Tulungagung merupakan salah satu kabupaten yang berada di daerah selatan Provinsi Jawa Timur yang memiliki tempat wisata, kebudayaan, dan peninggalan masa dahulu yang berlimpah. Kabupaten ini terus berkembang seiring perkembangan zaman, mulai aktif membuka berbagai macam potensi wisata. Seperti tempat wisata pantai yang beraneka ragam. Di antaranya, Pantai Prigi, Pantai Pacar ataupun Pantai Gemah di pesisir selatan yang semakin masif dan dikelola oleh masyarakat di daerah tersebut.
Pemandangan di daerah pegunungan dan perbukitan sangat memanjakan mata, memberikan opsi lain ketika berkunjung ke Kabupaten Tulungagung dengan tawaran berbagai pilihan untuk mengetahui hal baru yang beraneka ragam.
Di daerah-daerah pegunungan dan perbukitan di Kabupaten Tulungagung saat ini, mulai bergeliat wisata-wisata populer berupa peninggalan dari zaman kerajaan yang tersebar di wilayah Tulungagung. Di antaranya, terdapat Goa Selomangleng di pegunungan Wajak, dan Candi Penampihan yang terdapat di kaki Gunung Wilis yang membentang hingga daerah Ponorogo dan sekitarnya.
Tempat-tempat tersebut dapat menjadi alternatif untuk para pelancong yang berasal dari luar kota untuk berkunjung sambil menikmati keindahan alam sekitar dan mengagumi keagungan negeri. Ada sebuah candi yang terletak di puncak gunung yang layak untuk dikunjungi, terutama oleh para pendaki gunung atau petualang alam, yaitu Candi Dadi di sebelah selatan Kabupaten Tulungagung. Dalam bahasa Indonesia, Candi Dadi berarti memiliki arti Candi Jadi atau candi yang jadi secara utuh. Candi yang berada dalam ketinggian kurang lebih 360 meter di atas permukaan laut ini menarik perhatian banyak pihak lain.
Dalam jurnal Kapata Arkeologi dalam judul “Karakteristik Bangunan Suci Bercorak Hindu-Buddha di Gunung Penanggungan dan Gunung Wajak” karya Nainunis Aulia Izza, dijelaskan bahwa Candi Dadi adalah bangunan terbesar yang berada di bukit Walikukun di samping beberapa struktur bangunan lain yang lebih kecil di kanan dan kiri jalan menuju Candi Dadi.
Candi Dadi di Desa Wajak, Kecamatan Boyolangu, merupakan sebuah stupa yang secara kontekstual menghubungkan bangunan Candi Dadi dengan bangunan lain yang ada di dekatnya. Kesimpulannya, Candi Dadi bukanlah sebuah stupa. Nainunis Aulia menduga bahwa Candi Dadi termasuk ke dalam bangunan suci kaum Rsi. Reruntuhan candi di lereng yang berada di bawahnya jelas menunjukkan peninggalan bangunan suci kaum Rsi sebagaimana dijumpai di Penanggungan, dikutip dari Munandar dan Yulianto.
Dikutip dari Good News From Indonesia, menurut Ketua Museum Tulungagung, Drs. Haryadi, Candi Dadi sering digunakan untuk pemujaan, pengabuan, dan pertapaan. Ditambah keberadaan Candi Dadi yang cukup jauh dari lingkungan permukiman penduduk , terletak di antara bukit atau pengunungan Wajak yang lazim terdapat sebuah bangunan atau kompleks tempat pemujaan pada zaman Hindu-Buddha.
Jelas bahwa kompleks susunan candi yang berada di sekitar bukit Walikukun ini diperuntukkan sebagai tempat pemujaan karena berada di tempat yang tinggi, jauh dari permukiman penduduk atau keramaian hingga saat ini. Menurut keterangan sindonews.com, di puncak lain di sekitar Gunung Wajak terdapat candi lain. Di antaranya Candi Gemali, Candi Buto, dan Candi Urung (Bubrah).
Ketika dalam perjalanan menuju ke Candi Dadi, candi-candi tersebut seakan berderet dari bawah hingga puncak ke tempat Candi Dadi itu berada. Walaupun keadaan candi-candi tersebut sudah rusak dan sebagian besar hancur, namun jejak peninggalan candi-candi tersebut masih tampak di sepanjang rute menuju Candi Dadi yang berada di puncak.
