Musim lomba seni siswa, katakanlah Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N), berbagai tingkatan dari SD, SMP, hingga SMA setiap tahun hadir dengan penuh sorak sorai. Kesenian, tidak terkecuali musik, dilombakan. Dari setiap kota atau kabupaten diseleksi untuk kemudian bertarung di tingkat provinsi dan nasional.
Sekolah berlomba-lomba tampil menjadi yang terbaik dengan ambisi puncak mengalahkan siswa dari sekolah lain. Mereka hadir di panggung (pertunjukan) tidak dalam kapasitas berkesenian, namun kontestasi itu berpamrih kemenangan. Pada konteks musik juga demikian, sekolah menyeleksi siswa-siswa yang memiliki kemampuan musik, dan itu sangat terbantu apabila di sekolah tersebut terdapat ekstrakulikuler musik (serta karawitan).
Selebihnya, jika sekolah hendak mencatatkan namanya di piala dan piagam sebagai pemenang, harus mendatangkan pelatih kompeten dengan honorarium yang mahal. Bahkan, tidak jarang pihak sekolah “mengadakan” pada sesuatu yang sebenarnya “tidak ada”, sebutlah misalnya menyewa instrumen musik, membeli banyak properti, serta menganggarkannya.
Pendidikan seni, terutama musik, di sekolah-sekolah dihadirkan sebagai suplemen yang melengkapi pelajaran-pelajaran utama. Kehadirannya pun tidak dalam kapasitas sebagai mata pelajaran pokok, namun sejenis tambahan (komplemen), biasanya dilakukan setelah jam sekolah selesai. Hal itu kurang lebih sama dengan ragam seni lain (teater, tari). Namun, tidak sedikit sekolah yang secara serius merekrut guru musik, bergelar sarjana pendidikan musik.
Guru-guru musik itu menjadi penting posisinya untuk membuat siswa terampil bermain musik dan memenangkan perlombaan kelak. Oleh karena itu, pelajaran musik harus memiliki ukuran-ukuran keberhasilan, seperti keterampilan siswa memainkan instrumen musik yang harus terus meningkat, serta mampu memainkan karya-karya musik sebagai bagian dari kategori perlombaan.
Guru-guru berbasis pendidikan musik punya target-target tertentu yang harus dicapai. Dalam masa perlombaan, tidak jarang posisi sang guru bisa terancam, digantikan guru musik lainnya jika kalah dalam perlombaan. Bahkan, sering pula guru tetap berstatus ASN dengan latar belakang pendidikan musik “diparkir” saat musim lomba seni, karena sekolah lebih percaya pada seniman atau musisi (biasanya beberapa kali menjadi juri musik di acara FLS2N) untuk melatih siswa-siswa di sekolahnya.
Bermain musik kemudian menjadi aktivitas yang menegangkan. Siswa dituntut presisi memainkan instrumen tanpa kesalahan. Semakin banyak kesalahan dianggap tidak berpotensi meraih juara. Sejak dalam pikiran, mereka selalu dibekali pemahaman bahwa kontestan kesenian dari sekolah lain bukanlah kawan, melainkan musuh yang harus dikalahkan.
Pada konteks inilah, ada pertayaan mendasar, apa bedanya urgensi bermain musik (atau seni pada umunya) dengan aktivitas mata pelajaran formal di kelas? Tidak ada, sama-sama dituntut untuk menjadi pemenang, juara, mengalahkan yang lain.
Dalam mata pelajaran di kelas, siswa diklasifikasikan dalam tingkat-tingkat pemeringkatan. Tentu saja siswa dengan peringkat terbawah adalah yang paling tidak pandai, alias bodoh, dibanding dengan siswa yang bertengger di peringkat atas. Di titik inilah persoalan itu muncul. Seni musik yang harusnya menjadi ruang detoksinasi dari jenuh dan penatnya aktivitas pelajaran formal menjadi tidak bermakna, alias tak ada bedanya.
