Etnis.id - Di pelbagai daerah di Indonesia, ada budaya yang menarik jelang Ramadan, yakni pawai obor. Tentu saja kegiatan ini terbilang seru, karena pawainya beramai-ramai dengan masyarakat tanpa mengenal usia.
Salah satu yang melakukannya adalah warga Jakarta yang berada di kawasan Kramat Sentiong. Mereka menganggap, kegiatan ini bermakna filosofis sebab api obor bermakna cahaya yang akan menerangi setiap muslim yang akan melaksanakan ibadah puasa. Sedangkan pawai, merupakan simbol eratnya kekeluargaan dan silaturahmi.
Saya membatin, memang benar hal itu. Tentu saja sambilk diselingi harapan dan doa. Saat Ramadan, suasana tak seperti biasanya. Malam-malam akan dilihat para orang tua dan muda beramai-ramai berjalan menuju masjid dengan pakai putih serta sarung menutupi kakinya.
Benar belakalah filosofis itu, sebab banyak para orangtua memberi tahu anaknya untuk pergi beribadah di masjid. Lebih kepada kekeluargaan, bisa dilihat dari mereka yang berbagi takjil di masjid atau di jalanan.
Puasa di Indonesia memang menarik. Apalagi saat menanti buka puasa atau ngabuburit. Selalu saja ada daya tarik seorang kawan, untuk mengajak berbuka bersama. Intinya, berkumpul bareng.
Di Makassar, saya juga biasanya bermain obor. Itu waktu, saya masih kecil dan masih senang keluyuran setelah berbuka puasa. Maklum, rumah saya di pinggiran kota.
Saya biasanya bermain meriam bambu. Untuk membunyikan meriam itu, maka saya menyiapkan satu obor yang saya menyala dan kuletakkan di pinggir sumur.
Sambil membakar satu kayu yang ujungnya sudah kucelup dengan minyak tanah, saya menyulut api di lubang meriam bambu itu, lalu kututup dengan kain tebal yang basah. Jadilah meriam itu berbunyi nyaring.
Tampaknya, tetangga juga menikmati itu dan tidak protes. Anak-anak tetangga yang non muslim juga ikut berbaur. Ramadan menyatukan seluruh lapisan. Ramadan adalah bulan bahagia bagi seluruh umat manusia.
Saya ingat benar, seorang teman saya yang beragama non muslim, ikut bermain meriam bambu dan keliling membawa obor bersamaku. Ia senang dengan momen tahunan seperti Ramadan.
Apalagi jelang berbuka, seusai mandi di kali, kawan saya yang non muslim itu turut dipersilakan oleh ibu saya untuk makan ala kadarnya. Semisal mencoba es buah atau makan makanan yang manis.
Biasanya, masih di dekat rumah saya, obor juga dipakai untuk membuat para peneriak sahur keliling terjaga. Obor mereka genggam dan dibawa berkeliling di malam buta.
Saya pikir, indahnya Ramadan dan sebuah obor yang menyala, akan selalu menghangatkan interaksi sosial kita semua. Tak mesti sama bukan untuk menikmati indahnya suasana Ramadan. Semoga mayoritas dan minoritas bisa saling mengerti satu sama lain.