Etnis.id - Di Indonesia tingkat perceraian cukup tinggi. Permasalahannya tentang banyak hal. Ada yang belum siap secara finansial, kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lain. Negara bahkan mengatur usia pernikahan anak. Kita bisa menilai kalau pernikahan ideal seharusnya tepat dan bukan cepat.

Tidak ada yang salah dengan kampanye banyak orang agar kebelet menikah dan minta dihalalkan secepatnya. Dalam perspektif agama, itu baik. Tetapi pernahkah kita menimbang sendiri dari pandangan sosial?

Pernikahan jika dipikirkan tidaklah sederhana dari kampanye nikah muda. Banyak hal yang harus dipertimbangkan agar tidak menyesal nantinya. Seperti finansial, hubungan dengan keluarga baik ipar dan mertua, serta rasional dan saling paham satu sama lain, mesti dipikirkan lagi dan lagi.

Apalagi jika punya anak. Suami dan istri harus berbagi waktu, siapa yang mengurus anak, siapa yang bekerja, dan tentu saja pengeluaran tiap bulan harus meningkat.

Dari patokan umur 28-32 tahun, saya percaya angka segitu sudah tepat. Sementara Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menganggap umur 21 sudah ideal untuk menikahi dan dinikahi.

Dalam perspektif pikologi, mayoritas orang percaya jika semakin dewasa, kehidupan rumah tangga lebih hidup. Pengambilan keputusan sudah tidak sembrono dan lebih banyak berdiskusi dengan orang yang tepat soal rumah tangga.

Tetamu di acara pernikahan/FIickr/Wahid Hasyim

Secara pribadi, saya memandang, jika di bawah umur dan masih remaja, maka sangat rentan untuk terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Kematangan berpikir dan cara menyelesaikan masalah cenderung sembrono.

Sebab kurangnya data konkret yang menjabarkan mayoritas umur berapa orang-orang bercerai. Bukan berarti kita ingin masuk dalam data Kemenag soal perceraian sebab hal emosional dan bisa diselesaikan dengan baik lagi, bukan?

Pada tahun 2015, berdasarkan data dari Kemenag ada 398.245 gugatan, terdiri dari 113 ribuan gugatan talak dari suami, sedangkan 281 ribu lebih dari istri.

Pada tahun 2017 meningkat menjadi 415.898 gugatan cerai. Lalu pada 2018, dari catatan Kemenag, kini menjadi 419.268 pasangan. Dihitung pula, inisiatif perceraian didominasi perempuan yaitu 307.778 perempuan. Sedangkan dari laki-laki sebanyak 111.490 orang.

Akhirnya dari data itu, banyak hal yang bisa disodorkan kepada lembaga negara tentang aturan yang harus diubah atau diperkuat, mulai pada umur berapa sebaiknya menikah, usia berapa punya anak dan sebagainya.

Tetapi pernahkah Anda merasa kalau ada kepercayaan-kepercayaan tetua dulu yang mengatur pernikahan sedemikian rupa dengan cara pemaparan sederhana?

Pemali Lusan di Mata Orang Jawa

Di Jawa, ternyata ada kepercayaan yang mengaturnya. Namanya adalah lusan. Aturannya tidak seperti bagaimana lembaga negara membuat power point dan disampaikan dalam rapat besar.

Hanya melalui penyampaian lisan saja, aturan ini menjadi hal yang mengikat dalam masyarakat dan menjadi pemali. Mau dipercaya atau tidak, tetapi hal ini punya pesan kuat.

Pemali dapat diartikan dengan pantangan atau larangan (Pusat Bahasa, 2008). Dalam konteks ini, pemali dipandang sebagai sebuah pesan yang harus benar-benar dapat dipahami maknanya agar tidak terjadi kesalahan persepsi terhadapnya.

Mengapa harus paham dulu, sebab kita terlalu mudah beranggapan yang tidak-tidak dengan tradisi, dan hanya menghasilkan anggapan kalau pesan tetua sudah tidak relevan dan kuno di mata zaman.

Meski majunya zaman, sebagian besar orang di Jawa tetap memandang pemali lusan sebagai sebuah isyarat dari pendahulu yang harus dipatuhi. Ia harus diwariskan kepada generasi mendatang agar dengan harapan mereka dapat mematuhinya demi keselamatan dan kesuksesan hidup yang akan dihadapi.

Fokus pada lusan, sebagian besar Suku Jawa meyakini jika akan ada kejadian buruk yang kelak menanti mereka, ketika melanggar pemali itu. Masyarakat di lingkungan saya, di Sragen, sampai sekarang masih yakin jika melanggar pamali lusan bisa mengalami banyak persoalan.

Lusan merupakan sebuah larangan perkawinan antara anak pertama dengan anak ketiga. Lusan yang kepanjangannya ketelu dan sepisan, artinya ketelu berarti ketiga dan sepisan berarti pertama.

Resepsi pernikahan/FIickr/Toha Adog

Omong-omong, ada beberapa hal mendasar yang membuat pernikahan lusan ini dilarang. Pertama, rentan konfilk pasangan. Hal ini masih bisa diterima dengan mudah.

Pasalnya, jika kita tarik dari ilmu psikologi, anak pertama merasa dewasa dan sangat pas dijadikan patokan. Sebaliknya, anak ketiga memiliki karakter yang berbanding terbalik.

Jika kedua karakter yang bertentangan ini dipersatukan, konon konflik dalam rumah tangga rentan terjadi dan menggoyahkan ikrar suci yang sudah diucap sebelumnya.

Kedua, rumah tangga akan dirundung permasalahan. Pernikahan anak pertama dengan ketiga diyakini akan sering membawa permasalahan dalam keluarga. Saat berhasil menyelesaikan satu persolaan, maka akan muncul persoalan baru lainnya.

Ketiga, dirundung masalah finansial. Sebuah keluarga yang kerap dirundung permasalahan akan dijauhkan dari rejeki. Hal ini sangat terkait dengan dua alasan sebelumnya.

Perbedaan karakter yang membuat sepasang suami istri mudah bertengkar. Saat terjadi pertengkaran, maka seseorang akan sulit berpikir positif. Pikiran yang kurang baik inilah yang akan menjadikan kegiatan mencari nafkah juga terhambat.

Keempat, mitosnya akan ada salah satu pihak yang ditinggal mati. Bisa dikatakan, yang keempat ini lebih menyeramkan dibandingkan yang lainnya. Kemungkinan terburuknya, ayah ataupun ibu dari kedua pasangan tersebut akan meninggal.

Kehadiran mitos inilah yang membuat banyak calon pengantin mengurungkan niatnya ketika akan menikah lusan. Bagaimana? Apakah Anda mau percaya dengan pemali lusan, aturan negara, atau menggabungkan keduanya?

Editor: Almaliki