Setiap tanggal 21 April, rakyat Indonesia memperingati hari Kartini. Seorang perempuan yang membuka keran emansipasi di negeri ini. Kartini kini telah tiada, namun namanya tidak akan pernah lekang. Ia mewujud menjadi sebuah ide yang kekal. Semangat hidup, kekuatan, serta inspirasi melebur ke dalam sosok Kartini.

Penghormatan senantiasa disematkan untuk mengenangnya. Melalui peringatan Hari Kartini di tanggal 21 April, kebaya dan sanggul akrab ditemui, menjadi sebuah cara yang ideal untuk menyatakan penghormatan kepada Kartini.

Kartini sudah banyak dikisahkan. Ia seringkali dikaitkan dengan kisah perempuan, kebaya, sanggul, emansipasi, dan lain sebagainya. Terlepas dari kisah-kisah itu, kisah lain tentang Kartini layak untuk terus dikenang. Salah satunya ialah katarsisnya bersama bunyi gamelan. Kisah itu dapat dibaca melalui surat-surat yang ia tuliskan untuk rekannya di Belanda.

Kartini dan Bunyi Gamelan

Dahulu, orang yang memiliki gamelan maupun pendopo dapat dikatakan sebagai orang terpandang. Ia berada dalam kasta sosial yang tinggi. Apabila bukan golongan bangsawan, biasanya seorang priyayi. Begitupun bagi seorang Kartini. Gelar “Raden Ajeng” yang disandangnya mempertegas kedudukannya sebagai golongan terpandang di masa lampau. Atas dasar itu, lumrah jika Kartini diasosiasikan dengan kumandang bunyi gamelan. Hal ini dapat dibaca dari surat yang ia kirimkan kepada Estelle Zeehandelaar pada 12 Januari 1900 yang berbunyi:

“Gamelan kaca di pendopo lebih tahu akan hal itu. Gamelan itu melagukan lagu kami bertiga. Bukan nyanyian, bukan lagu sebenarnya, hanyalah bunyi dan suara, amat lemah lembutnya, tiada tetap, bergetar tiada berketentuan beterbangan, tetapi alangkah rawannya hati, alangkah indahnya!” (Armijn, 2009:33).

Gamelan acapkali dinisbat sebagai entitas yang adiluhung. Para pengrawit senantiasa berikhtiar untuk tetap menjaga nilai adiluhung itu. Hal tersebut dinyatakan ke dalam gendhing-gendhing yang ditabuh para pengrawit. Dalam suratnya, Kartini membaca jengkal kumandang bunyi gamelan. Ia mengejawantahkannya menjadi sebuah ungkapan sastrawi. Alunan pelan dan sayu yang terdengar dari gamelan, mengantarkan pada kelembutan. Gaung gong yang menggelegar, membumbung dan menggetarkan sukma.

Keseluruhan bunyi gamelan mencipta sebuah estetika yang nikmat untuk disimak dan dirasa. Kartini membacanya dengan bernas yang ia tegaskan melalui lanjutan surat yang ia kirim,

“Bukan, bukan suara kaca, tembaga, kayu yang naik ke udara, melainkan suara yang ke luar dari sukma manusia, meresap ke dalam hati, kadang-kadang keluh kesah, sebentar lagi meratap menangis, sekali-kali gelak tawa. Dan suksma sayapun terlayang-layang dibawa suara lemah lembut bersih itu, naik ke atas, ke dalam udara tipis biru itu, ke awan kapas, ke bintang di langit yang bersinar-sinar: suara lembabpun naiklah, dan suara itu membimbing aku melalui lembah gelap, jurang dalam, melalui hutan rimba semak belukar yang tiada terlalui! Dan suksmaku gemetar, mengerucut karena takut, karena pedih dan sedih!” (Armijn, 2009:33)

Kartini mengguratkan imajinasinya ihwal bunyi melalui surat-suratnya. Ia mampu menembus gerbang transedental. Sebuah gerbang yang menandai keadiluhungan itu. Sebuah ruang yang senantiasa dijaga oleh para pengrawit dalam gendhing-gendhing yang dilantunkan. Kartini mengejawantahkan bunyi melampaui kodratnya. Ia memandang bahwa bunyi ialah bisikan yang menembus, meluluhlantakan, bahkan menggetarkan jiwa dalam lorong yang gelap.

Sejauh ini, belum diketahui ihwal sepak terjang Kartini sebagai pengrawit, musisi gamelan, ataupun empu dalam gamelan. Hal yang tampak ialah ia seorang penikmat gamelan. Kendati begitu, Kartini mampu membaca setiap jengkal gaung gamelan. Untaian kata dalam suratnya terasa begitu dekat dengan kumandang bunyi gamelan. Ia seperti berada dalam garis transisi antara luar dan dalam.

Luar mengartikan penikmat dan dalam mengartikan pemain atau pengrawit. Menariknya, posisi itu dilakoni oleh insan yang seringkali disematkan sebagai kaum yang tersudutkan dan termarjinalkan pada waktu itu, yakni perempuan.

