Di negeri ini, tema pluralisme telah berulang kali diterjemahkan ke dalam narasi yang menggugah; dijadikan landasan untuk hidup berdampingan di negara majemuk, Indonesia. Tetapi hal-hal yang kita pahami sebagai pengejawantahan sikap toleransi, belum sepenuhnya dirasakan oleh komunitas pewaris nilai-nilai adat.
Dalam kehidupan penghayat agama lokal seperti Sunda Wiwitan di Jawa Barat, Arat Sabulungan di Mentawai, Kaharingan di Kalimantan Tengah, atau Parmalim di Sumatra Utara misalnya—upaya penyelamatan tradisi dengan cara mengikuti kebijaksanaan hidup leluhur masih belum mendapat ruang yang layak.
Kondisi itu dikiaskan sebagai perasaan terasing di negeri sendiri. Utamanya, ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa penggunaan simbol-simbol tradisi dalam pelaksanaan ibadah menurut adat leluhur, masih dianggap meresahkan.
Penghayat Sunda Wiwitan belum lama ini dihadapkan pada kendala perizinan ketika mendirikan batu satangtung atau pasarean tokoh masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
Selain daripada alasan belum terpenuhinya persyaratan izin mendirikan bangunan (IMB), makam atau pasarean tokoh AKUR yang dibangun di atas lahan pribadi itu dikhawatirkan akan menjadi tempat pemujaan.
Pengakuan Terhadap Penghayat Agama Lokal
Terlepas dari kebenaran versi masing-masing pihak. Namun, pengakuan terhadap penganut aliran kepercayaan agaknya memang masih berada di area samar-samar.
Kendati terminologi ‘Penghayat’ telah resmi dicatat di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, bahkan sudah dicantumkan di dalam kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) sejak 2019 lalu. Pada kenyataannya, pengakuan terhadap penghayat agama lokal terbilang masih semu dan kerap dicerabut dari aspek sejarah yang melatarbelakanginya.
Rikardo Simarmata dalam “Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Hukum Adat” mendefinisikan masyarakat hukum adat sebagai entitas legal—tak ubahnya seperti perorangan (natuurlijk person) atau badan hukum (rechtsperson)—yang dapat melakukan perbuatan hukum publik maupun keperdataan.
Jika kedudukan penghayat agama lokal di dalam masyarakat sekaligus pula sebagai anggota persekutuan hukum adat (adatrechtgemeenschap) diakui sebagai subjek hukum, maka pelanggaran terhadap kedaulatan atas hak-hak masyarakat adat, mulai dari penggunaan simbol-simbol keagamaan hingga praktik peribadatan, sepatutnya mendapatkan perlindungan hukum.
Mahkamah Konstitusi (MK) senyatanya telah mengabulkan uji materi atas Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan pada 7 November 2017 lalu yang didasarkan pada permohonan sejumlah penghayat kepercayaan terkait keterangan agama di dalam KK dan KTP elektronik.
Bagi penganut kepercayaan, kolom agama tersebut dikosongkan sehingga bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa memeluk agama sesuai keyakinan merupakan hak konstitusional setiap warga negara Indonesia. Dengan demikian, penghayat kepercayaan mendapatkan perlindungan hak-hak sipil seperti pernikahan dan pendidikan tanpa harus bersembunyi di balik agama-agama resmi yang diakui pemerintah.
Dua tahun berselang, implikasi dari dikabulkannya permohonan uji materi oleh MK ialah dicantumkannya istilah ‘penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME’ pada kolom agama di dalam KTP.
Tradisi Menghormati Leluhur pada Perayaan Cheng Beng
Sebagai kesatuan sistem etika, setiap ritual keagamaan tentunya memiliki nilai yang sakral. Tak terkecuali pada hal-hal yang berkenaan dengan ritual penghormatan terhadap leluhur seperti yang dilakukan oleh para penghayat agama lokal, maupun pemeluk agama-agama resmi di Indonesia.
Cerapan dimensi transendennya terletak pada filosofi dan makna tentang kematian di dalam masing-masing agama. Sebut saja ritual Cheng Beng yang digelar pada setiap bulan April di Provinsi Bangka-Belitung.
Tradisi ini menitikberatkan kekekalan relasi antara leluhur etnis Tionghoa penganut ajaran Konfusionisme dengan orang-orang yang masih hidup lewat pelaksanaan ritual ziarah kubur.
