Alunan gamelan mengiringi gunungan yang meliuk-liuk di tangan sang dalang. Tak ada kelir, sehingga liukan maupun warna gunungan jelas terlihat dari depan dan belakang panggung. Sosok boneka abdi perempuan muncul. Tokoh berparas cantik itu berjalan sembari melenggangkan badan sesuai irama gamelan.

Setelah beberapa gerakan, dia menyembah kemudian duduk. Anggun, kata itulah yang pantas disematkan kepadanya. Tiba-tiba irama gamelan semakin rancak ketika sosok boneka lain muncul. Berbeda dengan yang tadi, tokoh abdi perempuan yang satu ini bertubuh gempal namun gerakannya lincah. Dia berjoget ke kanan dan ke kiri. Seluruh gerakannya diramaikan dengan senggakan para sinden.

“Hak e hak e, hok ya hok ya. Hak e, hok ya, hak e, lo lo lo lo lo.”

Meriah, itulah yang pantas disematkan kepada tokoh abdi perempuan gempal ini. Dia juga menyembah kemudian duduk di belakang tokoh abdi perempuan yang pertama. Gamelan kembali mengalun pelan. Sejurus kemudian tokoh patih masuk. Tak banyak gerakan, dia hanya menyembah kemudian duduk di depan para abdi. Sang dalang pun melanjutkan dengan memunculkan sosok boneka seorang raja.

Dia berjalan sangat pelan seakan-akan memperlihatkan keagungan, kewibawaan, dan kemasyhuran dirinya maupun kerajaannya. Sang raja ditempatkan oleh sang dalang setingkat lebih tinggi daripada kedua abdi dan patih. Suara dhodhogan terdengar, menandakan agar ritme gamelan lebih pelan. Sang dalang pun mengucapkan janturan adegan jejer kedhaton.

Demikianlah adegan pertama dalam pergelaran wayang golek cepak. Kesenian yang kerap dijumpai di pantai utara Jawa, khususnya Indramayu di Jawa Barat hingga sebagian Kendal, Jawa Tengah. Diberi nama wayang golek cepak dikarenakan bagian kepala yang rata atau papak. Berbeda dengan wayang golek purwa di tataran Sunda yang memakai atribut kepala seperti wayang kulit.

Selain itu, cerita yang dimainkan dalam wayang golek cepak lebih kepada cerita-cerita bernafaskan Islam yakni cerita menak (Amir Hamzah). Namun belakangan ini banyak dalang membawakan cerita lokal misalnya penyebaran Islam oleh Walisongo. Tak jarang sang dalang juga membawakan cerita-cerita seperti asal mula suatu daerah (babad) juga cerita karangan sendiri (carangan) sesuai dengan permintaan penaggap.

Melihat dari persebaran wilayahnya, secara tidak langsung memengaruhi kekhasan gaya atau gagrak dalam pementasan. Walaupun hal tersebut tidak bisa dibakukan seperti gagrak wayang kulit, namun yang paling kentara adalah penggunaan bahasa. Misalnya saja di Indramayu, pementasan pasti menggunakan bahasa Jawa khas Indramayu atau Dermayonan. Daerah Brebes hingga Pemalang juga punya logat yang dekat dengan bahasa Jawa Tegalan. Begitu juga daerah Pekalongan sampai Kendal yang juga punya logat tersendiri.

Selain bahasa, kekhasan dalam pementasan juga tergantung pada sang dalang. Hal ini dimungkinkan karena dalang mempunyai pedoman dan kreativitas tersendiri namun tidak meninggalkan aturan pementasan wayang pada umumnya.

Tokoh-tokoh wayang golek cepak juga fleksibel. Maksudnya, bisa digunakan dalam berbagai cerita. Meskipun aslinya adalah tokoh dalam cerita Menak, tetapi dapat menjadi tokoh lain tergantung dari interpretasi sang dalang dan cerita yang dimainkan.

Kekhasan lain dari wayang golek cepak yaitu pada janturan adegan pertama atau sering disebut adegan jejeran. Sebelumnya, janturan merupakan serangkaian kalimat yang diucapkan sang dalang untuk menggambarkan suatu adegan dalam pementasan wayang. Dalam pedalangan gaya Jawa Barat, janturan jejer merupakan bagian dari murwa.

Cahya (2012) mendefinisikan murwa sebagai nyanyian dalang pada bagian awal dalam pertunjukan wayang berupa pemaparan atau gambaran keadaan kerajaan yang dijadikan jejer (babak pengadegan awal) dalam lakon. Kalimat yang diucapkan dalang dalam bagian ini masih terbilang arkais karena terdapat kosakata bahasa kawi.

Berikut adalah janturan jejer wayang golek cepak yang diambil dari rekaman pementasan Ki Rochim, salah seorang dalang dari Kabupaten Batang, Jawa Tengah:

Purwa nariti wetan gantya kidul pracima lor daksina tengah jagade wewayang. Mantra-mantra wetan angendhani jagad ingkang kilen apa anane kang dhingin sorote mega malang pinaraban candrakirana. Candra papan kirana tulis, sepah pundi papan kalawan tulis, papan sampun gumelar tulis dereng dumadi. Pramila bangkiting pujangga ingkang sekawan nyelakake marang papane kang sekawan ugi nyaketake marang tulise.

Bangkiting pujangga pungalaban mundhut pupusing gebang siwalan tunggal tineteg-teteg pinadha-padha katetesan asta gangga wira tanu. Asta tangan gangga banyu wirabangkit tanu mangsi. Katetesan sarining kalam kelawan mangsi minangka gumelaring jagad bencahing aksara, ingkang winastan eka adi dasa purwa. Eka marang sawiji adi linuwih dasa sapuluh purwa kawiwitan. Nadyan ta kathah titahing jawata kasangga ing pratiwi kaampit ing samudra kaengku lawan angkasa sami anggegana raras. (Dilanjutkan gambaran suatu kerajaan).

