Di Kecamatan Kebonarum-Klaten, kiwari tengah berlangsung musim panen padi. Tidak semuanya, namun sebagian besar. Kecamatan Kebonarum memang berbeda dengan tempat lain di Klaten dalam hal tradisi panen dan tanamnya. Hal ini dikarenakan kondisi tanahnya yang cenderung lembap sehingga padi menjadi tanaman yang cocok ditanam dalam kadar kelembapan itu, bahkan ditanam hampir di setiap musim.
Kebonarum dan padi memiliki ruang tersendiri untuk dikisahkan. Selain tentang ironi tanah yang dimiliki, penggunaan sendaren juga menyiratkan keunikan. Di Kecamatan Kebonarum, sendaren masih kerap digunakan. Sendaren ialah sebuah tali berbahan plastik yang dibentangkan tak beraturan di atas tanaman padi. Tujuannya untuk menghasilkan sebuah bunyi. Bunyi inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk mengusir burung-burung yang hinggap di tanaman padi.
Sendaren bukanlah sesuatu yang baru. Cara ini sudah ada sejak zaman dahulu. Di dalam kultur agraris, sendaren seringkali digunakan di berbagai tempat. Bahkan, sendaren juga sering dijumpai dalam permainan layangan. Sendaren menjadi sesuatu yang menarik ketika dibaca dari perspektif lingkungan. Pasalnya, bunyi sendaren seolah menyuarakan penjagaan, perawatan, serta keselarasan dengan alam.
Kisah Pilu
Di berbagai media, berita ihwal kerusakan tanah akibat penggunaan pestisida yang berlebihan banyak ditemukan. Tanah pertanian yang semula mampu menghidupi, kini tak lagi mengampu peranannya. Peristiwa itu adalah manifestasi dari hukum sebab-akibat. Penggunaan pestisida yang berlebihan lantas mengakibatkan kerusakan tanah. Bukan hanya tanah, bahkan mencemari air dan meracuni ikan-ikan.
Kerusakan tanah juga terjadi akibat penggunaan pestisida yang terlalu sering. Lapisan humus yang terkandung dalam tanah rusak akibat bahan kimia yang tercampur di dalamnya. Lambat-laun, unsur humus itu terkalahkan, tanah tak lagi subur.
Bahan kimia memang membantu para petani, namun efek samping yang ditimbulkan seringkali luput dari perhatian. Penggunaan bahan kimia yang mulanya ditujukan untuk meringankan beban petani dan meraup hasil panen yang lebih banyak justru menciptakan kesengsaraan. Sedangkan untuk memulihkan tanah agar dapat ditanami kembali bukan perkara mudah, tentu saja memerlukan waktu yang cukup panjang.
Kisah agraris seringkali identik dengan kisah suka cita dan keharmonisan alam. Kiwari, kisah-kisah itu kian usang, tergantikan oleh kisah para petani yang berkeluh-kesah. Alih-alih menunaikan ritus-ritus suka cita, para petani justru jatuh dalam kepiluan yang mendalam.
Ritus-ritus akan ditunda sampai hasil panen membaik atau bahkan tidak dilaksanakan sama sekali. Sebab, persoalan kerusakan tanah tidak terhenti pada lingkungan saja, melainkan juga pada persoalan kultur yang diilhami oleh para petani.
Sebelum kepiluan itu didera oleh banyak petani, tindakan preventif tentu sangat diperlukan. Dalam hal ini, untuk meminimalisir kerusakan tanah tentu harus mengurangi penggunaan pestisida. Barangkali, sendaren ialah wujud alternatifnya.
Sendaren telah melintasi zaman. Tradisi yang telah teruji mampu mengusir hama burung tanpa merusak tanah. Keberadaannya layak untuk diaktualkan kembali. Bukan saja untuk meminimalisir kerusakan tanah, tetapi juga menjadi katalisator untuk menyelamatkan petani dari kepiluan.
Tak Sekedar Bunyi
Saya pernah bermain layangan dengan bunyi sendaren. Dalam permainan itu, keasyikan yang didapat ialah sahut-sahutan antar bunyi sendaren satu dan lainnya. Bunyi-bunyi itu menggema dan berkelindan di bawahnya. Memainkan layangan dengan bunyi sendaren tunggal seringkali hanya menghasilkan kejemuan.
