mufakat, saling sanyaman ate, saling saliper, saling angkat, saling satenrang, dan saling sadu.
Tradisi Rajang Basa dalam masyarakat Sumbawa yang mengimplentasikan budaya gotong royong. Menurut Syaifuddin Iskandar dkk dalam bukunya yang berjudul ‘’Kebudayaan Samawa’’, saling pendi adalah suatu bentuk hubungan antara seseorang dengan orang lain yang menekankan rasa kasih (empati) yang kuat. Sedangkan saling sayang yang tumbuh dari sikap saling pendi adalah suatu bentuk hubungan antara seseorang dengan orang lain yang menekankan rasa sayang menyayangi.
Kedua saling diatas adalah prinsip yang sangat dipegang teguh oleh masyarakat Sumbawa guna terwujudnya suasana masyarakat atau keluarga yang harmonis. Jika orang Sumbawa tidak terlibat dalam acara atau boat mate atau boat telas mereka akan mendapat sanksi sosial, yaitu akan dibicarakan atau dicemooh dengan kata nonda ila no tama boat desa darat atau boat mate telas, ndi siong bau kubir diri (tidak malu jika tidak membantu acara orang mati ataupun acara daur hidup, nanti dia tidak bisa kubur sendiri). Sehingga lawas, saling sayang, saling pendi dan sanksi sosial tersebut yang membuat orang Sumbawa malu atau kangila jika tidak terlibat membantu orang lain.
Era modernisasi dan abad globalisasi tentu menjadi tantangan dalam melestarikan kearifan lokal. Salah satunya adalah tradisi Rajang Basa yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat Sumbawa lantaran sudah banyak yang menyediakan makanan prasmanan, dan tentunya tidak membutuhkan adanya Rajang Basa dalam menyiapkan berbagai makanan di acara pernikahan, sunatan, dan hajatan.
Saya melihat prasmanan hanya digunakan oleh masyarakat Sumbawa yang tinggal di perkotaan, sedangkan di desa-desa masih mempertahankan tradisi Rajang Basa, karena tradisi ini merupakan nilai yang lahir dari ajaran agama Islam dan menganjurkan saling tolong menolong dalam kebaikan.
Penyunting: Nadya Gadzali