Tak jelas benar sejak kapan istilah “santri” dan “pesantren” dipakai dalam keseharian orang-orang Nusantara. Ada dugaan bahwa ia diderivasikan dari istilah shastri—sebutan bagi orang yang sedang mendalami kitab-kitab keagamaan Hindu maupun Buddha (Mbah Mutamakin, Santri Sang Ruci, Heru Harjo Hutomo, alif.id).
Dalam Serat Centhini yang ditulis pada akhir abad ke-18, saya menemukan bahwa istilah “santri” sebenarnya sudah lazim digunakan, seperti pada penamaan salah satu murid sekaligus pelayan Syekh Amongraga, Santri Buras, yang dalam pengembaraannya kemudian menciptakan sebuah komunitas yang lebih dikenal sebagai “Santri Brai” (Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai, Heru Siswanto, CRCS-UGM 2009).
Tapi, untuk mengetahui seperti apa dan bagaimana kehidupan seorang santri dan pesantren di masa itu, Serat Centhini tak dapat sepenuhnya menggambarkannya, lantaran Syekh Amongraga yang menjadi salah satu karakter Serat Centhini adalah prototipe seorang sufi kelana yang tak memiliki pesantren dan tempat tinggal yang tetap.
Kedekatan Ulama Pesantren dan Bangsawan Surakarta
Berbeda dengan Serat Centhini, teks Serat Babad Cariyos Lelampahanipun Suwargi Raden Ngabehi Ronggawarsita (1931) yang mengisahkan kehidupan seorang Ronggawarsita muda ketika belajar mengaji di Ponorogo (“nalika puruhita ngaji dhumateng ing kitha Panaraga”), menyajikan penggalan-penggalan kehidupan seorang santri serta atmosfer pesantren di awal abad ke-19.
Berdasarkan naskah Tus Pajang (1939) yang mengisahkan Yasadipura I, kehidupan seorang ahli agama tak melulu mengenai perkara menggeluti bidang keagamaan, tetapi juga kesusastraan, kebatinan, sekaligus politik (pemerintahan). Guru Yasadipura I atau yang bernama muda Bagus Banjar ialah Kyai Onggamaya yang berdomisili di wilayah Kedu. Kyai Onggamaya digambarkan sebagai ulama besar yang pandai (“ngulama ageng limpad”). Sedangkan Kakek Yasadipura I dari pihak ibu ialah Maryam yang kelak tenar dengan sebutan Nyai Padmanagara, putri dari Kalipah Caripu, seorang tokoh keagamaan di Pengging.
Dapat diketahui bahwa kedekatan agamawan dengan pihak penguasa (bangsawan) terjalin cukup erat. Setidaknya, berdasarkan Tus Pajang, mereka menjadi guru keagamaan para bangsawan di Pulau Jawa. Di tangan Kyai Onggamaya inilah Bagus Banjar diajarkan ilmu kesusastraan Jawa dan Arab, pemerintahan, syari’at agama Islam, hingga kebatinan sejak umur 8 tahun.
Hal ini berlanjut pasca peristiwa Geger Pacinan. Setelah dari Kedu, Yasadipura I ikut menyusul junjungannya, Paku Buwana II, ke Ponorogo untuk mendapatkan bantuan Kyai Ageng Mohammad Besari.
Kehidupan santri dan pesantren cukup terekam dalam Serat Babad Cariyos Lelampahanipun Suwargi Raden Ngabehi Ronggawarsita (1931), yakni teks yang mengisahkan kehidupan muda Ronggawarsita—sang pujangga yang memiliki nama asli Bagus Burham itu. Seandainya Tus Pajang mengisahkan kehidupan Bagus Banjar yang masyhur dengan gelar Yasadipura I, maka Serat Babad Cariyos mengisahkan cucu buyutnya sendiri, Bagus Burham, yang kelak dikenal dengan gelar R. Ng. Ronggawarsita.