Candi Dadi berbentuk bujur sangkar dengan panjang 14 meter, lebar 14 meter, dan tinggi 6,5 meter. Dengan bahan utama bantuan andesit serta terdiri atas batur dan kaki candi. Uniknya, Candi Dadi tidak memiliki relief di seluruh sisinya. Pada bagian tengah Candi Dadi terdapat lingkaran yang berlubang dengan diameter 3,35 meter dan kedalaman kurang lebih 3 meter. Namun, untuk mencapai puncak Candi Dadi tidak terdapat akses masuk seperti tangga untuk menuju sumur candi. Satu-satunya cara untuk mencapai puncak adalah dengan menggunakan tangga buatan berbahan bambu atau alat bantu lainnya.
Masih dari laman sindonews.com dalam judul berita,“Misteri dan Keunikan Candi Dadi Tulungagung” , penelitian terhadap Candi Dadi pernah dilakukan oleh beberapa ahli purbakala dari zaman kolonial seperti PJ Veth (1878), Hoepermans (1913), NJ Krom (1915 dan 1923), Hease (1901). Diperkuat oleh laporan dari Belanda bahwa terdapat sebuah kompleks candi di mana Candi Dadi menjadi candi paling tinggi dalam deretan candi yang berada di pegunungan Wajak atau Walikukun.
Diperkirakan, Candi Dadi berlatar agama Hindu dan berada di masa Kerajaan Majapahit pada akhir abad XIV hingga akhir abad XV. Sehingga, dari penjabaran yang ada, dapat dikatakan bahwa kepastian tentang Candi Dadi belum terungkap "pada masa apa" dan "dibangun untuk tujuan apa"? Dua hal ini masih menjadi pertanyaan besar ahli sejarah dan arkeolog nasional.
Apapun itu, keberadaan Candi Dadi yang berada di pegunungan Wajak, Desa Wajak, Kecamatan Boyolangu membuat Kabupaten Tulungagung cukup dikenal dengan banyaknya peninggalan purbakala yang mereka miliki. Setelah sebelumnya terdapat Candi Penampihan disebelah barat Tulungagung, ada pula Candi Sanggrahan, dan yang paling dekat dengan Candi Dadi adalah terdapat Goa Selomangleng.
Dengan banyaknya peninggalan yang terdapat di Tulungagung, terutama Candi Dadi, rasanya Pemerintah Daerah harus membangun sebuah akses lengkap dengan petugas keamanan untuk melindungi aset Candi Dadi. Sebab pada dasarnya, fungsi dari Candi Dadi yang diramu dari berbagai sumber merupakan sebuah tempat ibadah, maka dibutuhkan usaha lebih banyak untuk menjaga tempat ibadah umat Hindu di sekitar Tulungagung.
Letaknya yang berada di atas bukit dengan pemandangan yang luar biasa indah, dibutuhkan edukasi agar situs ini dapat tetap lestari, tetap dikunjungi oleh masyarakat, serta dapat terhindar dari pencurian dan perusakan. Sebagai aset daerah, Candi Dadi merupakan kebanggaan dan peninggalan nenek moyang yang wajib dilestarikan dan diteliti lebih lanjut, bukan semata-mata untuk tujuan klenik dan mistis yang marak terjadi di sekitar Candi Dadi.
Dengan menjelaskan keberadaan candi secara ilmiah, anak bangsa akan mampu menemukan benang merah antara sejarah, teknologi, dan kebudayaan yang ditinggalkan oleh leluhur. Seperti lokasi candi-candi lain yang ada di Nusantara, gunung diyakini sebagai tempat suci bagi orang-orang Nusantara zaman dahulu sebagai wujud pengakuan terhadap kekuatan yang lebih besar dari manusia. Maka, dari puncak kemuliaan yang tercermin melalui keberadaan Candi Dadi, kita dapat mengetahui maksud dan tujuan dari sebuah ritual keagamaan yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu, kepercayaan yang mereka anut pada masanya.
Penyunting: Nadya Gadzali