Pada tahun 1860 A. B. Cohen Stuart menerbitkan sebuah edisi filologis pertama atas karya sastra Jawa. Karya yang diedisikan tersebut adalah Serat Bratayuda, sebuah karya abad 18 oleh Yasadipura I. Dalam penerbitan edisinya Cohen Stuart merasa malu dalam mengedisikan karya ini, kesediaannya mengerjakan adalah semata-mata karena perintah dari petinggi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Bahkan dalam pembukaannya bapak filologi Jawa ini berulangkali meminta maaf karena menyajikan suatu karya yang dekaden, membingungkan, dan bermutu sastra blasteran. Cohen Stuart mengakui lebih suka mengedisikan karya kunonya, yaitu Kakawin Bharatayuddha.
Tidak berhenti di situ, Cohen Stuart meremehkan pemahaman Yasadipura atas bahasa Jawa Kuno dan menyesali mendiang raja Surakarta telah memilih orang sedungu Yasadipura untuk menerjemahkan kakawin yang adiluhung itu ke dalam tembang Jawa Baru.
Dengan cara yang sama, sang ahli filologi mengeluhkan “informan pribumi”-nya sendiri, yang bantuannya, bagaimanapun tak diragukan lagi sangat penting bagi terjemahan Belanda Cohen Stuart terhadap syair tersebut. Informan pribumi itu tidak lain adalah R. Ng. Ranggawarsita (Florida, 2020a: 31-32). Dalam Bharatayuddha, Cohen Stuart dapat menunjukkan seperti hal jumlah nama diri yang memusingkan dan hubungan antara tokoh dan peristiwa yang rumit (Stuart dalam Molen, 2011:18).
Ranggawarsita sendiri, kemudian membuat pula suatu karya jarwa (terjemahan) Kakawin Bharatayuddha. Pola penerjemahannya menarik, yakni dengan menggunakan tiga kolom. Kolom pertama berisi kata-kata bahasa Jawa Kuna yang diambil dari kakawin, kolom kedua berisi terjemahan dari kolom pertama dalam bahasa Jawa Baru, dan kolom ketiga berisi parafrase tiap bait Kakawin Bharatayuddha dalam bahasa Jawa Baru.
Dari bentuk penulisan Ranggawarsita inilah kemudian kita dapat dengan mudah mengidentifikasi tokoh-tokoh baru, nama tokoh baru yang tercipta karena kesalahan pembacaan dan kesalahan mengartikan. Berikut beberapa nama dan tokoh tersebut:
Bagawan Sapwani
Bagawan Sapwani dalam Bratayuda Jarwa adalah nama dari ayah Jayadrata. Nama tersebut terdapat pada pupuh 16, bait ketujuh, baris keenam yang tertulis:
Ing wȇkasan sirahing Jayadrata dhawah wontȇn ing ngajȇngipun kang rama Bagawan Sapwani, kagèt aningali ing sirah pun kang putra. Artinya, pada akhirnya kepala Jayadrata jatuh di depan ayahnya (yaitu) Bagawan Sapwani, terkejutlah (dia) melihat kepala anaknya. Sedangkan dalam Kakawin Bharatayuddha tertulis tèka mara yȇ kisapwan i bapanya kagyat atȇmah śirah juga katon. Terjemahan: itulah jatuh ke pangkuan, ayahnya terkejut melihat kepala (anaknya).
Perbedaan yang terjadi adalah akibat penulis Baratayuda Jarwa memenggal kata kisapwan i bapanya yang berarti pangkuan ayahnya, menjadi ki Sapwani bapanyadan menjadi nama dari seorang tokoh bagawan ayah dari Jayadrata.
Sanga Sanga
Sanga Sanga adalah nama anak dari Satyaki. Keterangan yang memuat nama ini ada di dalam Bratayuda Jarwa pupuh 17, bait pertama, baris ketiga yang berbunyi: ing ngriku tumandang putraning Satyaki nama sang Sanga Sanga langkung sakti kȇndȇl ing prang. Artinya, di situ menyeranglah anak Satyaki (yang) bernama sang Sanga Sanga (yang) sangat sakti (dan) berani di peperangan.
Nama ini tidak terdapat pada Kakawin Bharatayuddha. Pada Kakawin Bharatayuddha pupuh 17, bait pertama, baris ketiga tertulis: ŋkān tandaŋ putra saŋ Sātyaki saŋ asaŋa śaktī lagâtyanta śūra (menyeranglah sembilan orang anak Sātyaki, semuanya kuat dan berani).
Terdapatnya nama baru sang Sanga Sanga, disebabkan penulis menggabungkan kata saŋ asaŋa. Hal ini juga tidak lepas dari cara penulisan aksara Jawa Baru maupun Jawa Kuna yang memiliki kemiripan ketika menulis saŋ asaŋa dang Sanga Sanga.
