Menurut catatan sejarah, disebutkan bahwa pagelaran wayang merupakan salah satu kesenian tertua yang keberadaannya masih eksis hingga saat ini. Berdasarkan informasi tersebut dinyatakan bahwa wayang telah dikenal orang Jawa sejak lebih dari seribu tahun yang lalu.
Sejak awal kemunculannya, wayang tak hanya menjadi tontonan tapi juga menjadi tuntunan bagi orang Jawa. Di antara ratusan tokoh pewayangan, beberapa di antaranya dijadikan sebagai panutan dan sumber inspirasi bagi orang Jawa. Salah satunya adalah sosok Bima atau yang juga dikenal dengan nama Werkudara. Ia merupakan salah satu ksatria dari golongan pandhawa.
Dalam dunia pewayangan, sosoknya digambarkan sebagai seorang ksatria yang tak sekedar sakti mandraguna, tetapi juga tekun menuntut ilmu dan patuh pada perintah guru.
Di samping itu, sosok Bima juga dianggap sebagai simbol maskulinitas bagi sebagian orang Jawa. Berbagai kelebihan yang dimiliki oleh Bima menjadi alasan banyak orang Jawa mengidolakannya.
Saking besarnya kecintaan orang-orang di masa lalu pada sosok Bima, sampai-sampai sosok ini diperdewa atau dipuja layaknya dewa. Adapun bukti pemujaan terhadap sosok Bima didapat dari adanya relief atau arca yang diduga sebagai sosok Bima pada tempat dan bangunan suci dari era Hindu-Buddha.
Pada zaman Hindu-Buddha, yang dimaksud tempat suci bukan hanya tempat yang digunakan untuk sembahyang, tetapi juga tempat-tempat yang dekat dengan sumber mata air dan tanah yang digunakan sebagai lahan pertanian—juga dianggap sebagai tempat suci.
Anggapan itu muncul lantaran tempat-tempat itu diyakini sebagai persemayaman para dewa. Dengan memuliakannya, mereka percaya bahwa dewa yang bersemayam di sana akan melindungi dan mendatangkan berkat.
Pemuliaan sumber mata air di masa Hindu-Buddha ditandai dengan didirikannya candi atau tempat pemujaan yang letaknya tak jauh dari sumber mata air. Sementara untuk lahan, dimuliakan dengan menetapkan suatu daerah menjadi daerah perdikan atau shima dan pendirian bangunan pemujaan yang bermakna kesuburan.
Menurut Dwi Cahyono, seorang sejarawan dari Universitas Malang, di era Hindu-Buddha, sosok Bima pernah dijadikan sebagai lambang kesuburan. Buktinya adalah kemunculan sosok Bima pada lakon-lakon wayang yang berkaitan dengan pertanian. Beberapa diantaranya adalah lakon "Lampahan Bima ing Lepen Serayu" dan "Lampahan Bima Tulak". Uniknya, dua lakon ini hanya ditemukan dalam repertoar pewayangan Jawa.
Pada "Lampahan Bima ing Lepen Serayu, dikisahkan Bima sedang bertanding melawan Kurawa untuk membuat sungai. Dalam lakon tersebut, dikisahkan Bima mampu membuat sungai tanpa menggunakan alat apapun. Sungai yang kemudian diberi nama Serayu itu dibuat oleh Bima dengan menggunakan phalus (kemaluannya).
Selanjutnya pada "Lampahan Bima Tulak" dikisahkan Bima tengah memberantas hama wereng pada lahan pertanian yang baru saja dibukanya. Adapun cara yang dilakukan Bima dalam pemberantasan hama wereng itu adalah dengan cara keluar malam tanpa berbusana sambil membaca suatu mantra.
Saat prosesi itu berlangsung, diceritakan bahwa phalus Bima tak hanya mengeluarkan cahaya berwarna hijau terang, teapi juga memiliki daya hisap yang sangat kuat. Saking kuatnya, sampai-sampai semua hama wereng terhisap masuk ke dalamnya.
