Perempuan ditempatkan dalam kedudukan yang tinggi dalam mitologi Sunda. Dijunjung sebagai indung, dipuja selayaknya batari. Dayang Sumbi, Nyai Pohaci, dan Sunan Ambu dalam peran-peran adiluhungnya dipandang sebagai sosok yang telah mencapai kesempurnaan sejati. Kisahnya diwariskan secara turun temurun dan menginspirasi masyarakat Sunda hingga saat ini.
Dayang Sumbi dan Larangan Perkawinan Sedarah
..."siapapun yang bersedia membawakan perkakas tenun itu padaku, seumpama ia laki-laki akan kujadikan suami, jika ia perempuan akan kujadikan saudara".
Alangkah terkejut Dayang Sumbi mendapati perkakas tenunnya dibawakan oleh Si Tumang. Namun, Putri raja Pengging Perbangkara itu digambarkan memiliki pendirian teguh serta patuh pada perintah dewa. Ia tak melanggar sumpah dan bersedia menikah dengan Si Tumang, seekor anjing jantan (titisan dewa) yang setia menemani Dayang Sumbi selama dalam persembunyiannya di atas bukit.
Dari pernikahan itu, lahirlah seorang bayi laki-laki bernama Sangkuriang. Ia tumbuh menjadi remaja yang gemar berburu. Suatu hari, Sangkuriang berbohong tentang hasil buruannya. Ia menyerahkan hati Si Tumang kepada Dayang Sumbi seraya mendaku hati Si Tumang sebagai hati kijang. Sang Ibunda murka menyadari kebohongan putranya. Dilampiaskannya kemarahan pada Sangkuriang hingga membuat putra semata wayangnya itu minggat.
Waktu berlalu, Sangkuriang semakin dewasa sedangkan Dayang Sumbi dianugerahi kecantikan abadi yang membuat Sangkuriang terpikat dan ingin melamarnya. Dayang Sumbi mengajukan sebuah permintaan kepada Sangkuriang. Ia ingin Sungai Citarum dibendung, dijadikan danau, dan dibuatkan bahtera (perahu besar) dalam satu malam.
Dayang Sumbi kemudian menggagalkan pekerjaan Sangkuriang dengan melambaikan boeh rarang (kain hasil tenun berwarna putih) dan meminta bantuan ayam jantan agar berkokok sebelum Sangkuriang menuntaskan pekerjaannya. Pasukan makhluk halus yang membantu pekerjaan Sangkuriang berlarian ke segala penjuru, beringsut meninggalkan Sungai Citarum.
Lantaran tak mampu memenuhi permintaan Dayang Sumbi, Sangkuriang mengamuk dan menendang bahtera yang belum rampung itu ke arah utara. Kini, Gunung Tangkuban Parahu disebut-sebut sebagai jelmaan bahtera Sangkuriang.
Legenda Sasakala Gunung Tangkuban Parahu melandasi pemahaman masyarakat Sunda Kuno tentang fenomena alam di sekitarnya. Bahwa jauh sebelum mengenal sains, narasi tentang asal mula penciptaan Gunung Tangkuban Parahu ditempatkan dalam gagasan kosmologi sekular melalui seorang tokoh mitologi yang konsisten dengan nilai-nilai luhur budaya Sunda. Sejalan dengan pendapat Edi S. Ekadjati dalam bukunya berjudul "Kebudayaan Sunda" bahwa, Dayang Sumbi adalah tokoh yang diyakini sebagai kebenaran, bukan dibuktikan sebagai kebenaran.
Selain kosmologi awal penciptaan, Sasakala Gunung Tangkuban Parahu begitu sarat akan muatan antropologi kekerabatan, sebagaimana larangan inses yang ditafsirkan Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam "Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra" (2012) sebagai peralihan dunia alam dan dunia budaya, dunia universal dan dunia struktural.
Makna larangan inses bergantung pada perbedaan sistem bahasa di setiap etnis, aturan dalam tataran alamiah yang dijangkarkan pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat tersebut. Dalam tradisi Sunda, Sasakala Gunung Tangkuban Parahu atau yang dikenal juga dengan Legenda Sangkuriang menjadi medium penyampai pesan perihal relasi sosial dan aturan perkawinan antarkelompok.
Nyai Pohaci: Dewi Kesuburan Bumi Priangan
Alkisah, kecantikan Nyai Pohaci Sanghyang Sri menggetarkan buana raya. Putri angkat Batara Guru itu telah melampaui definisi kecantikan versi kahyangan dan dunia manusia. Tatkala kehadirannya membuat gusar penghuni kahyangan, para Dewata mengirimnya ke Buana Panca Tengah, tempat tinggal manusia yang fana dan berlumuran waktu.
Nyai Pohaci tak kehilangan sifat-sifat mulia dan ciri-ciri mistisnya (mythical characteristics) meski tersisih dari Mandala Hiyang. Kelembutan hati dan keikhlasan menjadikan setiap bagian tubuhnya nutrisi alami bagi Buana Panca Tengah. Nyai Pohaci "berkorban" demi keseimbangan buana alit-buana ageung, menumbuhkan harap untuk masyarakat adat Baduy dan masyarakat Jawa Barat melalui hasil pertanian.
Meski berasal dari kesadaran kolektif masyarakat Baduy Kanekes, kontak kebudayaan dengan masyarakat luar kemudian menempatkan Nyai Pohaci pada peran yang cukup sentral. Orang-orang luar Kanekes menyebutnya Dewi Sri, objek puja masyarakat Sunda yang secara geografis dan demografis bermatapencaharian sebagai petani.
