Kegiatan dakwah dalam dunia Islam tidak lagi menjadi kegiatan eksklusif. Dakwah bukan hanya milik kelompok tertentu yang dilakukan di ruang-ruang tabligh atau di atas mimbar. Dakwah dengan menyertakan unsur seni musik, merupakan gejala yang turut memberi warna pada perkembangan syiar Islam di bumi Nusantara, terutama di tanah Jawa.
Eksistensi tembang dolanan seperti “Lir-Ilir” dan Gamelan Sekaten, merupakan bukti dari jejak-jejak masa lalu penyebaran agama Islam oleh Walisongo. Begitu pula dalam pertunjukan Wayang Menak di Kulonprogo, Yogyakarta, ataupun wayang Sasak di Lombok yang memadukan format wayang dengan kisah tokoh-tokoh muslim dari Timur Tengah.
Dakwah Islam yang menggunakan musik, menjadi garda depan saat ini, menandai terjadinya harmoni kultural dalam kehidupan beragama. Salah satunya ialah kelompok musik Rebana Walisongo yang diasuh oleh Ma’ruf Islamudin di Sragen Jawa Tengah.
Kemunculan musik Rebana Walisongo, berawal dari iringan aktivitas selawat di pondok pesantren. Dalam perjalannya, kemudian berkembang menjadi kelompok musik yang fokus kepada persebaran dakwah Islam. Bentuk musik Rebana Walisongo disusun menggunakan alat musik jidhor, tamborin, téplak, trêbang atau rebana, keyboard dan rémo.
Repertoar musik yang disajikan bersumber dari kitab Al-Barzanji, Qur-an dan Hadist dengan perpaduan bahasa Arab dan Jawa. Nuansa khas dakwah-musik Jawa terasa cukup kuat, lewat gubahan lagu-lagu Jawa yang diaransemen ulang, seperti lagu langgam “Caping Nggunung”, “Mungsliramu”, dan “Rondo Kempling”, yang kemudian diubah teks vokal dan struktur musiknya.
Catatan ini merupakan nukilan dari sebagian kecil keterlibatan saya selama melakukan penelitian kelompok Rebana Walisongo pada 2013 silam. Fakta di lapangan memberikan gambaran bahwa, musik mampu menyusup ke dalam relung-relung jiwa sekaligus menghaluskan hati para penimba ilmu agama.
Kendati demikian, dakwah dengan musik nyatanya masih menjadi perdebatan hingga hari ini, lewat berbagai narasi yang membingkainya.
Syiar yang Bernuansa Musikal
Musik dalam konteks dakwah memberikan arti bahwa, musik adalah seni yang potensial membantu manusia untuk menguatkan diri dalam memaknai konsep ke-Tuhan-an. Musik dapat hadir dalam bentuk paling abstrak, namun secara efek dirasa paling kongkret, bahkan dapat langsung menyentuh tepat pada batin manusia. Dalam kapasitas itulah musik menjadi penting sebagai bagian dari dakwah Islam.
Ma’ruf beranggapan bahwa, hubungan musik dengan dakwah layaknya piring dan nasi, keduanya penting dan saling menguatkan. Posisi seni musik, ilmu dan agama, menurutnya merupakan tiga pilar penting dalam kehidupan manusia. Ia lantas membuat metafor: “Dengan seni hidup jadi lebih indah, dengan ilmu hidup jadi mudah, dengan agama hidup jadi terarah”.
Oleh karena itu, dalam konsep bermusik, Rebana Walisongo menggunakan tiga wacana tersebut untuk dijadikan pondasi di dalam penyebaran ajaran agama Islam. Analisis secara radikal Ma’ruf beranggapan bahwa, seseorang yang dalam kehidupannya tidak mengerti tentang musik, tetapi ketika mendengarkan musik pasti akan berreaksi, entah itu menganggukan kepala, menghentakkan kaki, atau terlarut mengikuti alur irama musiknya.
Anggapan itulah yang lantas membuat Rebana Walisongo bersama pondok pesantrennya semakin percaya diri menggunakan musik sebagai medium dakwah hingga hari ini. Musik dimaknai sebagai kendaraan untuk menyampaikan ayat supaya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Termasuk di dalamnya ajakan salat, mengaji, bersedekah, berperilaku tolong-menolong, serta menjauhi larangan agama.
Pesan dan ajakan tersebut, sedikit banyak ikut tertuang dalam lagu yang berjudul Ayo Sholat yang diadaptasi dari lagu Caping Nggunung. Lagu tersebut berisikan tentang ajakan untuk mengerjakan salat, disertai penjelasan tentang salat sebagai kunci untuk menggapai surga, sekaligus menjadi tiang utama tegaknya agama Islam.
Teks Vokal Lagu “Ayo Sholat”:
Yarobibil mustofa baligmagho syidana
Wakfirlana mamadho Yawasia karoomi
Ayo pãdã sholat, kanggo sangu nèng akhérat
Pitulas rãkaat, rino wêngi ãjã kêndat
Yèn jêjêg sholaté, bakal jêjêg agãmãné
Yèn rubuh sholaté, bakal rusak kabèh amalé
Reffain: Wés nyãtã, sholat cagaké agãmã
Wés nyãtã, sholat kunciné suwargo
Muslimin sêdãyã, kakung putri, enom lan tuwã
Mumpung sih ãnã rãgã, ãjã ninggal sholat limã
Dalam rangka pengembangan syiar Islam, paradigma yang ditawarkan oleh Rebana Walisongo kepada masyarakat adalah pemahaman Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Jawa.
