Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan saya, yang terbit di kolom persepsi pada sabtu 25 Juni 2022 dengan judul “Mengimla Bahasa: Wato dalam Sejarah Gorontalo”. Singkatnya, tulisan tersebut menguraitiga pemaknaan kata wato berdasarkan sosio-historis masyarakat lokal Gorontalo; 1) wato sebelum masuknya Islam, 2) wato sesudah masuknya Islam, dan 3) wato pada masa kolonial.
Selain karena uraian wato dalam tulisan tersebut terbilang singkat, juga pengetahuan tentang wato di kebudayaan Gorontalo masih memanggul pertanyaan-pertanyaan lain. Alasan inilah, mengapa saya perlu melanjutkan tulisan tentang wato di Gorontalo.
Satu waktu, ketika saya telah selesai membaca tuntas tulisan dari Takashi Shiraishi dengan judul Dunia Hantu Digul: Pemolisian sebagaiStrategi Politik di Indonesia Masa Kolonial 1926-1941 yang terbit pada April 2023. Pikiran saya mengarah pada keadaan Wato di masa kolonial. Alasannya, karena dalam buku ini membicarakan bagaimana pemerintah kolonial melancarkan pemolisian-politik dalam rangka memperteguh kekuasaanya.
Lebih lanjut, imaji saya, membawa pada pertanyaan-pertanyaan antara lain; apakah ada wato yang dipolisikan ke Digul?, karena secara geografis Gorontalo sedikit lebih dekat dengan Digul, bila dibandingkan dengan kota-kota di Pulau Jawa.
Secara khusus, apakah terminologi wato, oleh kolonial sengaja dipakai dan dilekatkan kepada warga sipil, yang memberontak dan menentang proses penetrasi sistem kolonialisasi?. Munculnya pertanyaan-pertanyaan kritis seperti ini akan mengetahui seperti apa rupa dari raut wajah kebudayaan kita.
Bila kita kembali tengok kata wato dalam konteks masa kolonial di Gorontalo. Konstruksi kebudayaan kita akan menerangkan bahwa wato, selain harus melayani raja dan dewa/Tuhan juga, harus melayani keserakahan bangsa Eropa, (Lamujuni 2022).
Kondisi sosial ini kemudian melatarbelakangi lahirnya istilah “Cultuurstelsel”, dalam historiografi tradisional Indonesia istilah ini berganti menjadi “Tanam Paksa”. Dengan kata lain, kata wato merepresentasikan keadaan tidak normal dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Gorontalo.
Adapun kata Digul, oleh anggota PARI (Partai Republik Indonesia), seperti Soebakat, Tan Malaka, dan Djamaloedin Tamin yang menyebut Digul dengan sebutan “Rumah Sakit Umum”. Sementara dalam bahasa kolonial Belanda disebut de onverzoenlijken, yakni mereka yang bandel, tidak dapat diperbaiki, dan kepala batu, (Shiraishi 2023:39).
Menurut Takashi Shiraishi, Digul bukanlah kamp konsentrasi, kemudian dipertegas lagi oleh sejarawan Belanda bernama J.M. Pluvier, bahwa Digul berbeda dari kamp konsentrasi Nazi, baik dari segi perlakuan narapidana; tidak ada yang dianiaya atau dibunuh, (Shiraishi 2023:38).
Paparan mengenai kata Digul dan wato telah mendeskripsikan bagaimana konstruksi kebudayaan dan kehidupan sosial yang tidak normal. Betul bahwa keduanya merupakan dua hal yang berlainan. Wato adalah individu yang tidak merdeka sementara Digul merupakan daerah di Papua bagian Selatan.
Namun, korelasi keduanya dapat dibaca sebagai berikut: baik wato dan Digul, keduanya merupakan hasil produksi kolonial. Secara umum, produksi kolonial tersebut kemudian membentuk/menciptakan sistem kebudayaan baru di Indonesia, tidak terkecuali juga di Gorontalo.
Pertama, Digul. Tercatat interniran yang pertama kali diberangkatkan ke Digul sebanyak 50 orang pada Januari 1927. Digul dibagi menjadi Tanah Merah dan Tanah Tinggi. Para interniran Digul yang paling bandel akan ditempatkan ke Digul Tanah Tinggi. Mereka dipaksa memasuki suatu “keadaan alamiah” (state of nature). Sementara bagi interniran yang kurang bandel ditempatkan di Digul Tanah Merah, (Shiraishi 2023: 44-45).
Interniran yang ditempatkan baik di Tanah Merah dan Tanah Tinggi, kemudian harus bertahan hidup dari bahaya malaria, buaya, penduduk setempat yang tidak ramah, hutan, dan patroli perbatasan Australia. Belum lagi para interniran hanya diperbolehkan bergerak bebas dalam radius 25 kilometer, (Shiraishi 2023:25).
