Mari kita bernostalgia sejenak, mengingat-ingat kembali cerita tentang ketenteraman, kemakmuran, dan kesejahteraan penduduk pribumi. Juga kisah yang turun temurun dituturkan kepada rakyat tentang keberagaman sumber daya alam dan kekayaan bumi pertiwi.
Nusantara menyimpan begitu banyak potensi sumber daya alam. Betapa dulu sungai mengalir begitu jernih, ikan berlimpah, petani sumringah, ekonomi tercukupi dari hasil tanah sendiri. Tak terdengar gagal panen, kambing dan sapi beranak-pinak digembala di hamparan rumput, kawanan bebek berenang di kanal yang mengaliri sawah, suara jangkrik, dan kerlip kunang-kunang menyapa kala malam tiba.
Hidup selalu bertransformasi dari satu keinginan sederhana sampai pada yang paling kompleks. Membuat manusia selalu ingin mendapatkan yang lebih untuk memenuhi berbagai keinginannya. Keinginan manusia yang semakin hari semakin kompleks mendorong perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi. Bersamaan dengan itu, “gemah ripah loh jinawi” seharusnya terus dirawat.
Beberapa tahun silam, ketika membuang sampah pada tempatnya, menemukan sobekan kertas bergambar logo salah satu kabupaten di Jawa Timur bertuliskan “gemah ripah loh jinawi tata tentram kerta raharja”. Ketertarikan ini membawa saya pada pencarian makna dari kalimat tersebut.
Sebenarnya kalimat ini sudah sering saya dengar dari cerita-cerita orang tua atau seorang dalang yang mengisahkan kehidupan zaman dahulu. Secara sederhana, gemah ripah loh jinawi diartikan sebagai wilayah dengan kesuburan yang membawa kemakmuran atau gambaran pemanfaatan sumber daya alam berupa potensi sumber daya yang beragam, khususnya paradigma masyarakat agraris.
Sedangkan tata tentram kerta raharja dipahami sebagai sebuah tatanan pola dan struktur pembangunan secara luas sehingga membawa ketenteraman dan kesejahteraan. "Gemah ripah loh jinawi tata tentram kerta raharja" disimpulkan sebagai keadaan bumi pertiwi bak di sebuah negeri dongeng. Kesuburan alamnya mampu memberikan kemakmuran dan kesejahteraan pada rakyatnya.
Sebagai negara agraris, nenek moyang kita sejak lama menyadari potensi sumber daya alam yang begitu kaya di negeri ini. Ketika suatu pagi melihat petani di kampung yang mayoritas adalah orang-orang berusia lanjut, nalar saya terbawa untuk melakukan penelitian ndek-ndekan.
Sejak 2 tahun lalu penelitian itu saya mulai dengan belajar bertani menggarap sawah, menanam padi, jagung, terong, dan lain sebagainya. Saya begitu berminat di sektor pertanian untuk mencari tahu mengapa profesi ini tak lagi dilirik anak muda. Apakah profesi petani memang begitu ngenes?
Di era milenial dengan gempuran sektor industri, mampukah kita hidup makmur dengan bertani, atau dengan inovasi-inovasi yang bisa memanipulasi hasil? Lantas bagaimana cara mengembalikan kemakmuran dan kesejahteraan petani seperti yang tergambar pada suluk “gemah ripah loh jinawi”? Hingga hari ini, penelitian ndek-ndekan masih saya jalani. Terlepas nanti saya dapat menemukan jawabannya atau tidak. Sruput dulu kopimu dan mari kita telusuri bersama.
Dalam kumpulan tulisan: Daur subur, “ibaratkan tanah: yang lereng tanami padi, yang curam tanami bambu, yang gurun jadikan ladang, yang menggenang jadikan sawah, yang padat untuk perumahan, yang membukit jadikan perkuburan, yang gauang untuk kolam ikan, yang padang tempat bergembala, yang berlumpur kubangan kerbau, rawa-rawa tempat itik berenang.”
