Rock Opera Ken Arok, sebuah album mahakarya Harry Roesli di tahun 1977 dibawakan ulang dalam panggung Synchronize Festival 2024. Pertunjukan itu ditampilkan secara baru dengan berkolaborasi oleh beberapa musisi nasional. Tampil dalam pertunjukan tersebut celetukan-celetukan yang membuat pertunjukan ini terasa segar. Pertunjukan opera dalam panggung musik itu dilangsungkan pada hari kedua Syncronize Festival, Sabtu 5 Oktober 2024.

Tampil sebagai Ken Arok adalah Fauzan Lubis dan yang menjadi Ken Dedes adalah Isyana Sarasvati. Nama-nama tenar lain yang turut serta dalam pertunjukan ini adalah Andy /rif, Arie Kriting, Candil, Dira Sugandi, Indra Lesmana, Oslo Ibrahim, Sal Priadi, Soleh Solihun, Sri Hanuraga, dan seorang yang turut serta membuat Rock Opera Ken Arok yakni Hari Pochang. Didapuk sebagai penata musik adalah Gerald Situmorang dan direktur pertunjukan oleh Edy Khemod. Untuk pemain teater kolosal lainnya, pertunjukan ini menggunakan Teater Mainmonolog yang digarap Wawan Sofwan.

Para penampil Rock Opera Ken Arok/Synchronize Festival 

Pertunjukan yang merupakan bagian dari special show Synchronize Festival ini menghadirkan panggung dengan artistik yang sangat megah. Panggung district disulap layaknya sebuah panggung teater. Pada pertunjukan tersebut menghadirkan gambaran Kerajaan Tumapel, tempat Tunggul Ametung berkuasa, namun dengan gaya yang kekinian. Penampilan selepas maghrib itu dibuka dengan seorang Fauzan Lubis yang muncul dibalik tirai dengan dibarengi penari-penari lainnya.

Usaha menghadirkan opera di tengah festival yang menampilkan ratusan lineup bisa dibilang merupakan ide yang cukup edan. Pertunjukan musik dengan kemasan semacam opera ini tentu membutuhkan panggung dengan dekorasi khusus yang melibatkan banyak sekali orang untuk produksi. Selain itu, untuk pertunjukan satu jam penuh tanpa jeda seperti ini tentu memerlukan latihan yang intens.

Namun kegilaan tersebut ternyata terbayar lunas dengan penampilan yang nyaris tanpa cacat. Teaterikal mereka sukses, lawakan satirnya mengena, dan penampilan musiknya pun berlangsung dengan mulus. Penonton dibuat terpukau dengan kemegahan panggung dan juga kejutan di setiap detik pada pertunjukan tersebut.

Direktur pertunjukan Edy Khemod mengungkapkan bahwa ia sendiri yang mengusulkan untuk menghadirkan Rock Opera Ken Arok. Ide itu tercetus setelah Edy yang sudah beberapa kali membuat pertunjukan semacam ini di Synchronize ditanya mengenai konsep apa yang akan dimunculkan selanjutnya. Lalu muncullah gagasan membuat pertunjukan ini yang ternyata langsung disambut dengan baik.

Edy yang tumbuh besar di Kota Bandung tentu sangat akrab dengan sosok Harry Roesli. Terlebih, disampaikan olehnya, bahwa Edy juga memiliki kakak yang juga termasuk anggota Depot Kreasi Seni Bandung alias DKSB—tempat untuk musisi jalanan di Jalan Supratman 57 Bandung yang diasuh langsung oleh Harry Roesli.

“Terus gue merasa, ilmu-ilmu yang gue punya sekarang tuh sebagian emang gue dapat dari lingkungan Harry Roesli dan DKSB gitu. Jadi buat gue ini personal lah gitu. Ya, terus akhirnya dibantu sama Synchronize, dipertemukan ama pihak Kemendikbud, terus kita ngobrol-ngobrol, juga akhirnya Dikbud mau nge-support karena terus terang untuk bikin kayak gini itu nggak murah yah,” ucapnya saat diwawancara selepas pertunjukan.

