Masyarakat dan kebudayaan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kebudayaan menggambarkan kehidupan sehari-hari suatu masyarakat, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat pula. Perwujudan kebudayaan di setiap tempat berbeda-beda dengan keunikannya masing-masing, termasuk pada masyarakat Toraja.
Kebudayaan Toraja terkenal dengan keunikannya. Sejak dahulu, Suku Toraja menganut agama leluhur atau kepercayaan yang kini dinamakan Aluk Todolo. Alukberarti agama atau aturan, sedangkan todolo berarti leluhur. Aluk Todolo atau agama leluhur atau agama purba, sarat akan ritual pemujaan atau upacara persaksian dengan sajian kurban, persembahan kepada leluhur yang disebut Ma’todolo atau Ma’pakande Tomatua (todolo), dikutip dari Tangdilintin, 1981.
Meskipun saat ini mayoritas masyarakat Toraja menganut agama Kristen, namun masih ada beberapa kumpulan masyarakat Toraja yang menganut Aluk Todolo. Lembang Tumbang Datu dikenal sebagai desa adat karena mayoritas masyarakatnya masih menganut agama suku Aluk Todolo yang setiap tahunnya selalu melaksanakan kegiatan-kegiatan adat (ritus keagamaan) sebagai salah satu ciri khas yang melekat pada Suku Toraja.
Salah satu ritus keagamaan yang dilakukan adalah ritual Massassiri. Ritual ini dilaksanakan oleh keluarga yang mempunyai rumah tongkonan dalam rangka mengakhiri pesta tongkonan (bagian dari aluk banua) dan penyelesaiannya ini diakhiri dengan aluk pare.
Ketika padi telah dipanen maka selanjutnya akan dilaksanakan ritual “Massassiri” yang merupakan wujud rasa syukur masyarakat setempat karena panen padi telah dilaksanakan dengan baik sekaligus permohonan agar para Deata dan Todolo terus menjaga dan memelihara tongkonan beserta seluruh rumpun keluarga.
Ritual Massassiri adalah bagian dari aluk banua yang pelaksanaannya termasuk ke dalam rangkaian ritual aluk pare. Ritual ini dilaksanakan oleh rumpun keluarga dari sebuah tongkonan dengan tujuan untuk unsundunni aluk banua (menyelesaikan ritus dari sebuah rumah).
Selain itu, makna yang tersirat di balik pelaksanaan ritual ini adalah Massassiri yang berkaitan erat dengan ma’balikan pesung alukna tomate , bagian dari aluk rambu solo’. Itulah sebabnya Massassiri disebut sebagai mangola tanga ma’tete bubungan yang artinya menjadi jalan tengah antara aluk rambu tuka’ dan aluk rambu solo’.
Untuk memahami Massassiri sebagai jalan tengah antara aluk rambu tuka’ dan aluk rambu solo’, maka perlu memahami bagaimana hubungan ritual Massassiri dengan kedua aluk tersebut. Aluk tomate dimulai dari lollo’ rara sampai dirapai’ (di Desa Adat Tumbang Datu, tidak ada orang yang dirapai’ namun disejajarkan dengan limang bongi).
Ketika orang yang meninggal dibai tungga’, maka mulailah orang ma’pesung. Setiap hal yang di pesungan di rambu solo’ ada balikan pesungnya di rambu tuka’. Itulah sebabnya aluk rambu tuka’ dan aluk rambu solo’ disebut aluk simuane tallang (berpasangan). Sehingga, ketika keluarga melaksanakan Massassiri berarti sedang melaksanakan pasangan dari alukyang pernah dilaksanakan sebelumnya, meskipun makna ma’balikan pesungini tersirat atau tidak diutarakan secara langsung oleh To Parengnge’ atau keluarga yang melaksanakan ritual Massassiri.
Ma’ balikan pesung dalam bahasa setempat dikenal dengan sebutan kaperaukanatau massuru’ banua. Kaitan Massassiri dengan aluk rambu tuka’ nampak dalam tujuan ritual ini, yakni menyelesaikan aluk banua.
Aluk banua terdiri dari tiga tingkatan yakni banua di sangalloi(pentahbisan rumah dilaksanakan selama satu hari), banua di duang alloi(pentahbisan rumah dilaksanakan selama dua hari), dan banua ditallung alloi (pentahbisan rumah dilaksanakan selama tiga hari).
Setiap tingkatan memiliki pasangan masing-masing, ditallung alloi berpasangan dengan merok dan diduangalloi berpasangan dengan Massassiri. Jadi, untuk ma’balikan pesung aluk tomate na dilaksanakanlah ritual Massassiri.
Itulah sebabnya, ritual Massassiri disebut sebagai jalan tengah dan tidak bisa diklasifikasikan ke dalam aluk rambu tuka’ maupun aluk rambu solo’ meskipun yang paling terlihat adalah ritual ini bernuansa suka cita pesta panen padi yang telah berhasil dilaksanakan oleh keluarga.
