Etnis.id - Cinta yang tak direstui banyak terjadi dan akhirnya membuat insan saling meninggalkan. Konsep tersebut berbeda dengan tradisi kawin colong suku Osing di Banyuwangi.
Istilah kawin colong diambil dari bahasa Jawa, yakni kawin dan colong. Kawin berarti pernikahan, sedangkan colong berarti mencuri. Kawin colong adalah melarikan perempuan yang dicintai oleh kekasihnya tanpa diketahui oleh pihak orang tua perempuan. Perempuan itu dilarikan ke rumah orang tua pihak laki-laki setelah pihak orang tua perempuan tidak merestui hubungan mereka.
Bagi masyarakat Osing, kawin colong bukan termasuk tindakan yang tercela. Tradisi ini dianggap bukanlah kategori mencuri, karena pelarian dilakukan atas dasar kesepakatan si perempuan dan si laki-laki yang sama-sama dimabuk asmara.
Setelah si perempuan berada di rumah orang tua si laki-laki, pihak orang tua si laki-laki mengutus colok (penengah antara pihak laki-laki dan perempuan) untuk menemui orang tua si perempuan dan menjelaskan duduk perkara dengan komunikasi yang sangat baik.
Pihak orang tua si perempuan (mau atau tidak mau) harus memaklumi dan merestui, sebagai bentuk sikap patuh terhadap hukum adat. Kini, tradisi ini terus dijaga kelestariannya oleh masyarakat Osing. Hal ini dibuktikan dengan penampilan tradisi kawin colong dalam bentuk pentas seni budaya di Gedung Gazebu Banyuwangi pada tanggal 26 Mei 2012.
Ramdan Wagianto dalam penelitiannya lewat Jurnal Al-Ahwal (Vol. 10, No.1) pada Juni 2017 tentang tradisi kawin colong, bahkan menjelaskan bahwa terdapat empat faktor seorang laki-laki kawin colong.
Pertama yakni hubungan tidak disetujui oleh orang tua dari pihak perempuan. Cinta yang teramat besar membuat si laki-laki sedikit egois dengan perasaanya, sehingga rela melakukan apapun demi bersatu dengan pujaan hatinya.
Kedua adalah nyepetaken lakon (mempercepat pernikahan). Hal ini dapat dilatarbelakangi oleh beberapa hal misal perzinahan atau hamil di luar nikah dan karena gunjingan tetangga yang membuat panas telinga. Intensitas boncengan berdua ke sana-ke mari yang tinggi, membuat tetangga mencibir tanpa akhir.
Ketiga yaitu takut lamaran ditolak. Rasa takut muncul karena si perempuan telah dijodohkan secara paksa oleh orang tuanya dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Daripada mengalami penolakan, mending langsung dilarikan. Faktor materi juga bisa menjadi pemicu rasa takut. Ketiadaan biaya untuk serba-serbi lamaran membuat laki-laki memilih kawin colong.
Keempat itu perbedaan status sosial. Pandangan tentang perempuan terpandang harus bersanding dengan lelaki yang terpandang, sering membuat lelaki minder ketika hendak mengungkapkan keseriusan kepada perempuan yang dicintainya sebab perbedaan status sosial.
Nadzifah dalam penelitiannya tentang tradisi pra Perkawinan masyarakat Osing di Desa Kemiren lewat Jurnal Al-Hukama (Vol. 06, No. 01) pada Juni 2016, menyebutkan faktor-faktor lain yang berbeda dengan faktor yang telah dijelaskan oleh Ramdan Wagianto.
Menurut Nadzifah, lelaki memutuskan melakukan colongan disebabkan oleh istilah perawan kasep dan makna colongan bagi laki-laki Osing. Perempuan Osing yang telah berusia 19 hingga 20 tahun dan belum menikah, sering disebut masyarakat sebagai perawan kasep (perawan yang tidak laku). Kondisi seperti itu yang membuat mereka rentan pasrah jika ada lelaki yang ingin nyolong.