Saya teringat kisah-kisah pengrawit yang melakoni lelaku untuk menggubah sebuah gendhing gamelan. Dalam lelaku itu, mereka seringkali bertapa, menyepi, meditasi, bahkan menyiksa tubuhnya. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan semacam wahyu keilahian. Harapnya, gendhing yang akan dilahirkan mempunyai kekuatan tertentu.

Barangkali, Kartini juga melakoni lelaku tersebut. Dalam keterpurukannya sebagai perempuan di kala itu, ia lebih mampu merasuk ke dalam bunyi gamelan dibandingkan kaum lelaki. Ia mampu menangkap maksud atau bahkan kekuatan dari gendhing gamelan yang diguratkan oleh pengrawit. Dengan begitu, Kartini mampu membaca denyut bunyi gamelan secara terperinci, meskipun ia tidak berada di dalamnya—bahkan di sudut yang tak bercahaya waktu itu.

Gendhing Ginonjing dan Kisah Pilu

Kartini dan bunyi gamelan bukan hanya dekat, melainkan juga pekat. Kepekatan ini dapat disaksikan dengan adanya gendhing yang digandrunginya, yakni Gendhing Ginonjing (Handayani, 2018). Sebuah gendhing ladrang yang dimainkan dengan laras slendro manyura. Kegandrungannya ini diungkapkan dalam surat yang ia kirim kepada Nyonya Abendanon pada 12 Desember 1902,

“Sudah ribuan kali kudengar lagu “Ginonjing”, tetapi tiada satu bunyi, satu suarapun yang lebat dalam ingatanku. (Armijn, 2009:33)

Gandrungnya Kartini dengan Gendhing Ginonjing tidak lepas dari sosok ibunya. Kala Kartini hendak tidur, ginonjing senantiasa dilantunkan oleh ibunya. Timangan, pelukan hangat, serta suara sayu dari ibunya itu mengantarkannya ke dalam gerbang mimpi. Bunyi, kata, makna, serta asa yang terangkum dari ginonjing membuntuti Kartini di dalam ruang mimpinya. Ginonjing terekam bahkan terpatri di dalam memori Kartini. Ginonjing bukan hanya sederet bunyi. Ia merangkum kenangan-kenangan yang didera Kartini. Bahkan, ginonjing merangkum kisah pilu Kartini waktu itu. Kisah itu dapat dibaca dari surat yang ditulisnya,

“Aku tiada hendak mendengarkan lagu yang menyayukan hati itu, tetapi mesti, mesti juga aku mendengarkan suara lemah lembut itu, itu mengisahkan kepadaku masa yang silam, masa yang di hadapan; dan napas bunyi terang benderang bergetar itu, adalah seolah-olah mengembuskan selubung yang menyelubungi rahasia-rahasia yang akan datang, dan terang nyata senyata hari ini. Lukisan mata yang datang lalu melintasi mata semangatku. Gemetar tubuhku, melihat masa yang di hadapanku itu, gambaran yang muram-muram naik. Aku tiada hendak melihat, tetapi mataku tinggal terbeliak juga, dan pada kakiku ternganga jurang yang dalam sedalam-dalamnya, tetapi bila aku menegadah, melengkunglah langit yang hijau terang cuaca di atasku dan sinar matahari keemasan bercumbu-cumbu, bersendau gurau dengan awan putih bagai kapas itu; maka dalam hatiku terbitlah cahaya terang kembali.” (Armijn, 2009:33).

Kartini mengejawantahkan ginonjing dengan begitu muram. Kemuraman seorang perempuan yang terkungkung di sudut yang gelap. Kungkungan yang mematahkan tentang asa, impian, juga kenyataan dari kaum perempuan masa itu. Masa lalu, waktu itu, serta masa yang akan datang menjadi sebuah suratan yang pasti: perempuan akan senantiasa terkungkung di sudut yang gelap.

Budaya patriarki begitu membelenggu, menjerat bahkan hingga ke relung. Tiada upaya yang dapat dilakukan oleh kaum perempuan waktu itu. Menatap ke belakang, kiri, kanan, bahkan ke depan, jawabannya ialah kegelapan bagi kaum perempuan. Namun, Kartini tidak memilih ke empat tatapan itu. Ia menatap ke atas, pada cahaya dan binar-binar yang terang. Ia mampu merasakan sebuah keleluasaan dan pembebasan. Rasa itu laksana sebuah wahyu ilahiah yang menenangkan dan mendamaikan. Ia mengungkapkan dengan lugas, bahwa hatinya kembali terbit dengan terang.

Ginonjing ibarat juru bicara bagi Kartini. Ginonjing seolah-olah menjadi wakil yang mampu meluapkan perasaan pilu yang dideranya. Sejak kecil, Kartini terbiasa dengan bunyi ginonjing. Alhasil, kala ia besar terdapat rangkuman kenangan yang terkandung di dalam ginonjing. Ginonjing menjadi karya yang monumental bagi Kartini. Ia menyimpan berbagai suratan kisahnya. Bahkan, ginonjing menjadi identik dengan Kartini dan gerakan emansipasinya.

*ilustrasi (foto utama): koleksi Tropen Museum

Penyunting: Nadya Gadzali