Sunan Kalijaga menjadi salah satu dari sembilan wali yang terkenal di Jawa, dan ia dikenal sebagai tokoh yang sangat berperan dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Salah satu metode unik yang dibawa oleh Sunan Kalijaga adalah penggunaan seni wayang kulit untuk menyampaikan pesan-pesan agama secara filosofis.
Wayang kulit adalah salah satu an tradisional Jawa menggunakan boneka kulit untuk pertunjukan, dan Sunan Kalijaga memanfaatkannya sebagai media dakwah yang efektif. Pertunjukan wayang kulit memiliki kisah-kisah filosofis yang mencerminkan sejarah dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Jawa. Wayang kulit mencakup karakter-karakter seperti Arjuna, Bima, Srikandi, dan lainnya.
Sunan Kalijaga mengambil pendekatan yang cerdas dengan mengintegrasikan kisah pewayangan untuk menyampaikan ajaran Islam. Sunan Kalijaga memasukkan nilai keislaman sehingga masyarakat tidak sadar sudah memahami Islam dalam pertunjukan wayang yang dimainkan oleh Sunan Kalijaga.
Dalam buku “Sunan Kalijaga: Pujangga Islam dan Budayawan Jawa”karya Mulyadi, menerangkan bahwa Sunan Kalijaga merupakan sosok ikonik dalam yang melakukan syiar Islam melalui pergeralaran wayang kulit.
Kreativitas itu membawa perubahan yang signifikan lantaran dapat diterima dengan cepat oleh masyarakat. Diketahui bahwa masyarakat turut andil dalam pertunjukan wayang, dan secara sukarela ikut terlibat dalam dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga.
Kemasan dakwah Sunan Kalijaga membuat masyarakat terhanyut, yang pada saat itu masih kental ajaran agama Hindu-Buddha. Masyarakat secara bertahap menjadi pengikut Sunan Kalijaga dan menyerap esensi yang ada dalam pertunjukan wayang kulit. Seperti halnya Jimat Kalimasada, laku puasa, semedi, dan amalan-amalan yang mendorong manusia pada ketenangan batin.
Kecenderungan dakwah Sunan Kalijaga mengarah pada batiniah, mendorong masyarakat yang ketika itu masih bercorak Hindu-Buddha, bersedia menyimak lakon pewayangan Sunan Kalijaga. Hingga akhirnya, satu per satu dari mereka memeluk agama Islam.
Wayang sebagai media pendidikan dan dakwah
Sunan Kalijaga menggunakan pertunjukan wayang kulit untuk menyampaikan pesan-pesan Islam secara menyeluruh. Melalui pengkarakteran wayang, ia mengilustrasikan prinsip-prinsip moral dan etika Islam. Wayang tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga alat pendidikan dan media dakwah yang efektif.
Dalam buku “Sunan Kalijaga: Pujangga Islam dan Budayawan Jawa”karya Mulyadi pula, dijelaskan bahwa wayang merupakan perwujudan manusia yang sejatinya tidak bisa hidup tanpa tuannya. Tidak mampu bergerak, berperan serta dalam kehidupan tanpa campur tangan dari tuannya. Maka, bentuk orisinal manusia adalah buta, yang tidak tahu apa-apa tentang kehidupan.
Dari sini, tuntunan dari sang tuan (baca: Allah SWT) menjadi sangat penting. Dalam pertunjukan wayang, yang menjadi tuan adalah sang dalang yang bisa menggerakkan wayang tersebut menuju kesejatiannya sebagai seorang manusia, sikap yang seharusnya dilakukan, tentang menjalin persaudaraan dan memberikan cinta kasih terhadap sesama. Maka, wayang adalah miniatur yang berusaha ditampilkan Sunan Kalijaga dalam kehidupan manusia yang sebenarnya.
Dari kisah wayang itu pula, Sunan Kalijaga menyimbolkan dua nilai kehidupan yang saling bertentangan, antara yang jahat dan yang baik, antara yang diperbolehkan dan yang dilarang. Semua digambarkan dalam dualisme kisah pewayangan. Misalnya, kisah Pandawa dan Kurawa, yang keduanya membawa prinsip yang jauh berbeda. Pandawa menjunjung tinggi sikap kesatria. Sedangkan Kurawa dikisahkan dengan sikap-sikap tercela. Kedua sikap tersebut membuahkan hasil yang sangat jauh berbeda.
Dengan nilai kebajikan yang dianut oleh Pandawa, mereka menuai keberkahan hidup dari Sang Maha Kuasa. Sedangkan Kurawa memperoleh keburukan-keburukan dari hasil perbuatannya. Semuanya tergambar jelas dalam perang Bratayuda. Dalam perang itu, sang kuasa seolah ingin mengisyaratkan kepada seluruh manusia bahwa nilai kasih sayang dan kebajikan akan terus ada dan abadi di bumi. Oleh karena itu, ajaran-ajaran untuk menuai nilai kebajikan sangat penting untuk dilakukan.
Keselarasan budaya dan agama
Ciri yang menonjol dalam pendekatan Sunan Kalijaga adalah keselarasan antara budaya lokal dan agama Islam. Dia tidak berusaha menghapus budaya Jawa, justru sebaliknya, mengintegrasikannya ke dalam ajaran agama. Salah satu cara Sunan Kalijaga menyelaraskan budaya dan agama adalah dengan menggambarkan karakter-karakter pewayangan dalam konteks Islam.