Jika perempuan disebut perawan kasep, lain halnya dengan laki-laki. Para lelaki Osing yang melakukan tradisi colongan dianggap sebagai lelaki sejati. Hal ini disebabkan oleh colongan adalah lambang kejantanan dan keberanian, sehingga lelaki yang berani melarikan perempuan telah berhasil membuktikan kejantanannya.
Tahapan Kawin Colong
Tradisi kawin colong tidak dapat dimaknai persis dengan kawin lari. Sebab kawin colong memiliki tahapan-tahapan yang jelas dan sistematis. Berikut urutannya.
- Bakalan. Hal pertama yang harus dilakukan sebelum kawin colong adalah masa saling jatuh cinta antara si lelaki dan si perempuan. Ternyata, rasa dan restu tidak berbanding lurus. Akhirnya dua belah pihak telah bersepakat akan melaksanakan kawin colong.
- Aksi kawin colong. Atas kerelaan dua belah pihak, aksi pelarian mulai dijalankan. Aksi ini dilakukan mulai pukul 20.00 hingga 22.00 waktu setempat. penyusunan rencana yang tepat akan memberikan hasil yang maksimal. Pada bagian ini, si lelaki membawa si perempuan menuju rumah orang tua si lelaki. Di rumah, pihak orang tua lelaki telah menunggu dan bersiap-siap.
- Ngutus colok atau obor. Setelah si perempuan sudah sampai di rumah orang tua si lelaki. Dalam waktu 1x24 jam, mereka akan segera mengirim seorang utusan kepada orang tua si perempuan yang disebut colok atau obor. Istilah colok atau obor digunakan untuk menganalogikan kondisi saat itu. Orang tua pihak si perempuan dianalogikan sebagai kegelapan, karena sedang dalam kondisi kebingungan sebab kehilangan anak gadisnya. Satu-satunya cara untuk menghilangkan kegelapan adalah menghadirkan penerangan, yakni obor atau mediator yang mempunyai kemampuan negosiasi yang baik, sehingga mampu meluluhkan hati orang tua dari pihak perempuan. Colok biasanya orang terdekat keluarga atau sesepuh desa. Selain meluluhkan hati, colok juga akan membicarakan mengenai akad nikah dan resepsi pernikahan.
- Ngempotaken. Sebelum resepsi pernikahan, si lelaki dan si perempuan tidak boleh bepergian sendiri. Hal ini dilakukan karena kekhawatiran atas hal-hal yang tidak diinginkan.
- Munggah kawin. Tahapan ini adalah akad nikah yang dihadiri oleh keluarga pihak laki-laki dan perempuan seperti pada umumnya. Waktu pelaksanaan juga bebas, bisa pagi, siang, sore, atau malam.
- Surup. Proses iring-iringan sebelum naik ke atas kuade. Dua pasangan mempelai yang berbahagia dinaikkan di atas kereta kencana dengan disertai arak-arakan.
- Neng kuade. Tahapan ini lazim disebut sebagai resepsi pernikahan. Pasangan suami-istri berada di atas kuade dan dihiasi dengan baju yang indah dan riasan yang mempesona.
- Selametan. Acara tasyakuran sebagai wujud ungkapan syukur karena putra/putrinya telah diikat dengan ikatan suci. Dilaksanakan dua kali, yakni lima hari setelah resepsi (spasar) dan 44 hari setelah resepsi (selapan). Makanan yang disajikan ketika selametan adalah ketupat lepet dan jenang merah.
- Unjung-unjung. Pasangan suami-istri berkunjung ke rumah sanak saudara untuk memperkenalkan diri tambahan anggota baru, lalu sanak saudara akan memberikan oleh-oleh seperti alat masak, perlengkapan dapur atau perlengkapan tidur.
- Boyongan. Proses terakhir dari kawin colong adalah pengambilan keputusan tentang tempat pasangan suami-istri akan menetap atau tinggal (omah-omah). Terlepas dari sisi negatif dan positifnya, tradisi tetaplah tradisi. Tradisi sebagai kebudayaan adalah jawaban atas segala permasalahan hidup dengan cara yang berbasis Nusantara.