Berbicara festival hari ini, tidak lagi hanya persoalan karya dan panggung proscenium yang dikemas sedemikian indah dan mewah. Belakangan kita melihat bahwa banyak sekali festival yang tumbuh serta beradaptasi pada bentuk-bentuk dengan pendekatan multidisiplin dalam satu event.

Kita akan menemukan beragam bentuk pertunjukan maupun karya, tak jarang bahkan pertunjukan yang sifatnya partisipatoris turut digadang sebagai suatu cara untuk membangun koneksi dengan melibatkan penonton. Seni dibuat lebih fleksibel untuk menjangkau berbagai kalangan. Menghilangkan sekat sosial, ras hingga ramah gender.

Konsep outdoor, membaur bersama warga setempat, memanfaatkan apa yang ada di lingkungan adalah suatu cara bagaimana seni hari ini dibuat sangat fluid. Tidak hanya sebagai tontonan tapi juga menjadi bagian dari aktivitas sosial. Sebagai sebuah ekosistem, festival tidak lagi mengedepankan visual tapi sejauh mana kebermanfaatan dan keberlanjutan setelah festival usai.

Ekologi hingga topografi nampaknya menjadi isu hangat yang dibicarakan di beberapa festival saat ini. Seperti yang terjadi Desember, 2023, Babad Lembana kembali hadir di Madura selama 6 hari. Diinisiasi oleh Lembana Agroecosystem sejak 2021, Lembana sebagai nama daerah justru tidak tercantum secara administrasi desa. Nama ini muncul dari warga sekitar untuk menamai kawasan di sekitar masjid yang ada di daerah ini (Sumenep).

Jika dilihat memang wilayah ini ditandai dengan salah satu masjid dan satu rumah yang terletak di antara sawah dengan tebing di seberang jalan, dimana masyarakat sekitar percaya bahwa kuburan yang terletak di atas tebing merupakan penduduk lama wilayah tersebut.

Babad diartikan sebagai penulisan dan Lembana yang merupakan nama daerah dimana komunitas ini berdiri menjadi salah satu cara untuk mencatat atau menelusuri apa yang terjadi di masa sejarah maupun yang terjadi hari ini tentang wilayah Lembana, dengan beragam cara, bentuk dan pendekatan.

Babad lembana dikerjakan secara sukarela oleh ketiga orang sebagai penggeraknya yaitu Shohifur Ridho’I, Fikril Akbar, dan Syamsul Arifin dengan prinsip gotong royong. Dengan visi misinya sebagai sebuah ruang sosial yang meminjam format mini festival multidisiplin dengan beberapa kegiatan seperti pameran, pertunjukan, ceramah seni, pemutaran film, dan tur wilayah.

Dalam pelaksanaan festival, seniman yang datang justru tidak hanya pelaku seni yang ada di Madura. Belakangan para pengisinya justru banyak yang berasal dari luar daerah. Relasi pertemanan ketiga inisiator, turut menjadi strategi bagaimana Babad Lembana menjadi daya tarik dan mampu menarik keterlibatan pelaku seni dari luar wilayah Madura. Tidak hanya para pengisi bahkan penontonnya pun sebagian besar justru datang dari luar Jawa Timur.

Meski demikian, karya-karya yang hadir tentu menjadi sangat adaptif mengikuti topografi daerah Lembana. Seperti halnya pada beberapa karya pameran yang dipasang di antara tebing, sawah, pohon, kuburan, masjid hingga ruang tamu. Jika biasanya karya-karya pameran akan terasa sangat eksklusif dan pengunjung dilarang menyentuhnya, tidak demikian di sini.

Pengunjung dengan sangat bebas dapat melihat karya lebih dekat, menyentuh, dan merasakan tiap detail material yang digunakan. Sepertinya panitia dengan sadar menjadikan interaksi sebagai salah satu cara agar karya terasa kehadirannya, tidak hanya sekedar ada. Menghilangkan asumsi bahwa seni hanya sebatas pajangan dan dekoratif. Strata sosial tidak berlaku di ruang ini.