Tutuka
Tutuka adalah nama lain dari Gathotkaca, anak dari Bima. Pada Bratayuda Jarwanama ini terdapat pada pupuh 18, bait kedua, baris keempat, yaitu:
Sampun kawastanan pun Tutuka, yèn mundura kasigakna kados sȇgawon (jangan panggil saya Tutuka, jika mundur, usir saja seperti anjing.Sedangkan pada tempat yang sama pada Kakawin Bharatayuddha tertulis si tutut atan panaŋgaha mȇneki gȇgön sakarȇŋ yang berarti si setia atau penurut tidak akan pernah berkata, “tunggu sebentar”.
Kata tutut atan ketika dituliskan menggunakan aksara Jawa, baik Jawa Baru maupun Jawa Kuna akan menggunakan apa yang dinamakan sastra laku, ditambah lagi aksara ta dan ka pada aksara Jawa Baru dan Jawa Kuna memiliki kemiripan. Sehingga penulis teks kawi yang disalin oleh penulis Bratayuda Jarwa memenggal kata menjadi si tututa tan kemudian bertransformasi menjadi si tutuka tan.
Kalana Srenggi
Nama Kalana Srȇnggi terdapat pada pupuh 18, bait 10, baris pertama kedua teks. Pada Bratayuda Jarwa tertulis:
Nuntȇn mangsah sang Kalana Srȇnggi, danawa langkung kȇndȇl angȇgilani.Artinya, kemudian melawan sang Kalana Srȇnggi, raksasa yang sangat berani dan menyeramkan. Sedangkan pada Kakawin Bharatayuddha tertulis muwah umasö tikaŋ kalana Śṛŋgawan ardha wagus, terjemahan untuk “lalu datang Śṛŋgawan iblis yang sangat tampan.”
Terjadi pergeseran makna dari kata kalana. Pada Bratayuda Jarwa kata kalanamerupakan bagian dari nama, sedangkan pada Kakawin Bharatayuddha kata kalanaberarti iblis. Terjadi pergeseran makna pula dari perwujudan Śṛŋgawan yang pada Kakawin Bharatayuddha dikatakan wagus atau tampan, sedangkan pada Bratayuda Jarwa dikatakan anggegilani yang berarti menjijikkan atau menyeramkan.
Nirbita dan Raden Traya
Nirbita dalam Bratayuda Jarwa adalah nama tokoh bawahan Prabu Matsyapati yang mendapingi cucu dari Prabu Matsyapati yang bernama Radèn Traya. Dalam tradisi pewayangan, Nirbita adalah patih dari Prabu Matsyapati. Nama keduanya terdapat pada pupuh 19, bait 21, baris keempat: Sarta sang Nirbita kang mangka pangiriding wayah Radèn Traya, terjemahan untuk “serta sang Nirbita yang menjadi pendamping cucu (Prabu Matsyapati, bernama Radèn Traya.”
Sedangkan dalam Kakawin Bharatayuddha terdapat pada pupuh 19, bait 22, baris keempat, yaitu: nirbhīta n pakapaŋruhun putu nira ŋ wīratrayānindita. Artinya, ketiga cucunya yang keberaniannya tidak tercela berada di garis depan, dan sejauh ini dia (Prabu Matsyapati) tahu.
Kata nirbhīta dalam kamus Zoetmulder berarti tidak kenal takut, oleh penulis Bratayuda Jarwa dimaknai menjadi nama dari seorang tokoh. Begitu pula dengan kata wīratrayānindita, kata wira berarti berani, dan traya berarti tiga, oleh penulis Bratayuda Jarwa dimaknai sebagai nama seseorang, yaitu Radèn Traya.
Jika Cohen Stuart menganggap jika para pujangga Surakarta adalah seseorang yang dungu, kiranya pendapat tersebut kurang tepat. Memang bisa jadi mereka salah dalam menerjemahkan suatu kata atau memenggal kata. Tapi pada saat itu memang sudah terdapat jarak pengetahuan antara zaman Jawa Kuno dan Jawa Baru.
Boleh jadi pula, tokoh-tokoh yang “baru” ditulis oleh pujangga Surakarta itu sudah ada sebelumnya. Hal ini tidak lepas dari jalinan hubungan antara tradisi seni pertunjukan dan tradisi tulisan yang saling berpintal. Tradisi pertunjukan yang mengedepankan pewarisan secara lisan dibanding tulisan. Tradisi lisan atau dalam bahasa Jawa sering disebut dengan metode kupingan ini sangat mudah sekali mengubah kata.
Di sisi lain, kiranya perlu untuk mengapresiasi para pujangga keraton. Terlepas dari kesalahan dalam menerjemahkan maupun memenggal kata, mereka bisa membuat cerita dari masing-masing tokoh tersebut. Seperti contoh tokoh Tutuka yang dijadikan sebagai nama kecil dari Gathotkaca mempunyai cerita tersendiri dan cukup panjang, serta yang penting cerita ini populer di masyarakat Jawa.
Perubahan-perubahan tersebut menunjukkan bahwa karya sastra bersifat dinamis. Di samping perlu menerima perubahan-perubahan itu, perlu juga untuk mengetahui awal mulanya. Bukan untuk berusaha memurnikan, tapi bukankah dengan demikian referensi cerita menjadi lebih bervariasi?
Penyunting: Nadya Gadzali