Di pagi yang basah oleh embun, pasar sapi itu tampak seperti sebuah teater sarat manusia. Para pedagang dengan wajah penuh kerutan dan tatapan tajam berseliweran di antara sapi-sapi yang melenguh, seolah mereka menjadi bagian dari penonton sekaligus pemeran dalam drama yang sama.

Udara berbau campuran tanah basah karena tetesan embun dan keringat para pedagang sapi yang semalamanan menginap, menguap dari tubuh sapi-sapi gemuk yang mengibaskan ekor, sementara suara tawar-menawar meluncur seperti alunan doa-doa di bibir para musafir.

Di atas segalanya, ada keheningan yang ganjil, seakan waktu sejenak berhenti, memberi ruang bagi kenangan masa lalu agar bisa menyelinap di antara aroma daging dan jerami kering nan basah. Di sini, nasib dan harga hidup dibenturkan. Setiap tarikan napas membawa kisah tak terucap, tertinggal dalam desiran angin bercampur sinar matahari pagi.

Di sudut pasar sebelah timur, pria kepala tiga berwajah tirus diam berdiri, mengenakan topi jerami ala-ala koboi, dan matanya mengamati sambil merekam setiap gerakan, tapi tak pernah mendekat. Pasar Keppo tak hanya tempat perdagangan sapi, tapi juga merupakan titik temu antarragam bahasa, dialek, dan aksen. Juga sebuah titik pertemuan di mana yang tak kasat mata mengintip dari balik sudut-sudut gelap, menunggu saatnya untuk menyusup keluar.

Di tengah hiruk-pikuk pasar itu berdiri sebuah bhuju’ (makam tua, dalam bahasa Madura) yang nyaris terbengkalai, tertimbun debu zaman dan dililit akar-akar nakal yang menjalar liar. Batu nisannya condong ke samping, seolah menanti saatnya untuk jatuh sepenuhnya ke dalam pelukan tanah, tapi tak pernah benar-benar jatuh.

Para pedagang melangkah di sekitarnya dengan kehati-hatian yang tak disadari, seperti menghindari sesuatu yang sakral tanpa memahami mengapa. Konon, Bhuju’ Dhâsar di tengah-tengah pasar itu ditemukan kemudian hari, setelah ada pelebaran Pasar Keppo, meski jejak arwahnya masih terasa menggantung di udara, menyusup dalam bisik-bisik pagi di antara jerami.

Mataku tertuju pada makam tua nan hampir rubuh itu. Di tengah semua hiruk-pikuk, aku merasa ditarik untuk mendekatkan diri padanya. Batu nisan yang condong, tertutup lumut, nyaris terselip di kaki-kaki yang berlalu-lalang, tapi keberadaannya tak bisa untuk diabaikan. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang membuat udara di sekitarnya terasa lebih dingin, seolah-olah waktu berhenti di titik itu, meski pasar terus bergerak. Aku tak bisa melepaskan pandanganku, seolah sedang berada dalam sebuah teater dan dilarang untuk bersuara.

Di sela ingar-bingar tawar-menawar seakan ada sebuah getaran halus yang menyelinap masuk ke dalam tulangku—perasaan bahwa Pasar Keppo ini menyimpan lebih banyak cerita dari sekadar aktivitas jual-beli. Aku mendekati seorang pria tua yang sedang duduk di bangku kayu, di bawah bayangan sebuah pohon, tampak tak terganggu keramaian pasar. Wajahnya keriput nan kusut, tapi matanya menyimpan kilatan tajam seperti menyimpan cerita-cerita yang belum dilontarkan.

Aku mulai mendekatinya dan memulai percakapan ihwal mengapa Pasar Keppo menjadi pusat perdagangan sapi yang tersohor seantero Madura. “Pasar Keppo usianya mungkin lebih tua darimu,” katanya, dengan suara serak-serak basah dan berat seolah setiap kata yang keluar dari mulutnya membungkus rahasia yang telah lama terpendam tumpukan waktu.

“Dulu, sebelum pasar ini dipagari tembok, diganggu suara mesin mobil yang lewat, dan Bhuju’ Dhâsar masih menjadi batas pasar ini dengan sungai di timurnya, sapi-sapi tersebut dijual bukan hanya karena dagingnya, tapi karena mereka dianggap suci. Mereka dianggap bagian dari hidup, bagian dari kebanggaan orang Madura. Di sini, mulanya, sapi bukan hanya dijadikan sebagai penunjang hidup masyarakatnya, tapi juga simbol kekuatan dan kehormatan.” Mendengar jawaban itu, aku jadi teringat bahwa dalam tradisi Hindu, sapi dianggap sakral. Namun, aku lebih memilih diam dan menyimak kisahnya lebih lanjut.

Pria tua itu mengisap rokok klobotnya dalam-dalam dan melanjutkan kisah. “Pasar Keppo sudah lama ada. Waktu itu, sebelum mereka mengenal karapan sapi, masyarakat menggunakan sapi-sapinya untuk membajak sawah karena sapi-sapi Madura dikenal kecil, kuat, dan lincah. Selain karena lahannya luas, Pasar Keppo menjadi pusat perbelanjaan di Madura karena lokasinya strategis. Pasar ini juga dikenal sebagai pemasok sapi Madura dan non-Madura terbaik.”

Pasar Keppo adalah sebuah perwujudan dari sejarah dan kebanggaan yang telah terjalin erat dengan kehidupan orang-orang sekitarnya, dan entah bagaimana, makam tua di tengah pasar itu menjadi masuk akal—seperti penanda yang menegaskan bahwa tempat ini tak hanya berdiri di atas tanah, tetapi juga kenangan yang masih hidup dalam langkah-langkah kaki yang berlalu-lalang.