Panitia dengan sangat terbuka bersedia menemani para pengunjung berkeliling meski permintaan itu di luar jadwal tur pameran. Cara mereka menjelaskan justru diolah dengan bahasa yang jauh lebih santai, penuh dengan celotehan tanpa kehilangan makna.

Para pengisi pertunjukan yang tinggal di sekitar Lembana biasanya datang di sore hari tanpa menginap di lokasi. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah/pesantren yang ada disekitar Lembana. Sedangkan untuk para pengisi dari luar Madura akan ditempatkan di rumah-rumah warga. Hal menarik lainnya adalah penonton yang hadir kebanyakan adalah warga sekitar, dengan beragam background keseharian seperti petani dan nelayan. Sementara penonton yang masih muda dapat diidentifikasi bahwa mereka adalah pelajar yang masih menempuh pendidikan di pesantren.

Salah satu pertunjukan dalam gelalran Babad Lembana/Ela Mutiara

Meski setiap malam hanya menampilkan dua pertunjukan (teater, tari maupun film) namun, penonton yang cenderung bertahan lama hingga diskusi pasca pertunjukan adalah para penonton dari kalangan ibu-ibu dan bapak-bapak yang berusia cukup tua. Dalam pandangan saya, ini adalah cara bagaimana mereka menghargai para pengisi yang datang. Meski tidak pernah bertanya namun seringkali celotehan-celotehan kecil terdengar manakala pertunjukan berlangsung. Mereka terlihat duduk dengan santai, bersandar ke tembok sambil menikmati kopi yang disediakan panitia.

Tergambar dengan jelas bagaimana keramaian menjadi penghilang penat dari kesibukan siang hari. Sarung nampaknya menjadi pakaian wajib bagi warga Lembana, tidak mengenal usia, ras, dan gender. Kita akan sangat mudah menemukan penduduk asli atau bukan hanya dengan melihat pakaian yang dikenakan.

Jika di malam hari mereka menonton pertunjukan, di siang hari aktivitas pertanian yang mereka lakukan justru menjadi tontonan bagi para pelaku seni yang datang dari luar Madura. Dari sini bisa dipastikan bahwa ketika datang ke Babad Lembana, pengunjung tidak hanya sekedar menghadiri festival tetapi juga melihat keseharian masyarakat Lembana. Tampaknya ini menjadi semacam laboratorium gerak yang terus tumbuh, dimana kehidupan sosial dan panggung saling berdampingan. Boleh jadi, kitalah (pelaku) yang belajar kepada masyarakat.

Seni untuk kehidupan atau kehidupan untuk seni? Relasi keduanya tentu tidak dapat dipisahkan, bahwa apa yang kita yakini saat ini sebagai sebuah “seni” adalah produk dari aktivitas masyarakat yang telah diyakini, dirawat, dan terus diadaptasi dalam perubahan zaman. Pendekatan melalui festival adalah sebuah cara untuk membangun kesadaran bahwa hidup dan seni tidak berdiri sendiri, keduanya saling memengaruhi.

Festival Lembana menjadi strategi politik untuk membuka peluang yang lebih besar. Gaungnya di sosial media dan melalui relasi pertemanan mampu mendatangkan para pengisi dari luar Madura yang secara tidak langsung menyentil para pelaku seni di Madura itu sendiri. Tentu, sebagai warga lokal hal ini akan menjadi sebuah prestise, ajang unjuk kebolehan di kampung sendiri.

Dalam beberapa tahun ke depan, Lembana barangkali bukan lagi milik tiga orang penggeraknya, melainkan milik masyarakat Lembana. Tidak menutup kemungkinan beregenerasi dan menjadi ikon Lembana.

Seni tidak melulu bersifat adiluhung. Melalui kehidupan masyarakatnya, Babad Lembana menjadi penanda bahwa produksi pengetahuan sedang berlangsung dan sejarah sedang dibangun di wilayah ini. Bukankah bekerja sebagai petani ataupun nelayan juga butuh keterampilan, perasaan, insting, dan logika? Jika seniman bekerja di dalam studio, maka alamlah studio para warga Lembana.

‌Penyunting: Nadya Gadzali