Diawali dengan membersihkan makam leluhur, menghias pusara, meletakkan aneka persembahan seperti makanan, minuman, dan replika benda-benda yang digemari leluhur semasa hidupnya.
Selepas menghias makam, prosesi dilanjutkan dengan pelaksanaan sembahyang kubur dan membakar beberapa benda persembahan.
Di penghujung ritual, prosesi berpamitan seraya merapal doa-doa bagi leluhur tampaknya menjadi suatu khidmat tersendiri bagi para peziarah. Tahapan ini berisi permohonan kepada leluhur agar sudi tetap terhubung dengan cara mengunjungi dan memberkati kediaman keluarga yang masih hidup.
Secara simbolis, elemen-elemen yang digunakan di dalam ritual Cheng Beng seperti dupa (hio), kertas lima warna (go cek hua), uang akhirat (kimcua), serta aneka persembahan— menunjukkan adanya kemiripan antara tradisi Tionghoa dengan cara orang-orang Nusantara menghormati leluhurnya, seperti halnya pada penggunaan sesaji (sesajen), kemenyan, serta aneka medium pengantar doa lainnya.
Melalui ritual Cheng Beng, tampak bahwa peran leluhur begitu penting bagi penganut ajaran Konfusionisme, sebagaimana esensi leluhur bagi para penghayat agama lokal.
Sapundu: Pengintegrasian Tradisi Kaharingan dan Hindu-Dharma
Penganut aliran kepercayaan atau penghayat agama lokal mengalami krisis pengakuan ketika Pemerintah membentuk Pengawas Aliran Kepercayaan (PAKEM) pada tahun 1953. Pasalnya, Negara hanya mengakui lima agama saja di Indonesia, yakni Islam, Katholik, Kristen, Hindu dan Buddha.
Suku Dayak Ngaju di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, ialah satu dari sekian banyak penganut aliran kepercayaan di Nusantara yang mencari pengakuan itu.
Setelah melalui proses pencarian yang cukup panjang, akhirnya, umat Kaharingan sepakat untuk mengintegrasikan diri dengan Hindu-Dharma sebagai agama induk yang telah mapan, resmi, serta memiliki pandangan serupa tentang reinkarnasi, kematian, penghormatan terhadap leluhur dan keselarasan antara manusia-alam-Tuhan.
Sejalan dengan keyakinan pengikut Hindu-Dharma, kedudukan arwah leluhur juga begitu istimewa bagi pemeluk aliran kepercayaan Kaharingan. Di antaranya, yang tercermin dalam tata cara memperlakukan jenazah. Mulai dari prosesi persemayaman atau penguburan, penggalian makam, sampai pada pelaksanaan ritual tiwah atau kremasi.
Seperti halnya upacara Ngaben di Pulau Bali, ritual tiwah juga dilaksanakan menurut daur hidup manusia (manusa yadnya) yang terdapat di dalam tradisi Hindu-Dharma, meliputi etika penghormatan terhadap leluhur yang melibatkan unsur tanah, kayu, air dan api.
Kendati banyak terdapat kesamaan dengan upacara Ngaben—namun dalam ritual tiwah— elemen kayu diwakili oleh sapundu. Unsur yang tidak terdapat dalam upacara kematian umat Hindu di Bali.
Sapundu ialah kayu berukir yang mewakili rupa dan jenis kelamin leluhur, serta berfungsi sebagai tiang untuk mengikat hewan persembahan.
Umat Kaharingan meyakini bahwa setiap darah yang menetes dari tubuh hewan persembahan pada ritual tiwah, dapat menyucikan dan melapangkan jalan arwah leluhur menuju Lewu Tatau (nirwana).
Peristiwa menyempurnakan arwah (atma) dalam tradisi Kaharingan ini, tak ubahnya upacara kematian entas-entas pada masyarakat Suku Tengger di Jawa Timur. Keserupaan nilai-nilai transendensinya terletak pada kesakralan ritual sebagai wujud penghormatan terhadap leluhur.
Melalui pengintegrasian kultur dan religi, tercapailah bentuk khayali tertentu yang mempermudah manusia untuk meneladani kebijaksanaan hidup leluhurnya. Dalam tradisi Kaharingan, bentuk khayali itu mewujud ke dalam sarana komunikasi non-verbal berbentuk sapundu.