Jika dicermati, terdapat ungkapan asta gangga wira tanu. Apabila ditelusuri, ungkapan ini tertulis dalam salah satu karya sastra Jawa Kuna abad-15 yakni Bhima Swarga. Aditya Gunawan dalam Bhīma Svarga: teks Jawa Kuna Abad-15 dan Penurunan Naskahnya (2019) mengungkapkan bahwa teks Bhima Swarga dapat ditemukan dalam tiga tradisi, yaitu Bali, Merapi-Merbabu, dan Kabuyutan Ciburuy di Jawa Barat. Bhima Swarga menceritakan kisah Bima yang pergi ke neraka untuk menyelamatkan orang tuanya yaitu Pandu dan Madri atas permintaan ibunya, Kunti. Teks Bhīma Svarga juga berkaitan dengan pengkultusan Bhima dalam Siwa-Bhairawa.

Ungkapan asta gangga wira tanu dalam teks Bhīma Svarga terdapat pada bagian percakapan Bhīma dengan Guru mengenai asal-usul pustaka sebagai berikut:

[Bhīma:] guru mәne dak atakon iri kita, paran rika kamūlaniṅ pustaka hirәṅ iku, mantaṅen sinaṅguh lәvih, paran kaṅ ginave.

[Guru:] Bhīma dak varah ta kita, mūlaniṅ pustaka hirәṅ, roniṅ gәbaṅ, pinukah pinaḍa-paḍa lvane lavan davane, tinitisan gaṅgā vīra tanu, gaṅgā riṅ bañu, vīrariṅ panuli, tanu riṅ maṅsi.

Terjemahan:

[Bhīma:] Ada lagi, Guru. Aku hendak bertanya padamu. Bagaimana permulaan pustaka itu menjadi hitam, sehingga disebut unggul, bagaimana dibuatnya?

[Guru:] Aku hendak berkata padamu, Bhīma. Permulaan pustaka menjadi hitam. Daun gebang, dipotong secara sama ukuran panjang dan lebarnya, [kemudian] dititiskan kehidupan oleh gaṅgā, vīra dan tanu. Gaṅgā adalah air, vīrapena, tanu tinta. (Gunawan, 2019:63-64).

Lebih lajut, Aditia Gunawan menyebut bahwa ungkapan asta gangga wira tanu juga tertulis dalam teks Sang Hyang Sasana Mahaguru, sebuah teks Sunda Kuna abad ke-16 yang berisikan pengetahuan keagamaan Sunda Kuna. Ungkapan tersebut berada di lempir 6 recto (halaman muka) sebagai berikut:

matemahan ta ya gәbaṅ lawan lawatar, tipuk diwasa pupus gәbaṅ lavan lvantar, tinut pinada-pada, lvane lavan davane, tinitisan asta gaṅga vira tanu, apa ta sinaṅguh asta gaṅga vira tanu, asta ṅaraniṅ taṅan, gaṅga ṅaraniṅ bañu, vira ta ṅaraniṅ panurat lavan panuli, tanu ṅaraniṅ maṅsi.

Terjemahan:

menjadikan gebang dan lontar, menjadikan tiba waktu pupus, gebang dan lontar. Turut menyamai, waktu singkat dan waktu yang panjang, titisan asta gangga wira tanu. Apakah yang dimaksud asta gangga wira tanu itu? Asta berarti tangan, ganggaberarti air, wira berarti pena dan kuas, tanu berarti tinta. (Gunawan, 2009:29).

Ungkapan asta gangga wira tanu yang berkaitan mengenai asal-usul pustaka dengan penempatan dalam janturan jejer wayang golek cepak menandakan keduanya sangat berkaitan. Mengingat janturan jejer merupakan bagian awal sebuah cerita dan pementasan wayang golek cepak, bisa diibaratkan sang dalang sedang merangkai pustaka yang berisi cerita. Maka ungkapan asta gangga wira tanu memang tepat jika ditempatkan dalam janturan jejer, terlebih lagi sebelum gambaran mengenai suatu kerajaan.

Dari teks Bhīma Svarga maupun janturan jejer, pengartian ungkapan asta gangga wira tanu bisa dibilang tidak jauh berbeda. Walaupun Ki Rochim mengartikan wira sebagai bangkit yang berarti pintar, pandai, cerdik, dan unggul. Pengartian tersebut kiranya perlu diteliti lebih lanjut, mengingat setiap dalang wayang golek cepak mengartikan secara berbeda. Misalnya dalang asal Tegal yakni almarhum Ki Sudirman dari Tegal mengartikan wira sebagai papan. Sedangkan Ki Warsad, dalang asal Indramayu mengartikan wira sebagai penulis yang mana pengartian tersebut sama dengan wira dalam teks Bhima Svarga maupun Sang Hyang Sasana Mahaguru.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu unsur dari wayang golek cepak yakni janturan jejer memiliki mata rantai hingga abad 15. Meskipun cerita yang dibawakan dewasa ini lebih kepada cerita Islam, namun unsur pra-Islam masih dipertahankan. Walaupun kesenian ini juga ditemukan di Jawa Tengah, tetapi masih ternyata ada kaitannya dengan kebudayaan di Jawa Barat. Oleh karena itu, wayang golek cepak menjadi salah satu wujud nyata dari koneksi dan keharmonisan budaya di Nusantara yakni Sunda dengan Jawa serta Islam dan pra-Islam.

Penyunting: Nadya Gadzali