Sebuah komunitas lokal yang masih menganut kepercayaan Bugis kuno dapat kita jumpai di bagian selatan Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, tepatnya di Kelurahan Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe. Komunitas tersebut dikenal dengan dengan komunitas Towani Tolotang.
Towani berasal dari kata Tau yang berarti orang, sedangkan wani adalah sebuah nama kampung di wilayah Kerajaan Wajo masa lalu (sekarang Kabupaten Wajo), sehingga Towani berarti orang wani, sedangkan Tolotang artinya selatan.
Penamaan Tolotang diberikan pertama kali oleh La Patiroi Addatuang Sidenreng ke-VII yang menyebut Towani Tolotang sebagai orang dari wani yang bermukim di bagian selatan Sidenreng. Diperkirakan pada tahun 1610, bertepatan dengan era kepemimpinan Arung Matoa Wajo La Sangkuru Patau yang sudah memeluk agama Islam pada waktu itu, yang kemudian memerintah seluruh warga yang bermukim dalam wilayah Kerajaan Wajo untuk menganut agama yang sama.
Bagi yang tidak mengikuti dan masih menganut kepercayaan lokal, diperintahkan agar keluar dari wilayah Kerajaan Wajo. Beberapa literatur sejarah tentang Towani Tolotang juga mengafirmasi bahwa keberadaan Towani Tolotang di Amparita tidak terlepas dari kepemimpinan Kerajaan Wajo yang sudah memeluk agama Islam.
Hikayat itu dikonfirmasi oleh seorang warga Sidrap ketika proses penelitian ini berlangsung. Ia mengatakan bahwa kehadiran Towani Tolotang di Kabupaten Sidrap disebabkan oleh pihak Kerajaan Wajo yang mengharuskan warganya memeluk agama yang sama, sehingga Towani yang masih memeluk kepercayaan asli orang Bugis harus keluar dari wilayah Wajo dan meminta suaka politik kepada Addatuang Sidenreng (Kerajaan Sidenreng), kemudian diberikan wilayah di bagian selatan Sidrap dengan beberapa syarat seperti kewajibab mengikuti dan menaati adat istiadat yang berlaku di Addatuang Sidenreng.
Setelah kepindahan Towani Tolotang ke Sidrap dengan memegang prinsip Perrinyameng sebagai pedoman dasar kepercayaan leluhur mereka yang masih setiap tahun dirayakan dalam kurun waktu dua minggu secara berturut-turut, ritual tahunan ini dilakukan untuk menziarahi leluhur I Pabbare sekaligus menjadi ruang silaturahmi bagi seluruh penganut Towani di berbagai daerah.
Nasruddin (2019) dalam studinya menyebut penganut Towani Tolotang berada di berbagai daerah seperti Kalimantan, Sumatera, dan Jakarta yang turut hadir dalam perayaan tahunan Perrinyameng di Sidrap.
Dalam bahasa Bugis, Perrinyameng berarti susah senang. Selain dari itu, Perrinyameng adalah nama satu wilayah di bagian barat Amparita, wilayah tersebut merupakan tempat dimakamkannya I Pabbare sebagai pemimpin Towani yang membawahi kelompoknya ke Addatuang Sidenreng di masa lalu dan menetap hingga saat ini.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muh. Rusli pada tahun 2012 dengan topik kearifan lokal Towani Tolotang dan hasil wawancara ketika penelitian ini berlangsung terungkap bahwa terdapat beberapa prinsip utama dalam melaksanan perrinyameng.
Pertama, hubungan kepada Dewata Seuwae yang dianggap sebagai Tuhan yang Maha Esa bergelar Patotoe, dengan mengikuti segala perintah dan larangan, seperti melakukan perintah Mapenre’ Inanre pada waktu kelahiran, perkawinan, kematian, dan untuk hari kemudian.
Adapun larangannya antara lain menyantap daging babi, berzina, dan membunuh. Perintah dan larangan tersebut dirawat dan dibina oleh pemimpin Towani Tolotang (Uwa’) sampai saat ini agar penganutnya memegang teguh kepercayaan. Kepemimpinan Towani Tolotang diambil dari garis keturunan Uwa’ di masa lalu dan berlaku sampai hari ini.