Unsur budaya terlihat di dalam penggunaan bahasa dan istilah Jawa seperti pada penggalan-penggalan syairnya. Ayo pãdã sholat, kanggo sangu nèng akhérat memiliki maksud mengajak manusia mengerjakan salat sebagai bekal di akhirat. Pitulas rãkaat, rino wêngi ãjã kêndat memiliki maksud jumlah rakaat salat ada 17 dalam sehari, sehingga manusia diingatkan agar tidak lalai dalam mengerjakannya.
Yèn jêjêg sholaté, bakal jêjêg agãmãné, memiliki arti bahwa jika salat sudah tegak, maka dalam menjalankan perintah agama pun juga akan teguh. Sebaliknya, yèn rubuh sholaté, bakal rusak kabèh amalé, yakni jika dalam hal salat saja tidak tertib, maka rusaklah seluruh amalan manusia. Unsur penggunaan Bahasa dan istilah Jawa ini menjadi hal penting, lantaran dapat memudahkan seseorang untuk menangkap maksud pesan lagu, dibandingkan penggunaan bahasa Arab.
Ditinjau dari segi pemahaman ajaran yang disampaikan melalui bahasa Jawa, tersisip pula tentang pemahaman Islam yang mudah dipahami oleh semua kalangan, yakni yang bermuara pada pemahaman Islam yang rahmatan lil alamin, Islam adalah rahmat bagi mahkluk di seluruh alam, salah satunya, umat manusia.
Hal itu tercermin dalam potongan teks vokal yang berbunyi: muslimin sêdãyã, kakung putri, enom lan tuwã, mumpung sih ãnã rãgã, ãjã ninggal sholat limã, yang berarti semua kaum muslimin, baik tua maupun muda, ketika masih ada raga, maka jangan meninggalkan salat.
Selain tujuan memudahkan masyarakat dalam memahami makna dan pesan yang terkandung di balik syair-syair tersebut, pergerakan dakwah kelompok Rebana Walisongo juga mencerminkan pola perjuangan tokoh-tokoh Islam-Jawa di masa lalu.
Salah satunya, Sunan Kalijaga yang juga disebut Waliyullah Tanah Jawi.
Selain itu, konsep dakwah êmpan-papan juga menjadi nilai tawar tersendiri, sebagai strategi dakwah yang dilakukan oleh Rebana Walisongo. Menempatkan atau menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat adalah cara untuk mencuri perhatian masyarakat.
Di antaranya adalah dengan menggunakan kesenian sebagai media, sebab syiar yang dilakukan oleh Rebana Walisongo, mayoritas diperuntukkan bagi penduduk Jawa. Maka praktik pertunjukannya, banyak menyiratkan konsep-konsep atau istilah-istilah ke-Jawa-an.
Misalnya, terdapat unsur suara gamelan yang direpresentasikan melalui instrumen keyboard. Konsep ke-Jawa-an tepo sliro yang digunakan sebagai judul lagu, dan masih banyak lagi unsur kelokalan yang mewarnai debut dakwah musik Rebana Walinsongo.
Tontonan yang Sarat Tuntunan
Selain menghibur, Rebana Walisongo juga bermanfaat untuk menyegarkan kembali kualitas keimanan para penikmatnya. Melalui musik yang bernafaskan Islam, penonton dapat menikmati alunan musik Melayu, Campursari, Dangdut Jawa, sekaligus mendapatkan pengetahuan tentang pesan moral dan sosial berbasis agama Islam.
Lebih lanjut, musik juga menjadi alternatif hiburan untuk menjauhkan seseorang dari perilaku-perilaku yang dilarang oleh agama, seperti penindasan, pencurian, menggunjingkan sesama dan lain sebagainya. Hal tersebut dinilai menjadi tawaran yang solutif, terutama ketika melihat gejala sosial yang timbul di masyarakat dewasa ini. Salah satunya adalah fenomena degradasi moral.
Oleh karena itu, untuk menyikapi atau meminimalisir fakta tersebut, dibutuhkan hiburan-hiburan yang edukatif, membangun dan memiliki daya dorong moralitas yang kuat, serta dapat dijadikan sarana untuk saling mengingatkan di antara anggota masyarakat. Salah satunya, melalui kehadiran Rebana Walisongo.
Dakwah menggunakan musik yang sarat akan unsur ke-Jawa-an, menjadi episode yang mengesankan bagi kalangan ormas-ormas Islam. Sehingga, terkadang perdebatan pun tidak terhindarkan.
Pergerakan dakwah kultural, kerap menjadi wacana dakwah yang merepresentasikan identitas kebangsaan, sekaligus digadang-gadang menjadi bagian dari konsep dakwah Islam Nusantara. Selain itu, jejak masa lalu Sunan Kalijaga mencoba direfleksikan kembali lewat musik rebana yang sarat akan nuansa kultural.
DNA bangsa ini adalah kebudayaan. Investasi budaya melalui agama menjadi strategi dakwah sekaligus strategi budaya yang asli. Sementara itu, kebudayaan harus tetap muncul dalam ruang-ruang publik dan wilayah privat seperti agama, agar bangsa ini sohor menjadi bangsa yang kekhasannya masih kuat di berbagai lini.
Penyunting: Nadya Gadzali