Meskipun ritual Massasiri sangat berkaitan erat dengan aluk banua, tetapi tidak semua tongkonan bisa disassiri. Ada beberapa syarat agar sebuah tongkonan bisa disassiri, yakni tongkonan itu haruslah banua parandangan atau banua mealuk artinya tongkonan tersebut dianggap sebagai rumah yang berkeyakinan Aluk Todolo.
Syarat lainnya, tongkonan itu haruslah diduang alloi. Tongkonan tempat Massassiri dilaksanakan, menurut sejarahnya, haruslah den tau dialuk do mai(pernah melaksanakan aluk tomate) yang dinamakan to di tombi di mana keluarga harus memotong minimal dua belas (12) ekor kerbau. Setelah ritual Massassiri dilaksanakan, maka tongkonan tersebut sudah memenuhi syarat untuk dijadikan tempat pelaksanaan aluk lain seperti rambu tuka’ dan rambu solo’.
Ritual Massassiri dilaksanakan sebagai salah satu rangkaian dari tahapan aluk pare, maka beberapa tahapan ritual ini dilaksanakan di sawah. Sawah tempat ritual ini dilaksanakan pun tidak sembarangan, akan tetapi di sawah yang memiliki kaitan dengan tongkonan tempat pelaksanaan Massassiri.
Sawah tersebut harus na sitilanni banua yang artinya sawah tersebut berhadap-hadapan, menyamping atau berdekatan dengan tongkonan. Ritual Massassiri pada dasarnya dilaksanakan oleh penganut Aluk Todolo. Meskipun zaman sekarang, karena kuantitas penganut aluk todolo di Tumbang Datu yang semakin berkurang, ritual ini dilaksanakan oleh banyak masyarakat non-Aluk Todolo yang turut serta dalam pelaksanaan ritual ini.
Ritual ini dilaksanakan pada musim panen padi (peparean) dengan alasan bahwa ya tu aluk banua dipasundun tama uma. Artinya keluarga menyelesaikan aluk banua di sawah yang ditallu rarai (darah yang dikurbankan berasal dari tiga jenis hewan yakni ayam, anjing dan babi).
Namun, tidak setiap tahun ritual Massassiri dilaksanakan, tergantung ada tidaknya tongkonan yang akan disassiri oleh keluarga. Sejak dulu, leluhur Toraja selalu melaksanakan unaluk pare na dan puncaknya dilaksanakan pada ritual Massassiri sebagai wujud rasa syukur.
Tahapan ritual Massassiri dimulai sejak penaburan benih padi hingga panen (rangkaian aluk bo’bok atau aluk pare) yang puncak ritualnya adalah Massassiri. Namun tahapan inti dari ritual Massassiri dilaksanakan selama lima hari, yakni:
Hari pertama dilaksanakan mangrakan di mana keluarga yang diwakili to parandangan memotong ayam dan anjing untuk dipersembahkan. Hari kedua masih mangrakan, tapi yang membedakan adalah orang hanya mepare(memanen padi).
Hari ketiga juga masih dinamakan mangrakan. Pada tahap ini orang-orang akan kembali memanen padi, menumbuk padi menggunakan issong pandan (alat menumbuk padi tradisional) yang disertai dengan ritual memotong anjing.
Hari keempat, beberapa hal dilakukan pada pagi hari, antara lain: ditorroi, kemudian di sore hari diadakan ritual memotong ayam dan ma’kalussun(jenis makanan yang akan dipersembahkan). Pada malam hari keluarga akan pergi memanggil To Parengnge dengan membawa bia’ (obor) menuju ke sawah, lokasi yang keesokan harinya akan menjadi tempat pelaksanaan ritual Massassiri untuk ma’boko pare (diwakili oleh keluarga sebanyak 6-12 orang dan hanya dilakukan oleh laki-laki). Setelah itu kembali ke rumah tongkonan untuk ma’ piong barra’ (memasak beras ketan di dalam bambu dengan cara dibakar) dan memotong ayam.
Hari kelima merupakan puncak pelaksanaan Massassiri, di mana keluarga akan menyelesaikan panen padi di sawah yang disassiri dan juga melaksanakan ritual di dalam pangrante (tempat khusus untuk melaksanakan ritual) yang telah dibuat di depan tongkonan dan menyembelih semua babi yang telah diserahkan oleh keluarga untuk dipotong dalam ritual.
Dalam pelaksanaan ritual Massassiri, setiap tahapan harus dilaksanakan dengan seksama. Jika tidak melaksanakan satu tahapan saja, maka ritual Massassiri tidak dapat dikatakan sempurna.
Penyunting: Nadya Gadzali