Pengaruh Islam yang ditanamkan oleh para wali di tanah Jawa memang begitu mengesankan dan meresap ke setiap aspek kehidupan masyarakat Jawa tempo dulu hingga sekarang, bahkan mampu menggeser norma yang ada hingga berubah menjadi nilai yang bercorak keislaman.
Kesenian tradisional menjadi salah satu aspek yang dijadikan instrumen dakwah oleh para wali sebagai upaya penyebaran agama Islam di Jawa.
Bukan sebuah dongeng belaka, Sunan Kalijaga pernah merombak struktur pertunjukan wayang kulit purwa untuk menyiarkan ajaran Islam.
Seni menjadi pintu masuk penyebaran agama Islam, sehingga mulai banyak masyarakat yang memeluk Islam lantaran terpikat dengan pertunjukan wayang yang menampilkan lakon tentang hal ini.
Wayang tetap lestari, bahkan memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri. Perombakan aspek kesenian tradisi sudah bukan menjadi hal yang biasa, dan tentu mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan.
Saat ini bukan waktu yang tepat untuk memperdebatkan sebuah pembaruan yang membawa kemajuan, dengan catatan pembaruan tersebut berlandaskan pada ketentuan baku atau pakem yang sudah ada sejak dulu.
Nilai dan guna menjadi dua hal yang berdampingan namun saling membelakangi. Dua hal yang seringkali dihubungkan tetapi kerap dipertentangkan.
Akhirnya, "guna" menggeser "nilai" dan nilai tiba-tiba berada di belakang. Kemudian muncul istilah pergeseran nilai, seluruh entitas bergeser secara nilai dan memenuhi aspek lain yang dianggap lebih menguntungkan, sedangkan dalam setiap nilai terkandung sebuah sisi lain yang terhubung dengan kehidupan sosial masyarakat setempat.
Seni tradisi di Indonesia selalu memiliki sisi lain yang perlu diinterpretasi dalam penyajiannya. Sisi lain itu dapat berupa mitos, legenda, cerita rakyat, kepercayaan, simbol, dan lain sebagainya. Hal itu berkaitan dengan konsensus yang sengaja ditanamkan oleh para leluhur atau sekedar keseragaman anggapan pada masyarakatnya.
Meringkas sajian pertunjukan wayang golek purwa Sunda, strukturnya yang kompleks dan saling bertautan menjadikan sisi interpretasi yang cukup luas dan bercabang. Namun pada dasarnya, sajian wayang selalu menghadirkan makna sejati dari sebuah kehidupan, siklus hidup manusia digambarkan dengan berbagai penanda bahwa hidup bukan hanya sekedar kehidupan.
Spekulasi dan interpretasi tidak dibatasi pada sebuah hasil yang buntu. Interpretasi akan lebih menarik jika yang buntu dibiarkan tak berujung, bercabang menjadi berbagai pemikiran, yang menjadikan penanda semakin berwarna dan semakin membingungkan. Sebab makna bukan sekedar arti, tetapi juga sebuah keyakinan dan pemahaman yang lebih adil dalam membaca sebuah penanda.
Sebuah wayang kayu yang disebut sebagai maktal tidak merujuk pada sebuah nama. Tokoh ini juga bukan tokoh yang sama dengan putra ke-20 Prabu Watugunung dari kerajaan Gilingwesi. Penyebutan maktal hanya terdapat pada wayang golek saja. Digambarkan sebagai seorang pria berbusana seperti menak (priyayi) Priangan lengkap dengan bendo, beskap, dan sinjang.
Selain istilah maktal, ditemukan juga istilah "sri panggung" untuk menyebut wayang ini, walaupun berdasarkan riset, maktal atau sri panggung memiliki nama Citrasena.
Fenomena menarik dari sebuah maktal adalah kehadirannya dalam setiap pagelaran wayang golek. Maktal selalu dibawakan di awal pertunjukan, memiliki iringan gending dan pola tarian tersendiri. Maktal hadir di awal pertunjukan tetapi tidak memiliki peran sentral dalam lakon manapun. Tugasnya hanya menampilkan tarian berpola yang disebut dengan tari keurseus. Berdandan layaknya bangsawan Sunda pada zamannya.
Merujuk pada istilah "sri panggung", dasar dari penamaan ini bisa dikaitkan pada begitu menawannya tarian yang disajikan oleh maktal. Gawil merupakan sebuah lagu sekaligus tarian yang menurut sumber merupakan pola tari untuk wayang maktal pada saat pertama kali diciptakan, sekitar tahun 1960-an oleh Ki Dalang Dede Amung Sutarya (Alm), (wawancara Cahya Hedi, 2020).