Rock Opera Ken Arok: mahakarya Harry Roesli di tahun 1977 dibawakan ulang dalam panggung Synchronize Festival 2024/Synchronize Festival

Pada pertunjukan ini, Edy mengungkapkan, bahwa menyiapkan kurang lebih selama 4 bulan. Saat pertama mendapat persetujuan, ia pun langsung mencari talenta mana yang akan diajak berkolaborasi. Edy lalu mengajak Soleh untuk mengadaptasi karya tersebut menjadi sedikit ada celetukan, Gerald Situmorang untuk mengerjakan musiknya, dan Wawan Sofwan untuk mengoordinir teaternya.

“Gue gak mau jadi Harry Roesli. Gue membawakan ulang Harry Roesli. Seperti gue paham Harry Roesli seperti apa. Tapi karyanya harus persis karya Harry Roesli. Gue gak mau jadi Harry Roesli, karena gua bukan Harry Roesli,” ucap Eddy.

Direktur musik, Gerald Situmorang, mengungkapkan dalam mengerjakan musiknya ia tidak terlalu mengubah lagu sebagaimana yang terdapat di album Opera Rock Ken Arok yang dirilis tahun 1977. Setelah itu, Gerald pun langsung mencari personil dengan karakter yang kuat. Ada tantangan tersendiri mengerjakan karya maestro semacam ini. Namun dengan usaha yang keras selama 4 bulan, ia pun akhirnya sukses merampungkan karya ini dengan gemilang.

“Pastinya deg-degan lah. Maksudnya kan ini kayak jadinya bisa di-judge banget ya apakah ini mirip apa enggak. Tapi kalau menurut gue karena kita untungnya kayak nggak bikinin not balok segala macem chord-nya detail segala macem jadiin sound-nya kayaknya gini jadi sound kayak gini. Kita tinggal ikut aja. Bukan ikut jalan juga sih. Karena emang butuh dedikasi ngulik lebih yah kalau emang maksudnya mau mainin kayak asli gitu,” ucap Gerald saat konferensi pers.

Mengenai tantangan menjadi Ken Arok, Fauzan menjelaskan seperti ada keajaiban ketika ia bisa didapuk mendapat peran tersebut. Disampaikan olehnya bahwa ia diperkenalkan dengan Opera Rock Ken Arok ini oleh Didi Petet saat masih berkuliah di IKJ. Saat itu, almarhum menceritakan cerita mengenai proses berkarya Opera Ken Arok tersebut. Cerita mengenai proses berkaryanya sungguh membuat Fauzan menjadi bersemangat untuk terus berkarya. Ketika dihubungi untuk diutus menjadi Ken Arok, ia pun lalu seperti mendapat keajaiban dari Tuhan.

“(Saat itu) Mas Didi Petet itu yang tidak tahu apa-apa, jadi extras di Opera Rock Ken Arok. Dan Opera Ken Arok ini yang membuat Didi Petet, seorang Didi Petet memiliki hasrat untuk nyemplung ke dunia seni peran, hingga akhirnya tahun 1977 Kang Aat sendiri yang mengantarkan Mas Didi Petet untuk kuliah di IKJ. Jadi, ini bukan sekadar mahakarya,” ucap vokalis Sisitipsi ini saat konferensi pers sambil agak menangis.

Sejarah Rock Opera Ken Arok

Ken Arok Rock Opera adalah karya musik dengan kemasan opera yang diciptakan oleh almarhum Harry Roesli pada 1975. Dalam album musik ini berisi 8 lagu dengan gaya opera dengan irisan progresif rock khas ciptaan Harry Roesli. Lagu ini menceritakan kisah percintaan Ken Arok dan Ken Dedes yang dibuat sedemikian rupa dengan tambahan kritik-kritik sosial untuk rezim orde baru. Dalam catatannya pada buku Musisiku, Asriat Ginting dkk menyebut bahwa album ini adalah: Di sini Harry dengan leluasa menyindir tradisi suap, korupsi, hipokrisi dalam setting Kerajaan Singosari yang dipimpin Ken Arok setelah merebut kekuasaan Tunggul Ametung secara ilegal, bahkan merebut isteri Tunggul Ametung, Ken Dedes. Dengan nada satir, Harry berdendang dalam Ken Arok yang pertama kali dipentaskan di Bandung dan Jakarta pada tahun 1975.