Bunyi sendaren dianggap bunyi yang membosankan. Ia rumit dan tidak menarik kala dikategorikan dalam bunyi tonal. Namun, sendaren akan menjadi menarik jika dibaca dari kacamata etnomusikologi. Sebab, bunyi sendaren tak sekedar bunyi, melainkan melampaui kodrat bunyi dan mengandung sisi kontekstual yang lekat dan layak untuk dibaca lebih rinci.
Layaknya karinding, bunyi yang dikumandangkan oleh sendaren mengandung frekuensi rendah. Menurut Irwan (2013), bebunyian dengan gelombang yang rendah akan menyakiti hama, sehingga bunyi itu dapat mengusirnya. Perbedaannya dengan karinding ialah panjang dan pendek bunyi yang digaungkan.
Bunyi sendaren ialah bunyi keramahan, keselarasan, dan keharmonisan alam, jauh dari perilaku menyakiti hewan dan merusak alam. Sebaliknya, sendaren justru menjelma sebuah bunyi yang mengumandangkan kerukunan dan kerimbunan. Bunyi sendaren terasa mewujud menjadi uluran tangan yang seolah ingin berjabat tangan dan menjalin persahabatan.
Lebih jauh lagi, bunyi sendaren menjadi bunyi alternatif sebagai tindakan preventif di tengah masifnya kerusakan lahan pertanian. Ia sekaligus mengembalikan ajaran leluhur yang selama ini dianggap kuno dan ketinggalan zaman.
Agaknya, entitas yang ketinggalan zaman itulah yang kiwari justru dibutuhkan. Para petani di Kecamatan Kebonarum membuktikannya bertahun-tahun. Melalui kumandang sendaren, iklim pertanian yang mereka tekuni tetap bertahan. Lahan pertanian mereka jauh dari kerusakan tanah, pencemaran air, serta matinya ikan-ikan. Kiranya, sendaren menjadi resolusi penyelamatan lingkungan yang layak untuk diperhitungkan.
Ekomusikologi
Saya ingin menelisik lebih dalam ihwal sendaren melalui teropong ekomusikologi. Allen (2014) menegaskan bahwa ekomusikologi dapat dipahami sebagai studi tentang musik, budaya, suara, dan alam dalam periode krisis lingkungan. Bertumpu pada terminologi itu, dapat dikatakan bahwa sendaren merangkum unsur-unsur ekomusikologi, mencakup bunyi, penyelamatan lingkungan, serta menyiratkan kebudayaan agraris.
Bunyi sendaren ialah bunyi kultural masyarakat agraris dan keselarasannya dengan alam, menyuarakan persahabatan yang terajut tanpa adanya perilaku menyakiti. Sendaren adalah warisan berharga dari leluhur, mengingat kasus kerusakan tanah yang marak akhir-akhir ini.
Secara kultural, saya memandang bahwa bunyi-musik menjadi entitas yang tidak tunggal. Dalam berbagai kultur di Nusantara, bunyi-musik seringkali bertaut dengan alam, kehidupan sosial, kepercayaan, dan lain sebagainya. Tautan-tautan ini membentuk sebuah ekosistem yang tidak dapat dilepaskan.
Sendaren juga mengalami hal itu. Ia terikat oleh sosio-kultura masyarakat agraris dan alam. Terlebih lagi di era ini, sendaren menjelma sebuah bunyi yang begitu lantang menyuarakan tentang keharmonisan alam, menyerukan jabat tangan dengan lingkungan. Seolah bunyi itu mengatakan bahwa tidak ada lagi perusakan tanah, pencemaran air, juga pembunuhan ikan.
Terdapat cara lain yang lebih membumi untuk menuntaskan persoalan-persoalan agraris. Semoga saja bunyi sendaren terkumandangkan ke semua penjuru. Semoga banyak orang yang mampu menangkap maksud bunyi itu. Bukan hanya dimaknai sebagai bunyi yang membosankan, alat yang kuno, ataupun warisan leluhur yang ketinggalan zaman. Lebih dari itu, sendaren ialah bunyi kerukunan yang mnyuarakan tentang pilunya tanah yang rusak akibat ketamakan manusia.
Penyunting: Nadya Gadzali