Pada hari Sabtu, hari ketika aku banyak menghabiskan waktu untuk menilik perdagangan sapi dan ihwal Pasar Keppo. Aku memutuskan untuk keluar dari area pasar, lalu menemui orang yang menurutku cocok dimintai pertanggungjawaban atas rasa penasaranku. Lelaki paruh baya dengan perut buncit yang kutemui adalah ayah kawan karibku di bangku sekolah. Masyarakat sekitar menjuluki pria buncit itu dengan sebutan paker (semacam juru kunci) Pasar Keppo. Lihen, nama aslinya.

Saat matahari berada tepat di atas kepala, bayangan selaras dengan tubuh, dan ubun-ubun terasa mengepulkan asap, aku mendatangi kediaman sang paker yang berlokasi di sebelah barat Pasar Keppo itu. Kebetulan ia sedang berada di sana sambil mengawasi istrinya yang berjualan nasi rames, gulai, dan kaldu kikil untuk para pedagang serta pengunjung yang berdatangan ke Pasar Keppo, baik dari wilayah-wilayah Madura maupun dari luar Madura.

Lalu, aku masuk ke dalam pembahasan tentang sirkulasi perdagangan sapi belakangan ini. Dengan mata memicing dan gestur yang tak bisa diam, Lihen melibas pertanyaan-pertanyaanku dengan sepatah dua patah kata yang benar-benar membuatku jengkel.

Aku mengangguk, mencoba menutupi kejengkelan itu, dan lanjut melontarkan pertanyaan pokok, “Kenapa Pasar Keppo bertahan begitu lama, sedangkan di daerah lain seperti Sumenep, Sampang, dan Bangkalan yang juga memiliki pasar sapi tak begitu dikenal?” Sambil mengangkat kaki ke atas kursi dan menarik napas panjang, ia menjawab di antara asap rokok yang mengepul dari bibirnya, “Di sini, tradisi perdagangan sapi masih kuat. Masyarakat menghargai leluhur, menjaga adat.

Orang-orang sekitar yang hidupnya sudah lama berada di sini pasti tahu bahwa selain untuk jual-beli sapi, Pasar Keppo juga masih begitu lekat dengan kearifan lokalnya.” Sebelum Lihen melanjutkan cerita, aku memotong percakapan itu dengan mengajukan pertanyaan lain, “Makam siapa yang berada di tengah-tengah pasar itu?”

Katanya, makam itu adalah Bhuju’ Dhâsar yang entah sejak kapan ada dan ditemukan setelah pasar ini mengalami pelebaran. Kini suaranya semakin menggebu. Ia mulai tenggelam ke dalam ceritanya sendiri. Asap rokoknya mengambang sebentar sebelum dibawa angin panas Pasar Keppo. “Tapi, sapi-sapi itu bukan hanya untuk diadu. Lihat bentuk badannya, dadanya yang tebal, pantatnya yang kokoh. Orang beli sapi di sini bukan cuma buat gaya-gayaan di karapan sapi, tapi juga dipakai untuk mengurus sawah, buat narik beban berat. Ya, ada juga yang hanya untuk ternak, tapi bukan sapi asli Madura. Sapi Madura mungkin enggak besar kayak sapi dari luar, tapi sangat kuat, enggak mudah sakit, dan kalau dijual, harganya cukup tinggi.”

Dengan isapan rokoknya, ia melanjutkan cerita dan menatapku dengan serius. “Singkatnya, sapi merupakan bagian dari identitas orang Madura, simbol ketangguhan dan kejantanan. Di sini sapi itu enggak hanya dilihat dari berat badan dan dagingnya, tapi dari sejarah, dan cerita yang mereka bawa dalam tiap langkahnya.”Aku terdiam, merasa telah diperlihatkan sebuah lontar usang yang hanya dapat ditilik lewat ketekunan dan kesetiaan.

Sapi-sapi itu berdiri tenang, tapi di balik keheningannya, aku bisa merasakan jejak panjang perjalanan hidup mereka. Paker itu tertawa pelan, mengepulkan asap rokoknya sekali lagi sebelum melanjutkan ceritanya kembali. “Ah, sekarang enggak semua sapi yang dijual di sini murni sapi Madura. Zaman sudah berubah dan kebutuhan juga berubah. Dulu, hampir semua sapi yang lewat di sini asli Madura—pendek, kuat, tahan banting. Tapi, kini banyak pedagang mencari sapi bertubuh besar karena dagingnya lebih banyak. Jadi, sapi-sapi dari luar Madura pun turut masuk.” Aku mengerutkan kening mendengar hal itu. Perawakan sapi non-Madura memang jauh lebih gagah dibanding sapi Madura yang lebih kecil.

“Sapi luar memang besar, dan harganya kadang lebih tinggi. Tapi, mereka enggak punya jiwa seperti sapi Madura. Orang-orang di sini mestinya tahu. Mereka membeli sapi luar untuk dipotong dan untuk meraup keuntungan lebih besar. Tapi, kalau sudah menyangkut tradisi, karapan, atau kerja keras seperti membajak sawah, mereka tetap kembali ke sapi Madura.”

Ia kemudian mematikan rokok, lalu menutup pembicaraan. Aku pamit dan beranjak pergi sambil kembali memikirkan makam di tengah Pasar Keppo. Aku memutuskan pulang setelah jam menunjukkan pukul dua siang.

Penyunting: Nadya Gadzali