Gunung Padang telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2014. Tinggalan purbakala berupa sumur tua di kaki gunung, ratusan tangga naik terbuat dari batuan andesit, dan punden berundak yang terdiri dari lima teras di Gunung Padang menjadikannya destinasi wisata warisan budaya termasyhur saat ini.

Temuan awal oleh dua sarjana Belanda, Rogier Diederik Marius Verbeek (geolog) pada tahun 1891 dan Nicolaas Johanes Krom (arkeolog) pada tahun 1914 menjadi pijakan awal untuk penelitian situs Gunung Padang saat ini.

Sejak ditayangkan dalam serial Netflix, Ancient Apocalypse, dua tahun lalu, situs wisata warisan budaya (heritage tourism) yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur ini menjadi perbincangan khalayak.

Kemunculan geolog Danny Hilman Natawidjaja dalam serial dokumenter yang dipandu Graham Hancock, jurnalis Britania yang juga dikenal kontroversial dengan sejumlah reportasenya tentang peradaban kuno yang hilang, tampaknya telah meningkatkan ketertarikan masyarakat terhadap Gunung Padang (ditandai peningkatan jumlah pengunjung situs Gunung Padang dalam dua tahun terakhir).

Dalam tayangan itu, Danny memperkenalkan alternatif teori perkembangan populasi dan budaya manusia berdasarkan riset interdisipliner yang ia lakukan bersama sebelas anggota Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM).

Danny menunjukkan keistimewaan Gunung Padang sebagai produk budaya yang melintasi zaman. "Lapisan terbawahnya (unit 3) berusia 14.000 - 25.000 SM, bagian atasnya (unit 2) dibangun pada zaman panas sekitar 6000 -5500 SM, sedangkan lapisan paling atas (unit 1) dibangun sekitar 2000 - 1000 SM", dikatakan Danny dalam Seminar Warisan Peradaban Sundaland yang diselenggarakan AIPI, Agustus 2024.

Danny menawarkan alternatif perkembangan populasi dan budaya manusia yang tidak linier, melainkan sebuah siklus. Bencana katastropik, baik letusan gunung api maupun banjir besar, membuka kemungkinan peradaban manusia selalu kembali ke zaman primitif.

Bencana ekstrim yang terjadi pada akhir zaman es 11.600 tahun lalu yang ditandai dengan kenaikan permukaan air laut atau yang disebut dengan Younger Dryas, memperkuat postulat Plato tentang peradaban Atlantis yang hilang.

Pasca letusan Toba (74.000 tahun lalu), dikatakan Danny, seperti halnya banjir besar Gilgamesh yang tercatat dalam naskah kuno Mesopotamia, dan banjir besar dalam hikayat Nabi Nuh, kemungkinan adalah banjir serupa.

Kompleksitas kajian, metode penanggalan karbon, dan penggunaan berbagai piranti pemindaian canggih seperti georadar, geolistrik, dan tomografi seismik dalam riset geo-arkeologi Gunung Padang yang dilakukan Danny dkk, tentu saja tak bisa memuaskan semua orang.

Jurnal ilmiah yang diterbitkan Oktober 2023 bertajuk "Geo-archaeological prospecting of Gunung Padang buried prehistoric pyramid in West Java, Indonesia" sempat dimuat di jurnal Archaeological Prospection namun tak bertahan lama. Satu bulan kemudian, John Wiley & Sons, Ltd., penerbit sekaligus pemilik basisdata Wiley Online Library me-retract (membatalkan publikasi) jurnal ilmiahnya.

Status major error atau kekeliruan besar yang diberikan pihak penerbit jurnal tak pernah dijelaskan alasannya. Tak ada argumen ilmiah yang membantah hasil penelitian Danny et.al. Kabarnya, rectraction itu semata-mata desakan sejumlah ilmuwan anonim yang menginginkan publikasi jurnal ilmiahnya dibatalkan.

Sebuah sumber menyebutkan bahwa kekeliruan besar yang dimaksud merujuk pada sampel tanah Gunung Padang yang dianggap tak relevan dengan fitur/artefak yang dapat ditafsirkan sebagai antropogenik atau buatan manusia.

Terlepas dari perdebatan ilmiah tentang Gunung Padang, situs ini tetap dikunjungi dengan intensi pengunjung yang beragam. Lazim ditemukan pengunjung yang mengaku mengalami peningkatan kesadaran setelah bermeditasi, atau merasakan sensasi terhubung kembali dengan alam setelah melakukan grounding di teras-teras punden berundak.

Gunung Padang menjadi saksi bisu perjalanan spiritual manusia dalam lintasan waktu yang sedemikian panjang. Topografi alamnya yang terdiri dari lereng-lereng perbukitan, memperkuat dugaan tentang konsep dataran tinggi yang diyakini sebagai tempat persemayaman arwah leluhur.

