Etnis.id - Cukuplah mayoritas orang kota memakai lemari baju, rak buku, meja rias dan sebagainya yang berbahan dasar bubur kayu. Sebab kayu kokoh, sudah dihargai mahal.
Di kota, banyak sekali sesuatu berbau manipulatif. Seperti kecantikan, tawa dan kebahagiaan. Seperti kayu-kayu yang sudah diwarnai sedemikian rupa, yang biasa kita lihat, sebenarnya itu tampilan luarnya saja.
Dalam satu kesempatan, setahun yang lalu, saya membeli sebuah rak. Sebenarnya itu lemari baju, tapi saya menjadikannya tempat menyimpan buku. Di rumah, tak ada barang-barang yang berharga selain emas ibu dan alat masaknya. Selebihnya, semua berusia lapuk dan kian terlupakan.
Rumahku sering kemasukan banjir dan saya agak kesulitan jika harus mengangkat buku-buku ke lantai dua rumah saat musim hujan tiba. Buku harus diangkat berulang kali, bolak-balik, karena jumlahnya ratusan. Jadilah saya berpikir, lebih baik membeli lemari untuk buku. Agar bisa diangkat sekali saja.
Sampai di toko peralatan rumah tangga, saya melihat jajaran lemari plastik dan kayu. Saya mengetuk kayu itu dan suaranya nyaring. Kata pegawai toko, itu bubur kayu.
Saya mengiyakan dan bertanya apa kayu jati sudah sulit ditemukan untuk sekadar dijadikan lemari baju yang berukuran kecil. Di Makassar, katanya, sudah sulit. Alasannya, harga kayu makin mahal. Lebih banyak konsumen yang menginginkan lemari berbahan dasar bubur kayu.
Mereka melihat tampilan lemarinya saja, jika diberi tahu bubur kayu, mereka "Oke" kan. Harganya lebih murah tentu saja. Jika sadar rumahnya bukan daerah banjir, maka pilihan itu sudah menjadi yang utama. Daripada mengeluarkan dana besar untuk kayu jati, misalnya.
Tetapi bagaimana kalau masyarakat ingin kayu yang lebih kuat, tetapi sistem dan autran baku negara memaksanya memilih kayu yang mudah lapuk? Kasus ini membuatku tertegun. Seorang lelaki tua berbicara denganku soal hutan adatnya.
Saat ia mengeluarkan banyak sekali kata-kata, saya membayangkan berkemah di hutan bersama kawan, memasak sarden rasa pedas manis, beras pulen, lalu bergitar dengan melagukan nyanyian sendu.
Hutan bagiku adalah tempat yang damai. Tempatku melarikan diri sumpeknya hidup dalam kota. Di mana kita bisa menyimak suara binatang semisal cicit burung pada pagi hari. Tak seperti Jakarta, harus diganggu dengan kerjaan, macet dan polutan.
Namanya Cornellis Billy, Ketua Penghayat Kepercayaan Marapu. Saat diwawancara Etnis, ia menyambutku dengan tatapan yang teduh. Suaranya pelan tapi kata-katanya terdengar jelas.
Billy adalah lelaki yang menarik. Saya suka melihatnya memakai baju adat. Saya menganggap diriku adalah turis lokal yang jatuh cinta dengan identitas sebuah daerah. Rasa-rasanya bosan dan menyebalkan juga, ketika berkunjung ke suatu tempat yang dimanfaatkan cuma daerahnya saja, tetapi masyarakat lokalnya dilupakan dan dianggap sebagai, "Apa sih!".
"Kami potong kayu untuk rumah adat."
Billy berujar, kalau mereka beserta masyarakat adat yang lain, senang dengan kondisi dan rumah adat mereka. Ia bangga dengan hutan yang tumbuh rimbun di Sumba Barat. Tetapi sekarang, ia mengeluhkan soal pohon tua yang dikelola negara. Mereka sudah dijauhkan dari pola hidup mereka yang sudah lama ia jalani.
Terasa agak aneh kalau masyarakat adat dijauhkan dari hutan. Saya berpikir sederhana, semisal apakah kita semua bisa menerima saja jika menjadi masyarakat adat tiba-tiba? Itu butuh waktu.
Sebaliknya, apakah identitas masyarakat adat harus dihilangkan atau dikikis dan menggantikan budayanya sesuai dengan kaum urban? Seperti membeli sayur, ayam dan lain-lain.
Mayoritas masyarakat adat itu, menurut saya, menunjukkan hidup yang ajek. Kerja sama dalam satu komune adalah hal yang paling menonjol baginya. Lupakan kata individualis seperti yang kita lihat di kota-kota besar.