Peran dan fungsi seorang ulama atau orang yang ahli di bidang ilmu pengetahuan—atau yang kini secara khusus dikaitkan dengan ilmu-ilmu agama—cukup dekat dengan kalangan bangsawan kembali dilanjutkan oleh Serat Babad Cariyos. Kasan Besari di Tegalsari merupakan ahli ilmu agama yang merupakan putra menantu Sinuwun Bagus (PB IV) yang diberi gelar sebagai “Kanjeng Kyai.”
Tak hanya Kasan Besari, kakeknya sendiri, Kyai Ageng Mohammad Besari, sudah menjalin hubungan dengan PB II dan Bagus Banjar atau Yasadipura I. Hal ini tercatat dalam Tus Pajang ketika peristiwa Geger Pacinan yang memaksa PB II untuk lari ke Ponorogo dan mendapatkan bantuan dari pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari—yang ketika itu dipimpin oleh Kyai Ageng Mohammad Besari.
Sementara putra Yasadipura I, Yasadipura II atau Tumenggung Sastranagara yang menjadi salah satu penulis Serat Centhini adalah “saudara-seguru” dalam perguruan tarekat, pimpinan Kanjeng Kyai Kasan Besari (Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai, Heru Siswanto, CRCS-UGM, 2009).
Dinamika Kehidupan Ronggawarsita di Gebang Tinatar
Perlu sedikit diungkap di sini, perihal jalur Kapujanggan Ronggawarsita. Trah Yasadipuran merupakan anak keturunan Raden Sudjanapura, seorang pujangga besar di masa Pajang yang menulis Serat Nitimani. Bagus Banjar adalah nama muda Yasadipura I yang memiliki anak yang kelak bergelar Yasadipura II, Tumenggung Sastranagara bergelar Ronggawarsita I, penulis Serat Centhini dan Serat Dewa Ruci yang terkenal itu.
Yasadipura II memiliki anak yang juga seorang pujangga, Mas Pajangswara, yang disematkan gelar Ronggawarsita II— meskipun akhirnya dibunuh lantaran keterlibatannya dalam pemberontakan Pangeran Dipanegara (Perang Jawa). Adapun Bagus Burham adalah anak dari Mas Pajangswara yang kelak melanjutkan tampuk kapujanggan trah Yasadipuran untuk terakhir kalinya dengan gelar Ronggawarsita III.
Dalam Serat Babad Cariyos dikisahkan bahwa sesaat menjelang ajalnya, Yasadipura I berpesan pada anaknya, Yasadipura II, bahwa kelak cucunya, Burham, akan menjadi pujangga terbesar sekaligus penutup negeri Surakarta Hadiningrat yang membesarkan namanya—melebihi kakek-kakeknya.
Sedangkan keberadaan pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari, Ponorogo, sebagaimana yang tercatat dalam Serat Babad Cariyos, sudah dikenal sejak lama. Para bangsawan Surakarta umumnya menjadikan pesantren ini sebagai tempat mendalami al-Qur’an.
Satu hal yang patut diketahui bahwa pesantren Gebang Tinatar dan sosok Kanjeng Kyai Kasan Besari saat itu dikenal dengan kekhasannya terkait dengan ilmu al-Qur’an. Tentu, saya kira, hal ini tak berarti semata hanya untuk mendaras al-Qur’an. Sebab tak mungkin para bangsawan Surakarta ketika itu, pergi ke Ponorogo hanya untuk belajar membaca al-Qur’an. Sebab, Yasadipura I sendiri adalah anak Tumenggung Padmanagara yang dalam naskah Tus Pajang dikenal sebagai seorang ahli ibadah. Sedangkan kakeknya sendiri di Pengging, Kalipah Caripu, merupakan seorang ulama.
Di masa silam, tak banyak yang tahu struktur pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari—bahwa setiap pemimpinnya akan digelari “Imam.” Serat Babad Cariyos menyebut Kasan Besari sebagai Kanjeng Kyai Imam Besari. Sejauh data yang ada, kepemimpinan pesantren Gebang Tinatar hanya sampai pada Imam Besari IV (Kyai Chalifah). Seperti halnya di pesantren Gunungpring yang masih memiliki keterkaitan dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang setiap pemimpinnya, akan diberi gelar Kyai Krapyak I, Kyai Krapyak II, dan Kyai Krapyak III.