Arkeolog Lutfi Yondri, menduga situs Gunung Padang digunakan sebagai tempat pelaksanaan ritual tertua di Tatar Sunda. Sebagaimana terangkum dalam teori Mountain of God, setelah hidup menetap, mengembangkan sistem pertanian, dan menerapkan domestikasi hewan, masyarakat prasejarah mulai melaksanakan ritual pengagungan arwah leluhur—entitas yang pada masa itu diyakini bersemayam di tempat-tempat tinggi.

Pada tahap penelitian awal sistem kepercayaan manusia prasejarah, ditemukan batu-batu besar untuk keperluan religius. Kendati digunakan untuk pelaksanaan suatu upacara atau ritual tertentu, Lutfi menyimpulkan batuan yang terdapat di Gunung Padang tak tergolong batu-batu besar atau megalit.

Ia berpendapat bahwa punden berundak Gunung dibangun sekitar 117 - 45 SM. "Proses ritual pada masa bercocok tanam, khususnya di puncak era paleometalik, masyarakatnya mengorientasikan puncak Gunung Padang ke puncak yang lebih tinggi lagi yaitu Gunung Gede-Pangrango yang berada di sisi Utara", terang Lutfi saat ditemui di Gunung Padang.

Kendati belum terlacak keterkaitannya dengan ritual di zaman prasejarah, di waktu-waktu tertentu Gunung Padang menjadi tempat pelaksanaan berbagai ritual sakral. Masyarakat pendukung budaya Gunung Padang saat ini melaksanakan ritual Mapag Bulan Purnama satu bulan sekali pada waktu puncak purnama. Ritual lain yang dilaksanakan di Gunung Padang adalah Seka Banda, penyucian benda-benda pusaka yang dilaksanakan tiga kali setahun pada bulan Maulid, Rajab, dan Suro.

Seperti pusat keilmuan, tempat dimana pemikiran-pemikiran besar dilahirkan, Gunung Padang laksana aras bertingkat yang menyimpan ribuan pustaka. Kekayaan budaya leluhur yang terdapat di Gunung Padang dapat menjadi petunjuk yang relevan bagi kehidupan manusia di setiap zaman: mampu menerjemahkan bahasa alam dan memberi sumbangsih yang besar bagi ilmu pengetahuan.

Selain menjadi tempat pelaksanaan ritual—struktur, material, dan konstruksi punden berundak Gunung Padang menyiratkan dialektika antara manusia dengan lingkungannya. Di lereng punden berundak Gunung Padang, ditemukan susunan batu alamiah dengan unsur pengunci yang diletakkan di bawah atau di sisi susunan batu andesit untuk mencegah gelinciran batu ke arah bawah saat terjadi gempa bumi (beberapa ahli mengidentifikasi batu-batu itu direkatkan oleh semacam semen purba).

Dalam peta geologi 1972, geolog Sutikno Bronto mengidentifikasi Gunung Padang sebagai fosil letusan gunung berapi purba yang tertutup oleh intrusi lava.

Temuan geosains lainnya adalah geomorfologi alam Gunung Padang yang berada tak jauh dari tinggian purba (paleo hight), yakni antara Lembah Ciletuh dan Lembah Cimandiri yang terbentuk sekitar 34-56 juta tahun lalu, berjarak beberapa kilometer saja dari situs. Data tersebut berhasil dihimpun oleh tim peneliti Teknik Geologi Universitas Padjadjaran pada tahun 2017.

Pergerakan Sesar Cimandiri diketahui telah menyebabkan beberapa peristiwa gempa bumi sejak tahun 1900-an, di antaranya: Gempa Pelabuhan Ratu (1900), Gempa Padalarang (1910), Gempa Conggeang (1948), Gempa Tanjungsari (1972), Gempa Cibadak (1973), dan riwayat gempa bumi terakhir yang dipicu oleh pergerakan Sesar Cimandiri terjadi pada November 2022.

Mengingat punden berundak Gunung Padang dibangun pada ketinggian tertentu, bagaimana jika benar riwayat tenggelamnya sebagian daratan Paparan Sunda (Sundaland) akibat peningkatan muka air laut/banjir besar melatari perpindahan populasi manusia ke dataran yang lebih tinggi?

Dengan cara-cara yang arif dan selaras dengan alam, bukankah tak menutup kemungkinan jika masyarakat pembentuk budaya Gunung Padang mewujudkan gagasan mitigasi bencana dalam bentuk punden berundak?

Sampai kalimat terakhir ini ditulis, saya masih memberi ruang dan kesempatan bagi nalar reflektif untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu.