Dalam keseharian, kita cukup akrab dengan berbagai personifikasi tatkala menggambarkan suatu benda maupun peristiwa yang mengesankan. Satu di antaranya ialah “Patanjala”, yang bagi orang Sunda, istilah ini berkenaan dengan ajaran leluhur ihwal pentingnya menjaga keseimbangan alam beserta fungsinya. Namun, tak sedikit pula yang menganggapnya sebagai perwujudan manusia berkemampuan spiritual tinggi.

Sebuah sumber mengatakan bahwa Patanjala dipinjam dari nama salah satu anak Raja Kendan, Sri Maharaja Guru Resi Prabhu Sindu La Hyang (Sang Hyang Tamblegmeneng)—Sang Hyang Patanjala—yang kemudian diadaptasi untuk menamai sistem pengelolaan air.

Terminologi Patanjala berasal dari gabungan dua kata berbahasa Sunda. Pata berarti air, dan jala bermakna wadah, yang menjadi cikal bakal penghormatan nenek moyang orang Sunda terhadap keberadaan sumber-sumber mata air.

Sikap mengutamakan air sebagai salah satu unsur pembentuk hidup manusia, tak terlepas dari penghayatan orang-orang terdahulu tentang peristiwa mengalirnya air dari tempat yang tinggi ke dataran yang lebih rendah, fenomena mengalirnya darah di dalam tubuh manusia, serta suburnya lahan pertanian selepas dialiri oleh air.

Suburnya Lahan Persawahan Selepas Dialiri oleh Air/ Angga Hamzah

Resi-Rama-Ratu

Menurut Ajat, seorang pegiat budaya dari komunitas Patanjala, luasnya cakupan makna Patanjala baginya tak sebatas hanya pada sifat dan fungsi air saja. Melainkan pada filosofi yang terkandung di dalam konsep Resi-Rama-Ratu yang mencirikan pola tiga dalam kebudayaan Sunda.

Sepintas, tampak tak ada keterkaitan di antara keduanya. Namun sejatinya, yang diajarkan dalam konsep ini ialah harmoni, berupa pembagian kekuasaan dalam adat Sunda yang tak mengenal pemusatan absolut maupun sistem hierarki.

Dalam kosmologi Sunda, Resi dipersonifikasikan sebagai seorang penasihat yang telah memperoleh ketentraman batin, mapan secara spiritual, serta bertugas menentukan etika, wewenang dan tanggung jawab Rama dan Ratu.

Laksana sungai dan samudra yang dilintasi oleh curahan air pegunungan, Rama dan Ratu diibaratkan sebagai tanah dan batu, atau figur-figur pelaksana pemerintahan berdasarkan norma-norma yang telah ditetapkan oleh Resi.

Rama dan Ratu Diibaratkan Sebagai Tanah dan Batu/ Angga Hamzah

Air dalam hal ini mewakili Resi yang disimbolkan sebagai hulu atau tempat bermulanya suatu niat. Maka tak heran, jika gunung seringkali dianggap keramat. Sebab, dari gununglah air berawal, hingga akhirnya dapat mengalir di sepanjang sungai dan berakhir di samudera. Di gunung pula, orang-orang yang hendak melaksanakan hajat tertentu, kerap melakukan semadi dan pelbagai laku tirakat.

Kesakralan Air Bagi Orang Sunda

Air adalah Elemen yang Sakral bagi Masyarakat Sunda/ Angga Hamzah

Dalam tradisi Sunda, ritual yang melibatkan elemen air salah satunya ialah Hajat Waluya yang dilaksanakan di kawasan Cukang Taneuh, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat.

Lainnya, elemen air juga mengawali sejumlah upacara adat Sunda, seperti Ngertakeun Bumi Lamba di Gunung Tangkuban Parahu, ritus musim kemarau di Kabupaten Kuningan, serta tradisi melestarikan sumber mata air di Kabupaten Sumedang.

Ritus-ritus penghormatan itu tak terlepas dari alam pikir leluhur orang Sunda yang melihat Patanjala sebagai Ibu Agung, dengan air yang mengurat di sepanjang wadah-wadah bumi dan memberikan penghidupan bagi jutaan makhluk hidup.

Hajat Waluya di Kabupaten Ciamis merupakan cerminan rasa syukur warga Kecamatan Cijulang atas rezeki yang diperoleh dari perairan setempat, terutama bagi yang bermukim di kawasan sungai Cukang Taneuh, atau yang dalam jagat pariwisata dikenal sebagai lokasi wisata “Green Canyon”.

Tahun ini, Hajat Waluya diselenggarakan di Dermaga 1 Wisata Green Canyon dengan rangkaian kegiatan yang sarat akan unsur kebudayaan, di antaranya, lomba menghias perahu, lomba tumpeng, pagelaran seni dan budaya lokal seperti Ronggeng, Badud, Batok Benjang, Angklung, serta Pawai Perahu menuju kawasan wisata Green Canyon.

Pawai Perahu Menuju Kawasan Wisata Green Canyon/ Purnama Siliwangi

Hajat Waluya

Sebagai sebuah perayaan, Hajat Waluya menjelma sebuah kenduri sekaligus momen yang tepat untuk mengedukasi masyarakat ihwal pentingnya menjaga ekosistem sungai sebagai sumber penghidupan bagi warga sekitar Cukang Taneuh, baik berupa hasil tangkapan, maupun aktivitas pariwisata arung jeram dan susur sungai.