Keadaan mendesak dan mencekamtersebut, ungkap Rudolf Mrazrk sebagai “kenormalan ganjil”. Keganjilan tersebut tidak hanya bersifat psikologis tetapi juga melembaga secara mendalam. Implikasi dari kehidupan yang ganjil itu, membentuk empat golongan. Pertama, golongan de werkwillgers, yakni mereka yang bersedia bekerja.
Mereka bekerja dari pukul 07:30 hingga 13:00 dengan bayaran yang berbeda-beda, berdasarkan pekerjaan. Kedua, golongan de eigenwerkzoekenden, yakni pekerja mandiri. Dimana, mereka memperoleh gajinya dari pekerjaan yang kerjakan seperti, nelayan, petani sayur, tukang cukur, tukang roti, penjahit, dan pembuat sepatu.
Ketiga, golongan de steuntrekkers, yakni penyandang disabilitas dan penderita penyakit kronis seperti malaria, TBC, dan penyakit mental akibat isolasi berkepanjangan. Kempat, golongan de naturalisten atau ekstrimis, yakni mereka yang menolak atas semua bentuk kebijakan pemerintah, (Shiraisi 2022:64-66).
Kedua, wato. Dalam konteks Gorontalo, kehidupan wato jauh dari kata normal. Misalnya, mereka secara kolektif dipaksa bekerja mengambil hasil bumi. Kemudian, wajib menyetor hasil bumi tersebut kepada pemerintah kolonial setempat. Betul bahwa wato hari ini tidak ada lagi, namun gagasan atau ide tentang wato tersebut tidakmenghilang begitu saja.
Hal ini sejalandengan analisis Eko Wijayanto, bahwa sebuah ide yang terdapat pada suatu kebudayaan akan terus bermutasi. Secara eksplisit, oleh Richard Dawkins disebut meme. Menurutnya, meme meliputi segala sesuatu yang dilakukan melalui imitasi. Termasuk pekerjaan, kosakata, kemampuan dan tingkah laku, permainan, lagu ataupun peraturan.
Berdasarkan pendapat di atas—secara curiga—jangan-jagan wato (sebagai gagasan) bertransformasi ke dalam budaya mohuyula. Dengan kata lain, bahwa, gagasan mohuyula di Gorontalo merupakanimitasi dari gagasanwato yang konotasinya merujuk pada bahasa kebersamaan, gotong royong, bahu-membahu, tolong-menolong. Bila kita perhatikan dengan seksama, pola-pola budaya wato juga melakukan hal-hal kolektif seperti pada budaya mohuyula.
Dalam perjalanannya, mohuyula menginspirasi bahasa Gorontalo, antaralain: pertama, ambua, yaitu kegiatan kerja bakti untuk kepentingan bersama, misalnya pembuatan jalan desa, tanggul desa, jembatan dan sebagainya. Ambua juga merupakan salah satu cara yang digunakan masyarakat Gorontalo untuk menyelesaikan permasalahan, seperti perkelahian antar warga.
Kedua, hileiya, yaitu tolong menolong dalam membantu tetangga yang mengalami musibah. Terakhir ti’ayo, yaitu membantu seseorang dalam urusan pribadi,seperti dalam kegiatan pertanian, membangun rumah, dan mendirikan bantayo (tenda) untuk pesta perkawinan. Apakah analisis saya ini keliru? Mari kita cermati lagi.
Dengan demikian, uraian tentang Digul dan Wato menunjukkan bahwa pengaruh kolonial di Indonesia dan khususnya di Gorontalo, merangsang lahirnya budaya dan bahasa baru pada setiap daerah jajahan yang mereka tempati. Kata Digul dan wato merupakan sampelnya. Masih ada banyak kata yang telah melekat dalam budaya Indonesia, tidak terkecuali budaya di Gorontalo. Tugas kita adalah kembali melacak.
Terakhir, saya ingin bilang bahwa,jika hasil pelacakan kembali terhadap bahasa Gorontalo ternyata ditemukan bahwa bahasa itu merupakan term yang tidak lahir dari rahim budaya Gorontalo. Maka, “kita” siap untuk tidak terlalu mensakralkan bahasa tersebut.
Persoalannya, di “kita” (dari dulu sampai sekarang) banyak sekali bahasa-bahasa yang dikeramatkan oleh orang tua dulu, agar tidak diucapkan, dipraktikkan, dan lain sebagainya. Jangan-jangan, kalimat tersebut sengaja dilahirkan oleh bangsa kolonial agar terbentuk keadaan normal.
*Source gambar: Rumah Pengasingan Boven-Digoel, Akhir 1920-an [File: Huizen van geïnterneerden in het interneringskamp te Tanahmerah (Boven-Digoel), KITLV 153791.tiff]
Penyunting: Nadya Gadzali