Kenapa seandainya di Tegalsari Imam Besari-nya hanya sampai pada Imam Besari IV atau di Gunungpring, Kyai Krapyak-nya hanya sampai pada Kyai Krapyak III dan untuk selanjutnya—kepemimpinannya sama sekali tak bersematkan gelar “Imam” ataupun “Krapyak”?
Saya kira, di sinilah akhir keterkaitan struktural antara keraton dan pesantren, meskipun secara kultural, hubungan di antara keduanya masih terjalin. Artinya, saat itu, seperti yang tertera dalam Serat Babad Cariyos, pesantren menjadi salah satu bagian dari eksistensi keraton— yang entah difungsikan sebagai pathok negara sebagaimana di Yogyakarta, ataupun semacam tempat penggemblengan orang-orang yang secara khusus dipersiapkan untuk menduduki jabatan tertentu di keraton sebagaimana yang dialami oleh Burham. Bukankah Sinuwun Bagus (PB IV) dikenal sebagai seorang ksatria-santri yang setelah menjadi raja Surakarta serta segera mengganti para pejabat keraton yang gaya hidupnya sudah mengiblat ke Belanda— pada orang-orang saleh yang lebih ia gandrungi, yakni kalangan santri? (Wulangreh dan Deradikalisasi: Menggali Sisi Praktis Islam Nusantara, Heru Harjo Hutomo, jurnalfaktual.id).
Pesantren pada masa silam, sebagaimana sekarang, sudah terdapat pula kebiasaan untuk serah-terima atau pemasrahan anak didik untuk digembleng. Lazimnya, sebagaimana yang dialami oleh Burham, orangtua ikut mengantarkan dan meminta izin pada sang kyai untuk mengikutkan anaknya dalam proses belajar-mengajar.
Tercatat, Mas Pajangswara sampai harus menginap di Tegalsari selama dua hari dua malam. Setelah mendapatkan izin dari sang kyai, ia, Burham serta embannya, Ki Tanujaya, diarahkan ke pondokan untuk beristirahat.
Istilah pondok dalam Serat Babad Cariyos merujuk pada tempat pemukiman atau kamar para santri. Di daerah Ponorogo, pondokan ini dinamakan pula sebagai gothakan: bangunan terpisah seluas kamar yang umumnya terbuat dari bambu. Sampai hari ini, tersisa satu gothakan di Tegalsari yang didirikan di sebelah Barat rumah Kyai Kasan Besari, yang konon merupakan pondokan khusus Bagus Burham setelah menjadi santri alim.
Kebiasaan santri baru di Gebang Tinatar adalah memperkenalkan diri di hadapan kyai serta santri-santri yang sudah lebih dulu nyantri. Selepas makan bersama, dilanjutkan membaca kitab maupun mendaras al-Qur’an di hadapan kyai, seturut dengan kemampuannya masing-masing (“kadhawuhan maos kitab utawi Kuran, miturut punapa kasagêdanipun piyambak-piyambak”).
Dari nukilan tersebut dapat diketahui bahwa apa yang kini disebut sebagai “kitab-kitab kuning” rupanya sudah diajarkan di pesantren, sekira pada awal abad ke-19. Serat Babad Cariyos mengisahkan kegiatan membaca kitab-kitab kuning dengan istilah “maos kitab” (membaca kitab).
Diperkuat oleh pernyataan Nancy Florida, seorang peneliti naskah-naskah kuno Jawa yang mengabarkan bahwa pesantren ikut serta dalam produksi dan distribusi kertas (dluwang) di awal abad ke-19 (Menyurat yang Silam Menggurat yang Menjelang: Sejarah Sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial, 2003).