Untuk memeriahkan Hajat Waluya, diciptakanlah akronim “Walungan nu Mawa Kaya” (Sungai yang Membawa Kekayaan) dengan menempatkan ekosistem sungai sebagai pusat peradaban di Kecamatan Cijulang.

Di luar penamaan itu, menurut Kamus Bahasa Sunda-Indonesia, pengertian Waluya adalah “Selamat”. Sebuah ungkapan atau cara orang Sunda memberkati sesama. Begitu pula tujuan diselenggarakannya hajatan ini, harapan akan keselamatan yang dituangkan ke dalam serangkaian acara syukuran Hajat Waluya, mencerminkan pengakuan masyarakat Sunda terhadap kekuatan maha-besar yang telah menciptakan sungai dan air yang bermanfaat bagi kehidupan.

Hajat Waluya dapat terselenggara berkat kesadaran dan ketaatan masyarakat terhadap nasihat leluhur tentang pentingnya mendasarkan segala perilaku pada dimensi KeTuhanan, kealaman, dan kemanusiaan.

Dimensi KeTuhanan dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang ketika itu masih menganut agama leluhur. Disusul oleh ajaran agama Hindu yang pernah tersiar di Tatar Sunda sebelum tradisi Islam diterima oleh masyarakat, atau lebih tepatnya, ketika orang-orang Sunda masih merekam kekaguman terhadap alam dengan cara yang paling sederhana sesuai cara berpikir di zaman itu, seperti menghaturkan sesaji, merapal mantra, dan melaksanakan aneka ritual.

Dimensi KeTuhanan: Doa Bersama yang Menjadi Pembuka Gelaran Hajat Waluya/ Purnama Siliwangi 

Berikutnya ialah dorongan untuk memenuhi dimensi kealaman atau naluri untuk memanfaatkan alam tanpa merusaknya. Sebab, hal yang tak terelakkan dari kemajuan zaman adalah ancaman kepunahan pada tatanan ekologis dan kultural.

Seperti yang kiwari telah nampak perubahannya: arkaisme budaya digantikan oleh modernitas, bangunan vertikal menggantikan rumah-rumah adat, ruang terbuka hijau bersalin rupa menjadi pusat perbelanjaan dan pemukiman padat penduduk.

Karena itu, kokolot (orang tua) terdahulu sempat menitipkan pesan mitigasi lewat pitutur (penuturan lisan) yang berbunyi: “Gunung kaian, gawir awian, cinyusu rumateun, sampalan kebonan, pasir talunan, dataran sawahan, lebak caian, legok balongan, situ pulasaraeun, lembur uruseun, walungan rawateun, basisir jagaeun. Hak alam leuweung larangan, hak kehidupan leuweung tutupan, hak manusia baladaheun”.

(Artinya: gunung berkayu, tebing berbambu, mata air mengalir, kebun bertegal, bukit bertalun, lahan bersawah, lembah teraliri, lubang berkolam, danau terpelihara, kampung terawat, sungai terurus, pesisir dijaga. Hak alam hutan keramat, hak kehidupan hutan lindung, hak manusia hutan titipan).

Melalui pitutur itu, pandangan hidup masyarakat Sunda jelas dipengaruhi oleh latar belakang ekologis. Seperti yang dikemukakan oleh peneliti budaya Sunda, Jakob Sumardjo, bahwa cara berpikir masyarakat Sunda terdiri dari gabungan dua pasangan oposisi yang melahirkan entitas baru, berupa pemahaman tentang transendensi “dunia tengah” atau keseimbangan yang tercipta ketika manusia mampu menyelaraskan gagasan Tritangtu (manusia, alam dan Sang Pencipta). Di antaranya, konsep keselarasan berbasis keyakinan tradisional yang menampakkan diri dalam pelaksanaan Hajat Waluya.

Sedangkan dimensi kemanusiaan, bekerja dalam mekanisme hubungan antara manusia yang terjalin sebelum dan sesudah pelaksanaan Hajat Waluya. Ekadjati menjelaskan hal ini ke dalam dua kriteria. Pertama, orang yang secara genealogis dan berdasarkan sosial-budaya berada dan dibesarkan di tanah Sunda. Kedua, orang atau sekelompok orang yang dibesarkan dalam budaya Sunda dan menghayati serta menjalankan nilai-nilai dan norma-norma budaya Sunda (Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah, Jilid I, cet. Ke-3, Jakarta).

Gotong royong, keramah-tamahan, serta ketergantungan terhadap alam adalah tiga ciri pokok masyarakat tradisional yang membuat mereka terlihat identik satu sama lain. Hal inilah yang kemudian membingkai kehidupan masyarakat Sunda dalam sistem kekerabatan yang erat.  

Purnama Siliwangi, konsultan perjalanan yang sehari-hari bekerja di Dinas Pariwisata Kabupaten Ciamis menjelaskan bahwa gelaran Hajat Waluya ialah salah satu magnet pariwisata di Kecamatan Cijulang yang sangat diminati oleh wisatawan domestik maupun mancanegara.

Kendati tahun ini digelar secara terbatas, namun khidmat pelaksanaan, serta semangat pelestarian masyarakat Cijulang terhadap Hajat Waluya tak berkurang sedikitpun. Satu bukti bahwa arkaisme budaya Sunda di Priangan Timur masih relevan, bahkan mampu bertahan di tengah gerak zaman.

Keterangan sumber: Foto utama diabadikan oleh Purnama Siliwangi "Peserta pawai perahu mengenakan pakaian adat Sunda (pangsi) pada gelaran Hajat Waluya 2020".