Berdasar sumber yang didapat, Album Ken Arok Rock Opera dirilis pada 1977 dibawah label Eterna dalam bentuk kaset. Album tersebut sebenarnya dikonsepkan untuk menjadi musik latar opera dan untuk album ketiga yang akan dirilis oleh Harry Roesli Gang. Namun karena pertunjukan musik opera yang sangat menyedot perhatian publik pada 12 April 1975 di Gedung Merdeka Bandung, album tersebut menjadi dibuat sebagaimana naskah opera tersebut. Diketahui pula bahwa Opera Ken Arok di tahun 1975 itu merupakan pagelaran musik opera pertama di Indonesia.

Pada 2018, album ini pun dirilis ulang dalam bentuk vinyl oleh La Munai Records. Pada 2018 itu, La Munai merilis langsung 3 album Harry Roesli yaitu Philosophy Gang, Titik Api, dan Ken Arok. Pada vinyl tersebut, Ken Arok dimaster ulang oleh Carvery Cuts, London, agar memiliki kualitas suara yang lebih baik. Ken Arok saat itu dirilis dengan jumlah terbatas yakni berjumlah 333 copy.

Tercatat, Opera Ken Arok hanya pernah ditampilkan oleh Harry Roesli Cs sejumlah 2 kali. Pertunjukan itu dilangsungkan pada 1975 dan 1991. Yang membedakan di antara keduanya adalah jika 1975 pertunjukan itu dibuat dengan gaya rock, sedangkan pada 1991 pertunjukan tersebut dibuat dengan gaya disko. Tampil sebagai Ken Dedes pada 1991 adalah Titi DJ, Trie Utami sebagai bidadari, Idrus Madani sebagai Tunggul Ametung, dan Dany Java Jive sebagai Ken Arok. Pertunjukan Disko Ken Arok tersebut ditampilkan di Gedung Eldorado Dome Bandung.

Disampaikan oleh Edy Khemod, yang tidak diketahui banyak orang, bahwa dalam 2 pertunjukan tersebut Harry Roesli melangsungkan musiknya dengan cara playback. Penampilan gaya kabaret tersebut, disampaikan Edy, menciptakan sebuah budaya kabaret yang cukup tenar di Kota Bandung.

“Nah ini nih fakta yang penting sebenernya soal Ken Arok ini adalah dulu itu tidak pernah ditampilkan live. Musiknya ga pernah live. Playback. Bahkan vokalnya juga sebenernya Playback kayak kabaret. Gitu. Bener-bener kabaret. Nah, makanya ada budaya kabaret di Bandung, itu karena Ken Arok sebenernya,” ujarnya.

Hari Pochang pun mengiyakan bahwa pertunjukan saat itu di Synchronize Festival adalah pertama kalinya Opera Ken Arok dibawakan secara live. “Ini buat kami angkatan tahun 75 ini serupa mimpi. Maksudnya, waktu itu mimpinya seperti ini. Live. Live, langsung, dan baru 49 tahun kemudian terlaksana,” ucap pemain harmonika ini saat konferensi pers setelah pertunjukan berlangsung.

Membawa pertunjukan opera dalam sebuah festival musik adalah sebuah upaya yang sangat perlu diapresiasi. Kemegahan pertunjukannya, bagi saya, masih terasa sampai sekarang. Kesuksesan menghadirkan opera, teater, drama musikal, atau sekurang-kurangnya panggung musik konspeptual akan menjadi jawaban menarik di tengah konsep festival yang repetitif. Pertunjukan ini juga menjadi sebuah edukasi kepada khalayak pecinta musik kekinian bahwa di tahun 1975, pernah ada pagelaran opera semacam ini di Indonesia. Pertunjukannya yang saya kira akan usang ternyata ditampilkan dengan gaya segar yang membuat para penonton berkesan.

Musisi berjuluk Si Bengal dari Bandung dengan segala warisannya telah meninggalkan dunia pada 11 Desember 2004. Album Ken Arok Rock Opera juga telah mendapat tempat yang layak dengan peringkat 10 dalam daftar "150 Album Indonesia Terbaik" oleh majalah Rolling Stone Indonesia yang diterbitkan pada Desember, 2007. Karya Harry Roesli saat ini tak hanya terpendam dalam kuburnya, melainkan menjadi pengingat bahwa karya-karya telah menginspirasi kita semua. Saya akan selalu menantikan pertunjukan ini tidak selesai hanya di Synchronize Festival. Saya ingin menyaksikannya lewat panggung teater dengan santai dan nonton sambil duduk.

Penyunting: Nadya Gadzali