Berbincang mengenai Universitas Leiden, tentunya tidak terlepas dari kaitannya dengan naskah-naskah asli Nusantara yang menjadi bagian dari koleksi perpustakaannya.

Naskah-naskah kuno Nusantara yang tersimpan di Bijzondere Collecties Universiteit Bibliotheek Leiden itu, sudah terkumpul sejak era kolonial. Salah satunya ialah naskah La Galigo yang menjadi kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan, sekaligus menjadi sorotan dunia sejak ditetapkan sebagai Memory of The World oleh UNESCO pada tahun 2011 silam.

Penganugerahan tersebut tentu saja menjadi suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia. Sebab, naskah berjumlah 12 jilid itu didaulat sebagai naskah terpanjang dan terlengkap di dunia. Dengan kata lain, La Galigo mampu mengalahkan bait-bait Mahabharata dan Iliad.

Setelah Negarakertagama dan Babad Diponegoro, La Galigo yang sejatinya merupakan epos Bugis yang lahir dari imajinasi serta pengalaman sejarah asli bangsa, dianggap mampu melampaui batas-batas kelokalannya dengan menjadi salah satu warisan kebudayaan dunia.

Upaya Menghimpun Naskah Sureq yang Terserak

Tak banyak yang mengetahui, bahwa naskah La Galigo yang tersimpan di Universitas Leiden dengan kode nama NBG 188 merupakan sebuah mahakarya hasil kolaborasi keilmuan antara dua intelektual asal Indonesia dan Belanda. Sebab, narasi tunggal Indonesia sejauh ini, hanya menempatkan La Galigo sebagai naskah epos tanah air yang “terkurung” di Belanda. Sedangkan Belanda, tidak pula mengangkat proses kerjasama antara ilmuwan pribumi dan Eropa melalui bukti-bukti yang ada.

Kisahnya dimulai ketika Benjamin Frederik Matthes—seorang penerjemah Alkitab lulusan Universitas Leiden—berlayar ke Makassar pada abad ke-19. Dalam tugasnya mengalihbahasakan Firman Tuhan ke dalam bahasa-bahasa masyarakat pribumi di Sulawesi Selatan, Matthes menelusuri beragam jenis sastra lisan dan tulisan yang berkembang dalam peradaban Bugis. Saat itulah, ia menemukan sebuah kata kunci yang ia yakini dapat membantunya dalam menggubah Alkitab dalam Bahasa Bugis, yaitu La Galigo.

La Galigo merupakan epos yang menceritakan asal-mula kehadiran manusia Bugis, jauh sebelum tersiarnya agama Islam. Naskah yang sarat akan unsur mitos dan legenda itu, berkisah tentang alam semesta bersusun tiga (Dunia Atas – Dunia Tengah – Dunia Bawah) yang dihuni oleh sejumlah dewa penguasa langit dan lautan, serta lika-liku kehidupan manusia keturunan dewata yang salah satunya digambarkan lewat kisah pelayaran pangeran Luwu bernama Sawerigading menuju ke negeri Cina untuk meminang putri We Cudai.

La Galigo mengandung ajaran moral serta standar-standar nilai kehidupan yang kelak menjadi pegangan manusia Bugis dalam membentuk sistem pangaderreng atau adat-istiadatnya. Dengan demikian, jelas bahwa Matthes memahami La Galigo bukan sekedar karya sastra belaka. Sebagaimana Alkitab, La Galigo mengandung aspek-aspek sakral serta tata cara hidup manusia yang wajib diindahkan dan dijunjung tinggi oleh orang Bugis.

Akan tetapi, tidak seperti Alkitab, naskah La Galigo yang lazim disebut sureq, terserak di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. La Galigo ditulis dalam bentuk fragmen atau potongan-potongan cerita (episode) dan tak pernah ada satu pun kitab yang merangkum isinya.

Dalam imajinasinya, Matthes beranggapan bahwa dulu pernah ada sebuah naskah sureq yang berisi kompilasi seluruh kepingan episode La Galigo. Berbekal keyakinannya itu, Matthes mulai menyusun strategi untuk mengumpulkan sureq-sureq yang ada, ke dalam sebuah naskah La Galigo.

