Film pendek Tilik (2018) karya sutradara Wahyu Agung Prasetyo beberapa waktu lalu menjadi trending topik di pelbagai media sosial. Film itu di luar kelaziman pada umumnya. Digarap dengan memainkan satu sudut kecil tentang fenomena rasan-rasan ibu-ibu desa.
Tak perlu latah setting lokasi di luar negeri dan gedung mewah, cukup di atas bak truk. Pun tak perlu artis cantik ala sinetron Ibukota, cukup emak-emak kampung. Film itu menjadi menarik karena menentang dominasi film arus utama yang melulu berkisah tentang asmara dan cinta-cintaan.
Tilik (menjenguk) mampu menarik hati, karena dengan menontonnya, publik seolah diajak terlibat, bahwa apa yang mereka lihat adalah apa yang mereka lakukan sehari-hari. Dengan kata lain, Tilik menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia yang senyatanya.
Hal itu menjadi semacam oase di kala kebanyakan film terlalu utopis dan hiperbolis. Jangan lupakan juga Arif Alfiansyah, seorang komika bersuara cempreng yang membuat konten youtube sebagai ajang pamer kemampuannya bernyanyi.
Jangan bayangkan bahwa suara yang dihasilkan enak didengar untuk ukuran orang normal. Suara Arif sangat-sangat fals, jauh dari nada dasar (kata lain dari rusak), bahkan sesekali melengking tak beraturan.
Nyanyian fals itu justru digarap dengan serius untuk tak menjadi serius. Menampilkan video-klip selayaknya album musisi beken pada umumnya. Ia menjuluki dirinya sebagai The Godfather of Broken Fals. Memproduksi nyanyian-nyanyian yang sepenuhnya sumbang.
Uniknya, konten itu ditonton lebih dari 2,2 juta orang. Terdapat 12.000 lebih komentar yang hampir semuanya menanggapi dengan kocak. Lihat saja di konten berjudul lagu "Penyesalan" di kanal youtube Arif terdapat komentar: “siapa yang benar-benar nyesel dengar lagu ini? like ya”, “makasih bang Arif, semenjak dengar lagu ini gue jadi tau betapa mengerikannya siksa kubur”, “coba puter lagu ini di tempat angker, siapa tau bisa menetralisir gangguan jin”, “berkat lagu ini BAB saya jadi lancar”, dan lain sebagainya.
Arif berupaya mendekonstruksi ajang pamer kemampuan vokal di youtube. Bukankah selama ini banyak youtuber mencoba kemampuan bernyanyi dengan berpamer suara indah dan enak didengar?. Tapi, Arif berada di jalur sebaliknya. Apa yang dilakukannya membuka alternatif pemahaman lain tentang apa itu musik (bernyanyi).
Setidaknya, suara fals Arif mencoba melawan klaim tentang ukuran indah dan tak indahnya sebuah –vokal- musik. Penentu klaim itu selama ini seringkali berada dalam kuasa segelintir orang yang dipandang memiliki otoritas untuk menentukan mana musik yang layak dan tak layak didengar.
Ajang-ajang pencarian bakat menyanyi di televisi menunjukkan tentang ukuran-ukuran yang demikian. Peserta berlomba-lomba menyanyi dengan patokan estetika yang telah “terbakukan”. Musik menjadi matematis. Standarisasi yang demikian menutup celah bagi munculnya variasi dan gaya lain di luar itu.
Arif berani tampil “rusak” di luar pakem. Menolak gaya arus utama. Tapi, justru yang demikian membuatnya menarik untuk didengar kemudian diperbincangkan. Arif memberi penyadaran kepada kita, bahwa musik bukanlah apa yang selayaknya kita pikirkan dan yakini selama ini.
Pun, kita terperangah saat sebuah pisang terlakban di dinding laku 1.6 miliar dalam pameran seni rupa di ajang Arts Basel Miami 2019 lalu. Karya berjudul Comedian dari Maurizo Cattelan (seniman Italia) itu menjadi buah bibir hingga kini. Bagaimana mungkin sebuah pisang terlakban laku dengan harga fantastis?.
Sementara, banyak lukisan dipandang lebih indah dan mempesona tak laku terjual. Bukankah karya Maurizo serupa dengan apa yang dilakukan Arif?. Ia memberi alternatif lain dan membuka cara pandang yang lebih luas tentang “definisi seni”.
Hal-hal yang dipandang remeh-temeh itu menjadi bermakna, membentuk sebuah gerakan perlawanan dalam upaya menolak kemonotonan. Di dunia film, bahkan ada gerakan menonton film-film dengan kualitas yang dianggap “buruk” oleh kebanyakan orang.
Kaum itu berbondong-bondong memburu tiket film yang tak menarik minat publik kebanyakan. Demikian juga ketika televisi berlomba-lomba mempertontonkan kisah percintaan anak muda kaya membentuk geng motor (dilengkapi adegan perkelahian), sehingga membuat patokan gaya hidup baru di kalangan generasi milenial, tiba-tiba muncullah gerakan untuk menggandrungi film televisi bertema azab.
Bagaimana mungkin mayat yang ditandu itu terpelanting masuk ke comberan, mesin pengaduk semen, panci berisi kuah bakso dan lain sebagainya. Peristiwa tersebut terkesan kacangan, hiperbolis, tidak realistis. Tapi bukankah hal yang demikian itu menjadi primadona tontonan baru di hari ini?.
Dicaci tetapi tetap dinikmati. Gerakan mencintai “keanehan” sebenarnya telah berusia lampau, di kala ukuran estetika seni dianggap mengalami kemandegan. Muncullah kemudian nama-nama untuk mendefinisikannya seperti “seni eksperimental” dan “seni kotemporer”.
Di ranah itu, poin utamanya bukan pada karya seni yang hendak disuguhkan, tapi gumpalan wacana di baliknya. Dalam panggung pertunjukan musik, muncul pula gerakan “bawah tanah” yang dinamakan underground. Melakukan perlawanan terhadap kapitalisme, musik populer dan popularitas.
Hanya saja, sebagaimana yang seringkali terjadi, gerakan yang awalnya sekadar menjadi sub-kultur alternatif itu justru menjadi bagian dari arus utama itu sendiri, bahkan melampauinya. Akibatnya, muncul ruang-ruang gerakan baru, dan pada beberapa titik kebuntuan, yang terjadi malah berusaha mendaur ulang masa lalu.
Didi Kempot adalah contoh kasus yang ideal. Lagu-lagu yang selama ini menjadi sangat populer itu justru telah lama ia ciptakan dan nyanyikan, yang awalnya dianggap kuno, ndeso dan kampungan dibandingkan, misalnya, musik pop. Tetapi, lagunya kini bergerak melampaui musik pop itu sendiri.
Peristiwa itu terjadi di kala musik pop, atau musik sejenis lainnya mengalami kebuntuan dari gaya baru, menjemukan alias membosankan. Tidak sedikit hal-hal yang dipandang remeh-temeh di hari ini, kemudian memiliki nilai jual tingggi di kemudian hari.
Seringkali, di balik keremeh-temehan itu ada sesuatu yang berharga, lebih baru dan segar. Film Tilik, Arif dengan suara falsnya, Maurizo Cattelan dengan karya pisang terlakbannya, film bertema azab, serta lagu berbahasa Jawanya Didi Kempot adalah bukti tentang sebuah gerakan sederhana, mengangkat dan menggandrungi “yang kalah” dari arus utama yang selama ini dianggap terlalu “pongah”.
Apakah Anda diam-diam menjadi bagian dari gerakan itu? Tak usah malu untuk menjawab "iya".
Penyunting: Nadya Gadzali