Sebagian orang mungkin sudah sering mendengar istilah ‘perdikan’ yang biasanya erat dengan istilah Desa Perdikan atau Tanah Perdikan. Perdikan adalah status bebas pajak yang diperuntukkan pada desa-desa yang memelihara makam tua, masjid atau pesantren [Misbahus Surur, 2020].
Status tanah perdikan tersebut disahkan oleh raja yang berkuasa yang kemudian penduduknya dibebaskan dari tanggungan wajib pajak. Namun ternyata, konsep Perdikan ini mengadopsi sistem dari masa Hindu-Buddha. Pada masa Hindu-Buddha, tak sedikit desa-desa berstatus bebas pajak yang dapat dilacak melalui prasasti atau piagam.
Perdikan adaptasi dari zaman Hindu-Buddha
Pada zaman Hindu-Buddha, terdapat klasifikasi desa-desa. Desa-desa yang berada di wilayah kekuasaan istana berkewajiban kepada pusat pemerintahan berupa wajib pajak (drawya haji) dan kerja wajib (buat haji)—di mana desa harus menyetorkan tenaga kerjanya kepada istana.
Desa-desa yang mendapatkan kewajiban tersebut disebut dengan istilah wanua. Keluarga raja beserta jajaran pejabatnya hidup melalui pajak-pajak dan kerja rodi dari wanua-wanua tersebut [Lombard, 2005].
Sementara itu, ada pula desa yang memiliki keistimewaan untuk tidak membayar pajak, yang disebut sima. Sima adalah desa yang dibebaskan pajak oleh pemerintahan pusat. Sebagai gantinya, pajak tersebut dialokasikan untuk desanya sendiri.
Status sima menurut Machi Suhadi [1983] dianugerahkan oleh raja dengan alasan-alasan terbentu, di antaranya untuk memajukan kegiatan keagamaan, menjalankan tugas dan fungsi tertentu, memelihara bangunan suci keagamaan (candi dan bangunan sakral lainnya), dan sebagai hadiah atas jasa seseorang atau desa kepada raja.
Desa yang mendapatkan status sima berada langsung di bawah pemerintahan raja tanpa birokrasi penguasa daerah. Desa yang pernah menjadi sima mempunyai bukti otentik berupa prasasti atau lempengan besi dengan stempel raja yang sedang berkuasa.
Betapapun yang mengeluarkan status sima adalah raja, namun tidak ada keharusan bagi penduduk sima untuk mendukung raja. Sehingga ketika zaman Hindu-Buddha runtuh, konsep tanah sima masih bertahan, bahkan diafirmasi dengan adanya tanah perdikan.
Perdikan masa kerajaan Islam
Ketika Islam masuk ke Nusantara dan mulai terlembagakan melalui kerajaan atau kesultanan Islam, konsep tanah sima tidak dihapuskan begitu saja, melainkan diadopsi menjadi perdikan. Sebagaimana sima, tanah perdikan merupakan tanah bebas pajak yang diberikan oleh raja kepada desa-desa di bawah kekuasaannya.
Anugerah tanah perdikan juga hampir sama dengan tanah sima, yaitu oleh raja atau sultan kepada orang yang telah berjasa pada kerajaan atau desa yang merawat bangunan atau situs keagamaan yang ada di desa tersebut.
Desa yang mendapat anugerah perdikan berarti telah memenuhi beberapa kriteria. Pertama, terdapat makam tua yang merupakan makam tokoh agama yang dianggap berjasa bagi masyarakat, sehingga desa tersebut dibebaskan dari pajak lantaran telah merawat makam tokoh agama.
Kedua, yaitu adanya masjid yang pada zaman dahulu keberadaannya tidak seramai hari ini. Masjid itu dulunya adalah tempat yang jarang ditemui dan biasanya merupakan peninggalan dari tokoh penyebar agama Islam di tempat tersebut. Maka dari itu, desa yang terdapat masjid dibebaskan dari tanggungan pajak dari pemerintah.
Kemudian yang ketiga yaitu adanya lembaga pendidikan atau pesantren. Adanya pesantren sebenarnya tidak lepas dari adanya masjid, sebab pada zaman dahulu sebelum adanya pesantren, pendidikan keagamaan seringkali dilakukan di serambi-serambi masjid. Pendidikan ‘serambi masjid’ ini yang menjadi embrio kemunculan pesantren-pesantren yang kita kenal saat ini.