Walaupun kini, maktal dapat ditampilkan dengan lagu lain sesuai dengan kreatifitas para dalang. Melihat pada kasus ini, istilah "sri panggung" dapat berarti sajian pemanis sebuah pergelaran. Pasalnya, tarian maktal mengharuskan seorang dalang untuk bisa mengadaptasi dengan pola rumpun tarian keurseus yang disajikan oleh manusia ke dalam medium wayang kayu.
Setidaknya, terdapat 24 jenis pola tari keurseus yang ada pada tarian wayang maktal ini, di antaranya: geser, trisi, naekeun, keupat 1, calik ningkat, adeg-adeg, sejak peralihan, gedut, mincid, sejak laras, sekar tiba, keupat 3, tindak tilu, engke gigir, santana, raras, ombak banyu, bata rubuh, renyuan, sejak raras randegan, barongsayan, hayam wuruk, gilek sembah 2, dan geser peralihan (Alamsyah Nurdjaman, 2020).
Tentu saja hal ini menuntut seorang dalang untuk menguasai sabet yang mumpuni ketika menarikan wayang maktal, sehingga sebagai sajian pembuka dalam pergelaran, dalang dapat menjadikan skill sabet maktal untuk mendapatkan perhatian dan pujian yang lebih dari semua audiens yang hadir. Sehingga, istilah pemanis sajian atau nyari sebagai salah satu aturan pedalangan Sunda dalam sebuah pergelaran wayang dapat diwujudkan.
Merujuk pada rumpun tarian yang disajikan, sebuah konsensus mengenai maktal pun bermunculan, yang paling sering terdengar adalah maktal sebagai seorang abdi keraton. Hal ini didasari oleh gerak tari yang disajikan berdasar pada catatan sejarah bahwa Menak Priangan senang menarikan tari-tarian rumpun keurseus, salah satunya adalah tari lenyepan (Lubis, 2012).
Atas dasar itu, tidaklah mengherankan apabila kehadiran wayang maktal pada pertunjukan wayang golek terbatas pada awal pertunjukan dan hanya menampilkan sebuah tarian layaknya seorang penari di sebuah keraton, hadir dan bertugas untuk menyajikan tarian penghibur bagi raja.
Namun begitu, menelisik nilai yang lebih dalam dari sebuah maktal akan menghasilkan makna luas dan lebih pantas daripada sekadar abdi keraton. Perlu diketahui bahwa sebelum maktal dibuat, tokoh yang memiliki peranan penting adalah wayang perempuan yang disebut emban, digambarkan berperawakan seorang wanita Sunda, bersanggul dan berkebaya.
Hadir di awal pertunjukan sebagai gambaran dari sebuah konsep kelahiran, karena secara filosofis, pergelaran wayang golek memiliki tiga konsep nilai kehidupan, yaitu ada – tiada – ada. Konsep ada dimaknai sebagai proses kelahiran, manusia lahir ke dunia dari seorang perempuan, maka dari itu pendekatan ini disandingkan pada wayang emban yang dikatakan sebagai penolong kelahiran manusia.
Namun kemudian, entah berurusan dengan pemahaman gender atau bukan, wayang emban tergeser oleh wayang maktal yang notabene merupakan seorang pria. Hal ini dianggap lebih maskulin bagi dalang ketika menyajikan tarian maktal daripada emban.
Sejatinya, sebuah pemaknaan tentang nilai selalu didasari pada sebuah kepercayaan. Individu sebagai seorang interpretan berhak menentukan jalan pemahamannya terkait objek yang berdasar pada tingkat keilmuan yang dimilikinya.
Konsensus makna mengenai maktal pun ditemukan di dalam berbagai pemahaman, salah satu yang menarik adalah maktal sebagai wujud Adam sang manusia pertama.
Dasar dari pemaknaan ini ialah konteks sajiannya yang berada di awal pertunjukan, maktal disebut sebagai manusia pertama di dunia yang melahirkan manusia-manusia selanjutnya yang diimplementasikan pada tokoh-tokoh pewayangan, begitupun dengan cerita Adam A.S.
Ketika sebuah gending karatagan (gending pembukaan) pada pertunjukan wayang golek dimainkan, proses pembentukan semesta sedang berlangsung. Sebuah permainan musik yang diawali oleh ketukan cempala sang dalang sebagai implementasi Tuhan pada kehidupan pewayangan dapat dipahami sebagai proses permulaan kehidupan.
Kemudian muncul wayang kayon atau gunungan sebagai lambang dari penyeimbang kehidupan. Sesaat kemudian muncul manusia pertama di jagat pewayangan yang menyajikan tari keindahan sebagai bentuk ungkapan syukur atas anugerah dalam kehidupan.
Dari sanalah cikal bakal maktal terlahir sebagai representasi Adam, manusia pertama yang melahirkan manusia-manusia selanjutnya. Namun demikian, maktal merupakan sebuah objek penanda yang memerlukan tinjauan lebih jauh untuk menghasilkan makna yang lebih mendalam.
Penyunting: Nadya Gadzali