Selain dimunculkan dalam lakon-lakon wayang. Pemujaan sosok Bima sebagai lambang dari kesuburan juga dibuktikan dengan ditemukannya arca Bima di wilayah yang berdekatan dengan lahan pertanian, salah satunya, di Tulungagung. Sayangnya, saat geger 1965, arca Bima itu dihancurkan dan sebagian dicuri orang, sehingga yang tersisa saat ini hanyalah serpihan-serpihannya saja.
Selain diwujudkan dalam bentuk arca dan relief. Pemujaan terhadap sosok Bima juga diwujudkan dalam sebuah arca berbentuk phalus dengan ukuran yang sangat besar. Adapun bentuk phalus itu merupakan bentuk naturalis dari konsep lingga dalam agama Hindu.
Hal inilah yang menurut Dwi Cahyono membuat pemujaan terhadap sosok Bima memiliki hubungan dengan pemujaan phaluisme yang menurutnya pernah berkembang di Jawa. Selain itu, pemujaan terhadap sosok Bima juga kemungkinan dilatari oleh arti dari kata Bima itu sendiri.
“Dalam kitab Brahmandapurana Bima merupakan salah satu dari delapan untuk penyebutan Dewa Siwa. Selain disebut dengan Bima, dalam kitab tersebut Dewa Siwa memiliki nama lain seperti Rudra, Bhawa, Sarwa, Isa, Pasupati, Ugra, dan Mahadewa. Jika pengkultusan terhadap sosok Bima itu disebabkan oleh nama lain dari Dewa Siwa. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa itu, dalam ritus agama Hindu maskulinitas begitu kuat dan menggeser feminitas yang di era sebelumnya tampil lebih dominan dalam kehidupan orang Jawa di masa kuna,” tambahnya.
Pemujaan terhadap sosok Bima ini dimungkinkan terjadi saat Majapahit mencapai masa keemasannya hingga era Majapahit akhir. Orang-orang Jawa di masa itu mulai mencari sosok ‘dewa lokal’. Dan sosok Bima inilah yang terpilih. Umumnya kebanyakan yang melakukan pengkultusan terhadap sosok Bima ini adalah para petani yang hidup di luar kraton.
“Pemasangan atau pembangunan arca Bima pada lahan pertanian bukan hanya bertujuan agar tanah di sana subur dan tanaman yang tumbuh di atasnya berkembang dengan baik, tetapi juga bertujuan agar semua yang ada di sana terhindar dari hal-hal yang berbau negatif,” kata Dwi Cahyono.
Lahirnya lakon yang menggambarkan Bima dekat dengan kehidupan petani, mulai dari pembuatan irigasi, pengusiran hama, dan lain sebagainya itu dapat dijadikan bukti bahwa pengkultusan terhadap sosok Bima kebanyakan dilakukan oleh kaum petani.
Di masa sekarang, sisa-sisa praktik pengkultusan terhadap sosok Bima boleh jadi sudah tak ada lagi, tetapi jejak pengkultusan pada sosok Bima terjadi dalam pagelaran wayang kulit yang dilakukan di desa-desa dengan kultur agraris. Di antaranya saat dilakukan ritual bersih desa di wilayah agraris, melalui pementasan wayang kulit. Seringkali yang dipentaskan adalah lakon Bima. Sosok yang memiliki muatan budaya agraris.
Ia menambahkan, bahwa selain dipuja untuk ritus kesuburan. Pada masa hindu-Buddha, sosok Bima juga pernah dipuja dalam ritus penolak bala. Bukti dari hal itu adalah ditemukannya arca Bima di areal pertanian dan areal yang boleh dikatakan gawat atau rentan bencana alam. Salah satunya, sisa-sisa arca Bima pada Arcapada yang berada di Gunung Semeru.
Adapun alasan peletakan arca Bima di sini menurut Dwi Cahyono dimaksudkan guna meredam amukan letusan Gunung Semeru. Sehingga, tanaman milik para petani tak rusak terkena letusan gunung tersebut.
Khazanah era klasik yang berhubungan dengan Bima adalah suatu sarana bagi ritus kesuburan, yakni ritus yang penting pada kaum petani. Pesan yang ingin disampaikan dari ritus tentang phalus atau pemujaan terhadap Bima, bukanlah untuk mengumbar kemaksiatan, melainkan simbolisasi dari sebuah upacara yang berkaitan dengan kesuburan.
Penyunting: Nadya Gadzali