Legenda Nyai Pohaci hanyalah secarik diskursus untuk menarik pesan moral pada jarak sedekat mungkin dengan realitas kaum agraris. Secara nirsadar, humanisme Nyai Pohaci dapat diteladani tanpa perlu diuji kebenarannya. Yasraf Amir Piliang dalam bukunya yang berjudul "Posrealitas" mengemukakan bahwa, moralitas mitologis adalah moralitas komunitarian yang tidak memberi ruang pada penyidikan nalar filosofis.
Kegandrungan masyarakat Sunda terhadap cerita rakyat (folklor) tak berhenti hanya pada tataran epistemologis. Wawacan Sulanjana misalnya, teks yang memuat kisah Nyai Pohaci dan sederet mitologi dewa dan dewi Sunda, diciptakan bukan tanpa alasan, melainkan sebagai medium pembelajaran tentang nilai-nilai luhur yang dianggap sakral. Levi-Strauss dalam Heddy Shri Ahimsa-Putra (2012) menyebutnya "pusaka" warisan nenek moyang yang perlu dilestarikan dan diaktulisasikan atau dicarikan relevansinya dengan kehidupan masa kini.
Sunan Ambu: antara Kekuasaan dan Kodrat
Kesan penghormatan dan pemujaan terhadap tokoh mitologi perempuan Sunda tak dapat dipisahkan dari perannya sebagai indung. Bahkan dalam repertoar Lutung Kasarung, Sunan Ambu berperan sebagai sosok gaib penguasa kahyangan, ibu dari kebudayaan Sunda.
Secara etimologis, sunan berasal dari kata “susuhunan” yang berarti yang dimuliakan, sedangkan ambu berarti ibu. Predikat mulia itu berbanding lurus dengan sifatnya yang bernas, tegas, dan bijaksana.
Sesuai keyakinan Sunda Buhun (Sunda Kuno), keberadaan Batu Satangtung (lingga) di situs-situs kabuyutan menandai luhurnya peran Sunan Ambu sebagai representasi Ibu Pertiwi, oposisi biner dari lingga, yaitu: yoni.
Kekuasaan dan dominasi Sunan Ambu dibangun dalam narasi kepemimpinan serta kemampuan magis yang dimilikinya. Bahwa ia membawahi 4 (empat) orang bujangga laki-laki, yaitu: Bujangga Tua, Bujangga Sakti, Bujangga Seda, dan Bujangga Tapa. Keempat bujangga itu mengabdi pada Sunan Ambu untuk mengawasi Buana Panca Tengah, dibantu oleh para pohaci.
Suatu hari, Sunan Ambu mendapati putranya, Guru Minda, melakukan hal yang tak patut. Ia kemudian memerintah Bujangga Seda untuk mengganjar putranya dengan hukuman setimpal. Sang ibu agung berkehendak menghukum putranya menjadi seekor lutung (kera hitam berekor panjang) dan mengusirnya ke luar dari kahyangan. Ia ingin Guru Minda ditempa laksana seorang kesatria. Dalam nubuatnya, ia berucap: "tong dianggo tatangisan kanyenyerian, lutung heulaanan wae, tong waka nembongkeun maneh" (jangan ditangisi, biarlah lutung dahulu, jangan menampakkan diri).
Maka, jadilah Buana Panca Tengah kawah candradimuka bagi Guru Minda (Lutung Kasarung). Pengembaraannya sebagai seekor lutung membawanya pada karakter Guru Minda yang tangguh dan penuh welas asih. Ia tak sampai hati menyaksikan ketidakberdayaan Purbasari menghadapi kesewenenang-wenangan Purbararang.
Nasib malang Purbasari menggerakkan hatinya begitu rupa sehingga permintaan Purbararang yang semula terasa mustahil, menjadi mungkin. Membendung Sungai Baranangsiang, menangkap banteng lilin, dan menggarap huma mampu ia selesaikan dalam tempo satu malam.
Meski sesungguhnya yang menuntaskan pekerjaan-pekerjaan itu adalah Sunan Ambu bersama para bujangga dan pohaci, namun sikap Guru Minda dinilai begitu heroik dan dipandang sebagai sebuah keberhasilan. Peristiwa itu telah menyentuh sanubari Sunan Ambu. Hilanglah segala murka, berganti ungkapan kasih sayang seorang ibu kepada putranya. Kelak, Purbasari dinikahkan dengan Guru Minda dan memiliki keterampilan menanam padi yang diajarkan langsung oleh Sunan Ambu.
Dalam konteks ini, Agus Heryana dalam "Mitologi Perempuan Sunda" (2012) mengemukakan bahwa, seorang ibu atau perempuan diyakini memiliki daya hidup yang lebih tinggi. Bahwa di dalam sebuah keluarga, indung kerap ditempatkan dalam posisi strategis ketika terjadi peristiwa yang mengguncang tatanan.
Di tengah konflik dan tekanan serta tugas mendidik-mengasuh anak, indung (ibu) kerap menjadi individu yang paling rentan sekaligus menjadi puncak kesadaran tertinggi. Dalam menjalani peran-peran adiluhung itu, dapat dipahami jika pada sebagian masyarakat tradisional, perempuan menjadi pusat pemujaan bahkan menempati puncak tertinggi kekuasaan.
Idiom-idiom kesetaraan merupakan narasi yang lumrah bagi masyarakat Sunda, seperti halnya penokohan Sunan Ambu yang dibangun dalam semangat persamaan (egaliter). Sosok Sunan Ambu diperkenalkan sebagai tokoh yang kontra terhadap budaya patriarki tanpa menumbuhkan tradisi pengingkaran terhadap kodrat perempuan.