"Dulu kami itu bebas masuk hutan. Sekarang, pemerintah sudah melarang. Katanya, itu hutan lindung. Masuk wilayah konservasi."
Nama hutan masyarakat adat Sumba adalah hutan Purunumbu. Billy bilang, ia dilarang oleh negara karena itu adalah hutan hujan. "Hanya itu saja. Tidak ada pembalakan kayu di sini, kalau itu yang mau dijadikan dalih agar hutan kami dikonservasi, bang."
Mereka tidak hanya dilarang mengambil kayu. Billy dan masyarakat adat Tambera atau Ratewana, dilarang mengambil babi hutan atau ubi di sana. Ini adalah satu keadaan yang ironi. "Kami tidak beli kayu. Kami tanam ulang di daerah adat kami, bang," jelas Billy.
Kayu yang ditanam Billy adalah kayu mahoni, jati dan sebagainya. Semua itu, kini mereka pakai untuk membangun rumah adatnya. Meski tampilannya sama, tapi kekuatan kayunya beda.
"Bayangkan saja, bang, ya. Rumah saya itu turunan dari rumah nenek saya, Sampai sekarang, itu belum rapuh. Bisa dipakai sampai ratusan tahun."
Dengan percaya diri, ia yakin kalau kayu hutan Punurumbu lebih kuat daripada kayu yang umum dipakai orang untuk membangun rumah. Billy juga menyebut beberapa kayu dalam hutan yang dulunya mereka pakai untuk membangun rumah adat mbatangu atau rumah puncak atau rumah menara.
Perlu diketahui, ada dua rumah utama bagi orang Sumba. Rumah yang paling khas adalah uma mbatangu atau rumah berpuncak dari Sumba Timur yang memiliki puncak tinggi di bagian tengah. Atapnya dari jerami, alang-alang dan agak mirip rumah joglo.
Sementara rumah puncak yang paling besar dikenal sebagai uma bungguru. Rumah ini adalah rumah utama klan dan menjadi tempat penting untuk ritual yang berkaitan dengan persatuan dan kesatuan klan, misalnya upacara pernikahan, pemakaman dan sebagainya. Rumah besar juga merupakan rumah tinggal permanen bagi orang tertua di desa (Gunawan Tjahjono, 1998).
Pertama adalah kayu dari pohon lapale, ulukataka, manera, mapoddu, wulumanu, taramanu, kayaraka, tibumanini, tamme dan ello. "Tali yang dipakai untuk ikat penyangga rumah itu adalah kasi kara, uwwe, panete. Tiga saja bang."
Untuk itu, Billy berharap kalau pemerintah nantinya bisa membebeaskan mereka agar bisa masuk dalam hutan. Apalagi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara telah mengusulkan RUU Masyarakat Adat.
Saya pernah mewawancarai Anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR RI, Muchtar Luthfi A. Mutty dan berbincang soal RUU Masyararakat Hukum Adat. Ia sudah mendesak pemerintah untuk serius membahas RUU MHA (Masyarakat Hukum Adat). Menurutnya, pembahasan RUU MHA saat ini macet disebabkan belum diserahkannya daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah.
“Padahal dalam rapat bulan Juli 2018 antara Baleg dan pemerintah yang diwakili 6 menteri (Mendagri, Menkumham, ATR/BPN, LHK, KP, PPDT), disepakati DIM akan diserahkan tanggal 18 Agustus 2018,” ujar Luthfi pada Januari lalu.
Sebagai salah satu inisiator RUU MHA, dirinya sejak awal memang melihat pemerintah tidak serius membahas RUU ini. “Pemerintah tidak serius karena tidak mau kehilangan kewenangan,” kata Luthfi.
Menurut mantan Bupati Luwu Utara (Lutra) ini, jika pemerintah tak ingin kehilangan kepercayaan dari masyarakat adat, maka sekaranglah saatnya untuk merespons desakan itu.
“Pemerintah (harus) menunjukkan niat baik dengan menyerahkan DIM,” pungkasnya.
Sampai sekarang, RUU itu tak terdengar lagi gaungnya. Intinya, Luthfi pernah berujar kalau pengembalian hak-hak adat kepada masyarakat adat, akan memberikan keuntungan secara ekonomi.
"Bahkan bisa melestarikan lingkungan hidup dengan mengelola kawasan adat berdasarkan kearifan lokal. Kalau itu diserahkan ke investor, malahan bakal merusak keaslian wilayah adat.”