Dalam usahanya untuk memahami Bahasa Bugis kuno yang termaktub di dalam La Galigo, Matthes bertemu dengan seorang janda tua yang dulunya pernah bertakhta sebagai seorang penguasa (arung) di Pancana, kerajaan kecil yang berada di bawah yurisdiksi pemerintahan negeri Tanete.

Janda bernama Arung Pancana Toa Retna Kencana Colliq Pujié tersebut bermukim di Makassar dengan status sebagai tahanan. Ia adalah seorang intelektual perempuan yang menguasai literatur Bugis kuno dan sastra-sastra Melayu diaspora. Ia diasingkan oleh anaknya sendiri, We Tenri Ollé ratu negeri Tanete karena ideologinya yang bertentangan dengan pemerintah kolonial.

Kerajaan Tanete yang saat itu berada di bahwa bayang-bayang kekuasaan Belanda, terpecah menjadi dua golongan. Faksi Colliq Pujié menentang hegemoni pemerintah kolonial untuk mengintervensi masalah kerajaan. Faksi lainnya dipelopori oleh suami We Tenri Ollé, menantu Colliq Pujié sendiri, menghendaki kerjasama dengan Belanda.

Malang bagi Colliq Pujié, faksi yang berseberanganlah yang kemudian mengambil alih kekuasaan, hingga akhirnya Colliq pun diasingkan oleh keluarganya sendiri ke Makassar, pusat administrasi pemerintah kolonial untuk daerah Sulawesi. Bagi Belanda, Colliq Pujie jelas ialah sebuah ancaman, namun bagi kebanyakan masyarakat Bugis, Colliq Pujié adalah seorang pejuang dan wanita yang terpelajar. Di kalangan kerajaan Tanete, ia mashyur sebagai seorang perempuan yang menguasai ilmu di bidang politik, hukum dan sastra.

Matthes mendatangi Colliq Pujié yang saat itu sedang membutuhkan bantuan ekonomi sebagai akibat terbatasnya hidup dalam pengasingan Belanda. Ia menawarkan kepada janda tua tersebut sebuah proyek yang ambisius: menulis ulang seluruh episode La Galigo yang tersebar dalam berbagai naskah di penjuru Sulawesi Selatan.

Bak gayung bersambut, Colliq Pujié menanggapi positif tawaran Matthes. Sementara Matthes berkeliling ke berbagai tempat di pedesaan Bugis untuk menyalin sureq-sureq yang dimiliki oleh beberapa keluarga atau perorangan, Colliq Pujié bertindak sebagai editor utama yang merajut seluruh episode di dalam setiap sureq tersebut menjadi sebuah satu kesatuan.

Pengetahuan Colliq Pujié di bidang pernaskahan dan sastra Bugis kuno menjadi modal utama Matthes untuk kemudian menelurkan 12 jilid La Galigo pertama dan satu-satunya di dunia yang berupa kompilasi dari seluruh episode pada sureq-sureq yang berhasil ia kumpulkan.

La Galigo Sebagai Naskah Kolaboratif Bugis-Belanda

Bentuk dari NBG 188, epos La Galigo yang tersimpan di Universitas Leiden dan menjadi bahan assesstment pihak UNESCO untuk memberikan status Memory of The World ialah sebuah hasil kolaborasi hybrid antara seorang sastrawati Bugis dan penerjemah asal Belanda. Bentuk naskah NBG 188 yang disusun oleh Colliq Pujié dan Matthes diyakini tidak pernah ada sebelumnya dan tidak pernah akan ada lagi sesuatu yang menyerupainya di masa depan. Meskipun dari segi cerita NBG 188 masih berpatokan pada standar kisah La Galigo yang dikenal oleh orang Bugis, dari segi bentuk dan struktur NBG 188 adalah sebuah naskah baru yang oleh Sitrjo Koolhof, seorang peneliti sastra Bugis dari Deventer, disebut sebagai: naskah Bugis-Belanda.