Dalam pertunjukan wayang, ia menghadirkan tokoh-tokoh seperti Semar, Gatotkaca, Arjuna, dan Bima, yang dikenal oleh masyarakat Jawa sejak lama. Namun, ia memberikan dimensi religius pada karakter-karakter ini dengan menyisipkan pesan-pesan bernafaskan Islam ke dalam lakon.
Misalnya, dalam cerita Sunan Kalijaga, tokoh Semar, yang awalnya jenaka dalam pewayangan, diubah menjadi yang karakter yang arif dan berperan sebagai pendamping dan penasehat Raja Amarta. Sunan Kalijaga menggambarkan Semar sebagai penasehat yang baik, yang mengajarkan nilai-nilai agama Islam dan memberikan nasihat kepada raja tentang cara memerintah yang adil dan bijaksana. Ini adalah contoh bagaimana wayang kulit digunakan untuk menyatukan budaya lokal dengan ajaran agama Islam.
Sunan Kalijaga dikenal sebagai ulama yang sangat toleran. Ketika menonton wayang, kita akan menemukan adegan serta dialog yang diangkat dari relasi Sunan Kalijaga dengan Mpu Tantular. Dalam kisah ini, mereka saling berdebat tentang agama mereka masing-masing, tetapi debat ini tidak berakhir dengan konflik atau permusuhan. Sebaliknya, kisah ini menyoroti pentingnya dialog antar-agama dan toleransi.
Kecocokan perilaku tokoh dan produk kreatif (baca: wayang) menjadi landasan dakwah yang digelorakan, bahwa Islam mampu beradaptasi di sepanjang zaman, termasuk dalam kultur masyarakat yang pada masa itu bercorak Hindu-Buddha. Unsur kebajikan yang ada dalam Hindu-Buddha tersaji secara apik, sehingga masyarakat tidak ragu untuk mengaplikasikan nilai Islam dalam pewayangan dalam kehidupan sehari-hari.
Penerimaan masyarakat
Pendekatan Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit menuai penerimaan yang positif dari masyarakat Jawa. Pertunjukan wayang yang diintegrasikan dengan pesan-pesan agama menjadi bagian penting dalam budaya Jawa. Bahkan dalam praktiknya, nilai pewayangan masih dipraktikkan oleh masyarakat hingga sekarang.
Kita bisa melihat laku menyepi atau retret yang menjadi praktik keagamaan di mana seseorang menarik diri dari dunia luar untuk merenung, beribadah, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam beberapa lakon pewayangan, karakter utama seperti Yudhistira atau Rama seringkali menyepi ke hutan atau gua untuk mencari petunjuk atau menamkan spritual mereka. Praktik ini mencerminkan asketis dan kontemplatif dalam agama Islam, di mana seseorang dapat mengasingkan diri untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Menyepi dalam pewayangan dapat diinterpretasikan sebagai tindakan pengorbanan untuk mencapai tingkat spiritual yang lebih tinggi. Ini juga mencerminkan pentingnya introspeksi, meditasi, dan refleksi dalam kehidupan keagamaan. Dalam Islam, menyepi dapat membantu individu untuk berfokus pada ibadah, memahami diri sendiri, dan menemukan kedekatan dengan Allah SWT.
Praktik lain seperti berpuasa juga dilakukan masyarakat hingga sekarang. Dalam pewayangan Jawa, puasa juga menjadi bagian penting dalam kisah-kisah pewayangan. Karakter-karakter utama, terutama para kesatria seperti Arjuna atau Bima, kerap menjalani puasa untuk memohon pertolongan atau memperoleh kekuatan sebelum menghadapi musuh atau mengatasi ujian. Ini mencerminkan prinsip puasa dalam agama Islam, di mana umat Islam berpuasa selama bulan Ramadhan untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengasah kedisiplinan diri, dan menunjukkan solidaritas dengan orang-orang yang kurang beruntung.
Praktik puasa dalam pewayangan mencerminkan nilai-nilai keagamaan seperti keteguhan hati, pengendalian diri, dan pengorbanan demi mencapai tujuan yang lebih tinggi. Ini adalah nilai-nilai yang seringkali dianjurkan dalam Islam, dan praktik puasa dalam pewayangan dapat menjadi cara untuk menyampaikan pesan-pesan agama kepada masyarakat.
Praktik seperti puasa dan menyepi dalam pewayangan adalah contoh bagaimana nilai-nilai pewayangan dapat diterima. Hal itu berarti nilai-nilai kebajikan tidak lekang oleh waktu, lintas zaman dan bahkan masih relevan hingga saat ini. Masyarakat meyakini bahwa laku-laku keagamaan seperti puasa dan menyepi menjadi wujud ketaatan mereka kepada Pencipta, untuk menemukan petunjuk-petunjuk kehidupan yang telah digariskan.
*Ilustrasi tokoh Semar: “Shadow puppet representing Semar”, circa 1914. Foto/dok: Koleksi Tropenmuseum, Wikimedia Commons.
Penyunting: Nadya Gadzali