Mamangan di atas adalah ungkapan tentang pemanfaatan lahan secara efisien yang menunjukkan bahwa dalam kondisi apapun, kita diciptakan bersama potensi masing-masing dan manfaat bagi sesama. Menarik melihat ini sebagai manifestasi orang Minangkabau dulu: mengemas data yang tersedia di alam, kemudian dikelola kembali, baik secara praktik maupun sebagai ilmu pengetahuan.
Alam adalah data yang menuntut kita membaca kembali apa yang disimpannya. Orang Minangkabau zaman dahulu, sepertinya telah menyadari itu. Selain alam sebagai falsafah hidup, memanfaatkan dan mengolah hasil sumber daya alam juga merupakan profesi utama di Minangkabau yang mayoritas adalah bertani, kemudian muncul profesi-profesi lain untuk mendukung pertanian.
Pembangunan pertanian di Indonesia tetap dianggap terpenting dalam pembangunan ekonomi. Apalagi sejak sektor pertanian menjadi penyelamat perekonomian nasional. Alasannya, peranan sektor pertanian di Indonesia yang mencakup potensi sumber daya alam yang luas dan beragam menjadi pendapatan nasional yang cukup besar, serta banyaknya penduduk yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan menjadi basis pertumbuhan di pedesaan.
Agar tetap menjadi negara agraris, Indonesia haruslah menjalankan pola pertanian berkelanjutan, sehingga sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi sebutan negara agraris tidak lantas tergerus zaman. Sebagai negara agraris, pembangunan pertanian berkelanjutan menjadi keharusan, agar sumber daya alam yang ada saat ini, dapat dimanfaatkan dalam kurun waktu yang lama, karena pertanian adalah sektor vital yang mendukung kebutuhan pangan.
Seberapa besar potensi sumber daya alam yang kita miliki untuk kesejahteraan masyarakat? Letak Indonesia yang sangat strategis, berada di daerah khatulistiwa yang menjanjikan berbagai kemudahan dalam pertanian dan perkebunan. Walaupun dalam kenyataannya, pertanian dan perkebunan masih menjadi potret kemiskinan di Indonesia. Hal ini disebabkan kurangnya sentuhan inovasi, teknologi pertanian yang ramah lingkungan, serta pemerataan penguasaan lahan.
Seiring kemajuan zaman, perkerjaan petani tak lagi diminati. Media-media arus utama menggambarkan petani sebagai keluarga yang tak berdaya. Citra keluarga petani dalam sebuah sinetron seringnya tak mampu menyekolahkan anak atau ketimpangan ekonomi yang membuat mereka meratapi nasib sepanjang usia.
Lambang padi dan kapas pada Pancasila, mewakili sila ke-5 yang melambangkan kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan dan sandang. Bila menilik zaman dahulu, masyarakat pedesaan Indonesia digambarkan hidup makmur dari hasil bercocok tanam atau bertani. Penampilan atau sandangan seorang petani memang compang-camping, namun saya ragu, adakah bayangan sosok petani dalam benak saat menghirup nikmat dan wangi masakan di meja makanmu?
Sedigdaya apapun ilmu memasak, sespektakuler apapun temuan masakan, kita acapkali lupa bahwa ada andil sejumlah petani dalam hal ketersediaan bumbu-bumbu di dapur, yang kita raut satu per satu biji buah kahwa untuk tiap bulir nasi dan bumbu yang kita olah.
Begitulah gambaran kondisi ideal di negeri dongeng yang memberikan kecukupan untuk penduduknya. Kondisi ekonomi yang baik dan ditunjang oleh sumber daya alam yang subur. Para petani bergairah lantaran hasil panen yang melimpah. Para peladang dengan tekun terus bekerja karena menerima keuntungan yang layak, para nelayan gembira karena hasil tangkapannya laku keras, seluruh lapisan masyarakat makmur dan sejahtera.
Dewasa ini, kemakmuran “gemah ripah loh jinawi” bukanlah sesuatu yang kita terima begitu saja sebagai karunia Tuhan melalui ketersediaan alam, melainkan sesuatu yang harus terus kita jaga, lestarikan, dan perjuangkan bersama-sama.
- Keterangan gambar: foto utama diabadikan oleh Angga Hamzah Firdaus, Lansekap Kamojang, 2020.
Penyunting: Nadya Gadzali