Pasalnya, bentuk NBG 188 berbeda dengan naskah-naskah sureq tradisional lainnya. NBG 188 mengandung beberapa unsur yang terdapat pada naskah Bugis genre pau-pau atau hikayat. Selain itu, bentuk keseluruhan naskah NBG 188 yang berupa episode demi episode saling sambung-menyambung dalam rentetan peristiwa, lebih menyerupai bentuk catatan sejarah atau kronik oleh bangsa Eropa ketimbang tereng atau lepasan-lepasan cerita La Galigo yang dikenal oleh masyarakat Bugis dengan beragam versinya.

Pada kenyataannya, suatu kisah dalam La Galigo, memang dapat memiliki lebih dari satu variasi di tengah masyarakat Bugis. Tak ada yang dapat dikatakan sebagai versi resmi atau standar, hingga akhirnya usaha kodifikasi dilakukan oleh Matthes di abad ke-19.

Wacana Memulangkan Naskah La Galigo ke Indonesia

Di tengah ramainya wacana untuk mengembalikan beberapa artefak kebudayaan Indonesia yang tergolong sebagai pusaka di negeri Belanda, suara-suara yang mendukung agar naskah La Galigo di Universitas Leiden dikembalikan pun terdengar.

Status Belanda dipertanyakan sebagai pemilik sah atas naskah sastra tersebut oleh segelintir kalangan. Lalu, bagaimana halnya dengan nasib La Galigo sebagai sebuah real product of culture yang dibayangkan hidup dan berkembang di tengah masyarakat?.

Saat diundang sebagai salah satu pemakalah di Seminar dan Festival Internasional La Galigo 2018 yang diadakan di Kabupaten Soppeng, saya memperhatikan bahwa dari seluruh narasumber yang ada, hanya dua orang yang tergolong ke dalam kategori pemuda atau berusia di bawah 30 tahun. Peserta yang hadir di auditorium kota Watan Soppeng, mayoritas pegawai negeri sipil dan tenaga pengajar yang mengincar sertifikat seminar untuk keperluannya masing-masing.

Kondisi tersebut menceminkan betapa terbatasnya keterlibatan generasi muda dalam proses transfer of knowledge La Galigo, bahkan di kalangan akademisi maupun masyarakat Sulawesi Selatan itu sendiri.

Strategi Pelestarian Naskah La Galigo

Dalam peradaban Bugis, La Galigo sebagai warisan leluhur pada hakikatnya merupakan sebuah karya sastra lisan. Pemanfaatan aksara dan lontar atau kertas untuk menuliskan bait-bait La Galigo, hanyalah medium bagi pasureq atau pelantun bait-bait La Galigo yang lantang di hadapan publik, atau lazim disebut dengan masureq.

Saat ini, jumlah pasureq di Sulawesi Selatan dapat dihitung jari. Para pasureq umumnya telah berusia lanjut. Dalam rangka melestarikan tradisi La Galigo, proses regenerasinya pun menjadi tantangan tersendiri—mengingat generasi muda saat ini kurang berminat pada sastra La Galigo dan seni masureq.

Saat ini, dunia mengenal La Galigo sebagai Memory of The World seperti yang ditetapkan oleh UNESCO. Akankah ia mengalami kepunahan di rahimnya sendiri?. Adalah tanggung jawab bersama civitas academica yang berada di tanah air dan Belanda untuk mengangkat kembali, membuka ruang dialog, serta menyusun strategi presevasi bagi epos La Galigo yang merupakan shared heritage bagi kedua negara.

Dalam hal ini, Leiden memegang kunci utama: selain sebagai tempat disimpannya naskah-naskah kuno Nusantara, ia juga merupakan titik bertemunya golongan intelektual Indonesia dan Belanda. Besar harapan, jaringan komunikasi alumni Leiden Indonesia serta pihak Universitas Leiden, dapat menjadi motor penggerak yang mewujudkan kolaborasi nyata dalam rangka menyelamatkan tradisi La Galigo dari kepungan zaman.

Apabila dua abad yang lalu Colliq Pujié dan Matthes pernah bersama-sama membuktikan keberhasilan kerjasama ilmiah dalam penyusunan naskah La Galigo, maka tidaklah mustahil bagi para sarjana, juga para pakar di zaman ini— membina kolaborasi intelektual demi kelestarian naskah La Galigo.

Penyunting: Nadya Gadzali