Dalam Serat Babad Cariyos, dikisahkan pula tentang struktur, tata ruang sekaligus tata aturan pesantren di awal abad ke-19, seperti eksistensi kyai serta lurah pondok yang pada saat Burham mesantren yang ketika itu dipegang oleh seorang putra Bupati Somarata.
Tak jelas benar apakah putra Bupati Somarata itu Bagus Harun yang kemudian tenar sebagai Kyai Ageng Basyariyah (Yang Menyangga, Yang Tak Terbaca: Menggagas Sejarah Minor Nusantara, Heru Harjo Hutomo, alif.id), ataukah sosok yang lain?.
Dari berbagai data yang berhasil dihimpun, Bagus Harun nyantri di Tegalsari saat kepemimpinan pesantren sekaligus desa perdikan itu, dipegang oleh Kyai Ageng Mohammad Besari. Putra Bupati Somarata itu ditengarai memiliki sifat penyabar dalam menghadapi Burham yang memiliki kebiasaan mencari ikan di kali, serta gemar berjudi di sekitar desa Tegalsari.
Burham pun tak segan berkata dirinya sedang sakit, semata-mata untuk mengakali pertemuannya dengan sang kyai agar ia tak perlu menunjukkan penguasaannya terhadap materi pelajaran (“manawi sakintên kantun anggènipun ngaji kancanipun ingkang sami ngaji dipun wêling kapurih mamitakên sêngadi sakit badanipun”).
Sedangkan sang kyai, tetap mengutus santri lain untuk menengok Burham di pondokan, sekalipun ia tahu bahwa anak saudara-segurunya itu tengah berbohong. Hingga suatu saat, sang kyai merasa prihatin atas tindakan indisipliner yang terus berulang. Ia pun akhirnya menyampaikan pesan lewat santri-santri lainnya, bahwa ia tak ragu menjatuhkan sanksi yang berat pada Burham.
Sementara Ki Tanujaya, emban kinasih Burham, tak pula tinggal diam. Untuk meredakan keadaan, maka dikelabuhi para santri-santri itu dengan kemampuan supranaturalnya yang dapat menyingkap hal-hal gaib. Sebab, dengan cara inilah rupanya Burham selalu lolos dari hardikan dan hukuman sang kyai. Peristiwa itu akhirnya diketahui oleh Kyai Kasan Besari dan berujung pada pengusiran Ki Tanujaya dari Ponorogo.
Berikut ini adalah petikan teksnya:
“Sanalika Ki Tanujaya lajêng kadhawuhan sowan dhatêng ngarsanipun kangjêng kyai, sarêng sampun sowan, botên mawi pandangon malih, Ki Tanujaya lajêng dipun dukani akathah-kathah, sarta kaundhamana bab kawontênanipun Bagus Burham anggèning kêthul, budhêng, bodho, rêmên ngabotohan, punika botên liya saking pandamêlipun Ki Tanujaya piyambak. Dalah rare-rare sanès-sanèsipun badhe dipun tuntuni ingkang botên lêrês, saking sangêding dêduka sadaya ingkang sami wontên ngarsanipun kangjêng kyai, sami katingal gêtêr manahipun, amargi salaminipun kangjêng kyai botên nate angêdalakên dêduka ingkang kados makatên santêripun, langkung malih Bagus Burham, saking ajrihipun saupami dipun irisa botên mêdal êrahipun, wasana Ki Tanujaya lajêng dipun dhawuhi kesah saking Panaraga.”
Namun, pada awal abad ke-19, lingkungan pesantren belum mengenal ilmu-ilmu yang sifatnya membuat pengeram-eram (ketakjuban) sebagaimana terkisahkan di dalam riwayat Sunan Kudus dan Saridin di Pati)— maupun kisah Arya Papak (Menyambangi Makam Sorokarto, Mengingat Arya Papak, Heru Harjo Hutomo, alif.id) yang dapat mendatangkan angin serta hujan di sebuah pesantren yang berada di Kota Surabaya (Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account, Andrew Beatty, 1999).