Bermain musik yang idealnya dilakukan dengan penuh kebahagiaan, senyum, dan riang gembira menjadi sangat mencekam, penuh ketakutan. Bermain musik itu seperti ujian matematika, dengan resiko salah yang sama, dan mendapat nilai yang juga kalkulatif.
Musik yang Berkemanusiaan
Saat menginisiasi pendirian Program Studi (Prodi) Pendidikan Musik di Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta, yang saya bayangkan pertama kali adalah musik yang ramah dan mampu menjadi jembatan agar siswa menjadi lebih arif dan berbudi luhur.
Barangkali terlalu muluk, namun angan-angan itu dapat diwujudkan dengan kesadaran penuh menempatkan musik sebagai subjek dari produk kebudayaan, bukan objek yang diperlombakan.
Musik, terutama berbasis tradisi senantiasa menyimpan kekayaan kultural yang menunggu untuk dibongkar dan dibaca. Oleh karena itu dibutuhkan lulusan, sarjana pendidikan musik, yang mampu adaptif bersentuhan dengan musik lintas tradisi.
Musik itu menjadi katalisator untuk memahami kebudayaan di mana musik itu hidup dan berkembang. Saya membayangkan, saat siswa bermain gamelan, maka mereka akan memahami tentang Jawa. Saat mereka bermain saluang, mereka akan mencoba bersentuhan dengan kebudayaan Minangkabau. Saat mereka bermain gambus, mereka mendekatkan diri dengan kebudayaan Melayu.
Ambillah satu contoh, katakanlah bermain gamelan misalnya. Saat mereka memainkan gamelan, mereka akan memahami kenapa empati itu menjadi penting di Jawa. Mereka harus menghargai sesamanya, lebih punya sisi humanis, dengan tidak tampil paling menonjol dibanding lainnya.
Itu semua tercermin dalam “laku bermain gamelan”, mereka harus mendengarkan bunyi instrumen di sekelilingnya, tak menjadi pusat perhatian dengan pukulan suara gamelan yang setara, mendengar dan merespon umpan musikal dari pemain gamelan lainnya (mad sinamadan).
Dengan kata lain, saat bermain gamelan, setelahnya, mereka menjadi lebih arif, menjadi lebih dewasa, dan tentu saja menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab. Lewat bermain gamelan itu kita dipertontonkan bahwa hidup bukan tentang menang dan kalah, namun tentang kebersamaan dan kebersahajaan.
Pendidikan musik, seharusnya menempatkan musik sebagai fungsinya yang demikian, bukan semata sarana berpamrih ambisi untuk mengalahkan dan jumawa karena kemenangan. Musik-musik tradisi diajarkan dalam upaya membentuk siswa menghargai perbedaan, lebih berbhineka (kata lain pancasilais).
Biarlah musik menjadi ruang yang memberi siswa pemahaman tentang keindonesiaan. Itulah mengapa musik hadir di sekolah-sekolah, jauh dari hasrat untuk dikontestasikan.
Kiranya, mendesak untuk dilahirkannya guru-guru yang memiliki kekayaan apresiasi musik lintas tradisi (yang tidak melulu musik barat), dan pada konteks inilah posisi Prodi Pendidikan Musik berbasis Etnomusikologi (memahami musik dalam konteks budayanya) menjadi cukup penting untuk dilahirkan.
Para lulusan, sarjana pendidikan musik, memang akan terserak paling pinggir dari pertarungan perlombaan menang dan kalah, karena misi mereka bukan itu, namun membentuk siswa yang cerdas dalam berkebudayaan.
Jika kita berfikir secara jernih, saat di mana anarkisme berlangsung secara masif, tawuran antar pelajar, melakukan tindak kekerasan, bukankah hal itu juga, salah satunya, disebabkan karena iklim akademik yang sejak awal dibangun dengan penuh kontestasi, senantiasa dicekoki pemahaman untuk mengalahkan yang lain, menjadi juara, pemenang. Aduh!
Penyunting: Nadya Gadzali