Hanun Asrohah dalam Pesantren dalam Dialog dan Integrasi [2011] menambahkan beberapa penjelasan tentang tanah perdikan yang diberikan lantaran adanya hubungan dengan keluarga raja, bangsawan yang diberi tanah apanage sebagai tanah kependudukan, kepada yang telah berjasa kepada raja, dan kepada orang-orang yang menyerukan kepada kesalihan (mutihan).
Beberapa desa perdikan yang diberikan oleh pengusasa Mataram digunakan sebagai pusat pendidikan agama Islam, antara lain Pesantren Tegalsari di Ponorogo dan Pesantren Sewulan di Madiun, sedangkan tanah perdikan Pesantren Mlangi diberikan oleh Kasultanan Yogyakarta dan Pesantren Maja diberikan oleh Kasunanan Surakarta.
Perdikan masa kolonial
Penjajahan Belanda di Indonesia tidak mengubah keberadaan tanah perdikan. Tanah perdikan justru dipertahankan melalui Staatsblad 1853 No. 77 De Bevolking En Hoofden Van De Zoogenaamde Perdikan Dessa’s Vrijgesteld Van Alle Belastingen.
Undang-undang tersebut berisi tentang dibebaskannya tanggungan pajak kepada desa berstatus perdikan, yaitu desa yang memelihara makam leluhur para pangeran, bupati, tokoh, dan lain sebagainya; kuil atau tempat-tempat suci lainnya yang dikeramatkan oleh penduduk asli. Demikian juga pada masa kolonial, desa perdikan dibebaskan dari kerja rodi.
F. Fokkens mencatat dalam Vrije Desa's op Java en Madoera [1887] bahwa di pulau Jawa dan Madura terdapat 241 desa bebas pajak yang untuk alasan tertentu, Fokkens tidak menyebutnya perdikan, melainkan vrije desa.
Dari 241 desa tersebut, jika diperrinci sejumlah 69 desa di Bagelen, 51 di Madiun, 41 di Banyumas, 33 di Madura, 20 di Pekalongan, 9 di Jepara, 6 di Kediri, 5 di Surabaya, 2 di Rembang, 2 di Semarang, serta 1 masing-masing di Cirebon, Tegal dan Kedu.
Status perdikan pada masa kolonial juga membawa keuntungan bagi masyarakat bumiputera. Michael Laffan [2016] menyebutkan bahwa pasca perang Padri dan Perang Jawa, ulama kian menjauh dari keraton. Terlebih saat itu dikenal sebuah anggapan bahwa bergaul dengan golongan santri seperti halnya bergaul dengan sampah.
Hal itu tak lain merupakan cara kolonial untuk memecah perlawanan dari bawah melalui stigma terhadap santri. Pasalnya, sebagian besar dari pasukan Diponegoro merupakan santri-santri perdikan.
Namun, hal itu menjadi angin segar bagi desa-desa perdikan. Dengan adanya sistem Tanam Paksa pada tahun 1830, para pemuka agama di desa perdikan memiliki tanah yang luas untuk ditanami, sejauh mereka dapat mempertahankan status perdikannya.
Masih berdasarkan catatan Laffan, pada tahun 1855, seorang pengamat Belanda melaporkan bahwa desa-desa perdikan termasuk yang paling baik, paling kaya, dan berpenduduk paling banyak di Jawa.
Hal ini didukung dengan adanya survei pada tahun 1822 yang menyebutkan bahwa wilayah perdikan memiliki akses ‘tak terbatas’ pada perkebunan kopi. Bahkan, seorang misionaris menyebutkan bahwa wilayah perdikan menjadikan Pulau Jawa terislamisasi secara berkelanjutan.
Senjakala perdikan pasca kemerdekaan
Pasca kemerdekaan, status desa perdikan dihapuskan melalui Ubdang-undang Nomor 13 Tahun 1946 Tentang Penghapusan Desa-Desa Perdikan. Undang-undang tersebut menimbang perlu adanya satu macam bentuk desa untuk menyusun masyarakat yang kokoh di Indonesia.
Maka dari itu, semua desa berstatus perdikan dihapuskan status keistimewaannya (bebas pajak) dan menjadi desa seperti pada umumnya hari ini. Tanah perdikan masih dipertahankan dan lazim terdengar hingga kini sebagai istilah kultural bagi desa yang pernah mendapatkan status demikian, bukan status administratif desa yang memiliki hak-hak istimewa.
Penyunting: Nadya Gadzali