Kedua, hubungan kepada sesama manusia. Kepercayaan Towani Tolotang berprinsip kedamaian sebagai tujuan dalam membangun hubungannya dengan sesama manusia. Hal tersebut dapat kita temukan dalam terminologi harian mereka “namo tongekki’ narekko maelo tongeng tuae patongengngi” yang artinya, meskipun merasa benar, namun jika orang lain menganggap dirinya juga benar, maka dari itu benarkanlah dia.
Ada sikap toleransi dan menerima untuk mencapai kedamaian. Jika prinsip tersebut diyakini, orang Towani Tolotang menganggap kedamaian akan datang dalam kehidupan manusia, sebab bagaimana pun kebenaran akan naik ke permukaan, Dewata Seuwae maha adil atas kehidupan ini.
Suatu keadaan damai atas prinsip toleransi tidak akan berjalan jika tidak memiliki perangkat filosofis yang dapat diinternalisasi dan bersifat mendetail, seperti hukum yang memiliki pasal, agar penganutnya tidak multitafsir.
Bagi penganut Towani Tolotang, kedamaian sebagai jalan utama membangun hubungan dengan sesama manusia memiliki perangkat-perangkat di dalamnya, seperti narekko siduppako taue lesseko. Artinya, ketika kita berpapasan dengan orang di sebuah jalan yang sempit, maka mengalahlah, butapi’ matarupi, bermakna bahwa setiap perbuatan atau perkataan orang harus ditanggapi.
Siloreng madeceng tessiloreng maja memiliki makn yang luhur tentang anjuran agar manusia berbuat baik dan tidak melakukan yang buruk; Patujui taue, mengutamakan orang lain; Taroi masola taue na aja mua idi’ nassabari dapat diartikan tidak boleh ada orang yang tertimpa musibah atau celaka disebabkan oleh kita.
Tempedding ipau jana seddie tau masagenani narekkko jata’ mo riisseng merupakan larangan untuk mengumbar aib dan cukup diri sendiri yang mengetahuinya; Madecekki’ namadecetto padatta’ rupa tau, ketika berbuat baik dan merasa bahagia begitupun dengan orang lain; Aja’ tasisolangi padatta’ rupa tau, larangan untuk tidak saling menyakiti antar sesama manusia; Makkatenniki’ ri decengnge, artinya berpegang teguh atas nama kebaikan.
Dalam Sureq Galigo, sebagai kitab suci Towani Tolotang, lontara tersebut memuat kisah mitologi yang diyakini oleh Towani Tolotang: Mula Ulona Batara Guru, Taggilinna Sinapatie, Itabenna Walanrange, Appongenna Towanie. Kisah tersebut berisi pentunjuk dan ajaran kehidupan di muka bumi dan kehidupan setelah kematian.
Penganut Towani Tolotang meyakini bahwa ajaran tersebut bersumber dari Sawerigading sebagai generasi ketiga dari Batara Guru (Tomanurung), manusia pertama di bumi, kemudian Sawerigading menikahi We Cudai seorang putri dari kerajaan Cina yang melahirkan I La Galigo sebagai legenda klasik orang Bugis.
Kepercayaan Bugis Kuno ini menganggap bahwa bumi diciptakan oleh Dewata Seuwae, bahwa mereka meyakini adanya hari kiamat, akhirat, kitab suci, dan Sadda (wahyu). Dalam cerita harian Towani Tolotang yang diwariskan secara turun-temurun, Sawerigading dan para pengikutnya dimusnahkan sebab telah banyak berbuat kerusakan, Dewata Seuwae mengutus La Panaungi yang menerima sadda (wahyu) berbentuk seruan untuk melanjutkan ajaran tersebut.
Mitologi tentang La Panaungi sebelum kepergiannya dengan cara mallang (diangkat ke atas langit) berpesan bahwa ajaran yang dianut oleh Towani Tolotang hendaknya dipertahankan sampai La Panaungi kembali turun ke bumi.
Kepercayaan leluhur Bugis yang masih dipertahankan oleh Towani Tolotang lebih menitikberatkan pada etika sosial dalam praktik kehidupan sehari-hari. Kepercayaan tersebut meyakini bahwa jika hubungan terhadap sesama manusia baik, maka hubungan tersebut adalah cerminan hubungan manusia dengan pencipta alam semesta. Prinsip itu paling banyak ditekankan oleh Uwa’ kepada seluruh pengikutnya agar dijalankan dalam kehidupan ini.
- Source gambar utama: https://en.m.wikipedia.org/wiki/La_Galigo
Penyunting: Nadya Gadzali