Etnis.id – Jika ke Bima, berkenalanlah dengan masyarakat adat Desa Sambori, penghuni lereng-lereng gunung La Mbitu (runcing menjulang) yang bertempat di ketinggian sekisar 700 meter MDPL, di sebelah Tenggara Kota Bima. Makanya desa Sambori dijuluki sebagai negeri di atas awan.
Mengaksesnya bisa melalui jalur darat yang berkelok. Saat jalan, akan tampak pemandangan alam nan indah. Selain tampilan, pengunjung Sambori juga dapat menikmati suasana desa adat yang asri. Jarak tempuh ke Sambori dari Serasuba, Kota Bima, memakan waktu sekisar 1 jam menggunakan sepeda motor.
Sambori kini masuk di wilayah Kecamatan La Mbitu Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Desa ini dulu masih bergabung di Kecamatan Wawo sebelum diadakan pemekaran wilayah pada tahun 2006, berdasarkan Perda Bima Nomor. 2 tahun 2006.
Desa Sambori bersama dengan Desa Ka’owa, Desa Kaboro, Desa Kuta, Desa Lodu dan Desa Teta berada di Kecamatan La Mbitu. Sedangkan Desa Tarlawi yang masih satu rumpun dengan komunitas adat ini, bergabung di Kecamatan Wawo.
Umumnya, komunitas masyarakat di Sambori, memiliki perbedaan bahasa dan dialek dengan masyarakat Bima. Kesehariannya mereka menggunakan bahasa Inge Ndai (saudara serumpun), sedangkan orang Bima pakai bahasa Bima (Nggahi Mbojo).
Mulanya, orang Sambori berasal dari orang Donggo yang menghuni dataran tinggi bagian Timur (Dou Donggo Ele), sedangkan Donggo Ipa, bermukim di sebelah barat Teluk Bima yaitu di gugusan pegunungan Soromandi. Istilah kata Donggo sendiri merujuk pada kata ‘gunung’ sehingga disebut Dou Donggo atau masyarakat yang menghuni di dataran pegunungan.
“Bahasa Bima dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu Bima lama dan Bima baru. Bahasa Bima lama dituturkan di Donggo Ele dan Donggo Ipa, sedangkan bahasa Bima baru dituturkan oleh masyarakat Bima sekarang ini,” ujar budayawan Bima, Ruslan Muhammad yang akrab disapa Alan Malingi kepada reporter Lontar.
Kata Alan, sebelum masyarakat adat menetap pertama kali di Sambori, mereka berasal dari 4 klan yang tinggal di daerah dataran rendah di pesisir pantai. Seperti orang Desa Sambori pernah tinggal di pesisir Talabiu, orang Kuta tinggal di pesisir pantai Kolo, orang Tarlawi mendiami pesisir pantai Ambalawi dan orang Teta tinggal di pesisir pantai Mawu di Wera.
Setelah peradaban baru muncul dan agama Islam berdatangan dan menyebar dengan jalur damai oleh para mubalig. Empat klan yang mendiami pesisir bibir pantai, lalu berpindah naik di atas gunung La Mbitu, minus orang-orang tua renta dan mereka yang tak sanggup melewati punggung Gunung La Mbitu. Alasannya, mereka takut akan dipotong rambutnya dan disunat.
Setelah para mubalig yang menyebarkan Islam meninggalkan perkampungan, klan yang menghuni puncak La Mbitu, turun lagi ke tempat asalnya dan mengecek mereka yang ditinggalkan. Ternyata, para orang tua serta yang tak mampu mendaki sudah mencukur rambut dan menyunat mereka sebagai syarat masuk Islam.
“Akhirnya mereka mengundang kembali mubalig itu datang dan memeluk Islam,” sambungnya
Tradisi Masyarakat
Masyarakat Desa Sambori yang diambil dari kata ‘Sambore’ (palu) ini, masih mempertahankan tradisi atau upacara yang kerap dilakukan kala musim tanam tiba. Sebagian besar mereka bekerja sebagai petani padi, palawija, dan biji-bijian lainnya. Kemudian hasil pertanian disimpan di ‘umah lengge’.
Pada musim tanam, dikenal beberapa tradisi yang dilakukan saat menguruk padi ladang yang berada di lereng-lereng gunung La Mbitu. Adalah Arugele yang berarti suatu tarian dan nyanyian yang dilakukan masyarakat saat menanam atau memanen hasil pertanian.
Tarian Arugele diperagakan oleh kaum perempuan dewasa maupun para remaja. Jumlahnya beragam, ada enam orang kadang juga delapan, bahkan lebih. Mereka berbaris membentuk syaf. Sambil menyanyi syair Arugele, para gadis ini memegang tongkat kayu yang telah diruncingkan ujungnya dan menancapkannya ke tanah, sehingga membentuk lubang untuk dimasukkan biji padi, jagung kedelai, dll. Sementara kalangan lelaki mengikuti alunan langkah para gadis, dan menutup lubangnya.
Sedangkan tari Kalero, merupakan jenis upacara untuk menghormati para arwah leluhur mereka yang telah meninggal, dan para keturunannya dijauhkan dari marabencana. Kemudian Belaleha dilakukan pada saat acara sunatan atau pesta pernikahan.
“Kalau masa kini, ada yang masih tetap mempertahankan budaya lama Arugele, meskipun terjadi regenerasi, tradisonalnya stagnan. Generasi muda sudah tidak tertarik dengan budaya tersebut,” tambah Alan.
“Karena pergeseran nilai di masyarakat, Arugele itu sudah bergeser, anak-anak kecil sudah membawa tape recorder untuk menghibur diri pada kala mereka berkeja di ladang.”