Fungsi Kali pada Kedirian Pesantren
Melalui Serat Babad Cariyos pula, dapat diketahui bahwa secara tata ruang— eksistensi sebuah kali tak dapat dilepaskan dari pesantren (Menganyam yang Terpendam [Seusai Menengok Makam Syekh Yahuda], Heru Harjo Hutomo, alif.id). Kali menjadi salah satu penopang kehidupan santri dan pesantren. Kisah Sunan Kalijaga juga mengungkap keadaan pesantren-pesantren Jawa yang membangun puluhan ataupun ratusan kamar mandi untuk kebutuhan santri. Maka pendirian pesantren di sekitar kali, agaknya menjadi sebuah pilihan yang logis.
Keberadaan kali di sekitar pesantren sebagai sebuah tempat penggemblengan ruhani terdapat dalam Serat Babad Cariyos. Bahkan, akibat kelakukan buruknya, Burham diberikan sanksi untuk menebus kesalahannya lewat tapa kungkum (berendam) di kali selama 40 malam. Ritual itulah yang ditengarai membuatnya dianugerahi ilmu laduni. Serupa ilham, tiba-tiba saja Burham menjadi pintar tanpa belajar.
Ihwal kemampuan yang ia peroleh melalui tapa kungkum, termaktub di dalam Serat Babad Cariyos berikut ini:
“Satanginipun tilêm, tiyang kalih sami rumaos angsal kanugrahaning Pangeran, Bagus Burham kaparingan ilham sagêd sumêrêp dhatêng kasusastran kalayan botên sarana mawi dipun ajar, sastra Arab, Jawi, Walandi, satêmbungipun pisan, lajêng botên rumaos angèl maos kitab Kuran, dalah samaknanipun pisan, Ki Tanujaya angsal kanugrahaning Pangeran mangrêtos dhatêng wicantênipun kutu-kutu walang angataga, nanging sarèhne labanipun tiyang sêpuh ingkang sampun botên kewran dhatêng sadaya kagunan, dados wêwahing kanugrahan wau manahipun saya sakalangkung mênêp.”
Ilmu laduni yang dianugerahkan kepada Bagus Burham berkaitan dengan laku kungkumnya di kali, sebagai penebusan atas kenakalan-kenakalannya. Ilmu ini memang dipercaya ada dalam ilmu tasawuf. Al-Ghazali, dalam kitabnya Ihya' Ulumuddin, pernah menyebut ilmu ini sebagai ganjaran atas laku tirakat tertentu, namun tidak berarti diperoleh lewat proses belajar (Wedhatama dan Kuluban di Bulan Ramadhan, Heru Harjo Hutomo, alif.id). Dengan memperoleh ilmu laduni ini, Bagus Burham tak serta merta mengalami jadzab secara sufistik, sebab kesadaran insaniahnya masih penuh.
Predikat Njadzab yang Disematkan Kepada Bagus Burham
Masa muda Ronggawarsita dinilai tak mencerminkan seorang santri. Sebaliknya, ia dianggap "njadzab" atau nyleneh, lantaran gemar melakukan hal-hal buruk seperti berjudi, menyabung ayam atau mencari ikan di kali.
Sedangkan predikat “Gus Njadzab” yang tercatat di dalam Serat Babad Cariyos, saya lebih memilih istilah “njadzab” daripada “jadzab.” Sebab jadzab di sini bukanlah jadzab yang diartikan sebagai pengalaman ruhani seperti pengertian sufisme yang tercatat di dalam Serat Centhini (Menyingkap Jadzab, Heru Harjo Hutomo, alif.id).
Jika ada pelbagai kisah tentang Gus atau Kyai yang nyleneh di hari ini, maka Burham adalah yang pertama kali mengalaminya. Ia adalah prototipe santri njadzab yang malas belajar ilmu-ilmu agama. Bahkan, ia cenderung menjauh dari kesan relijius serta sifat-sifat kebangsawanan.
"Jadzab" dalam pengertian sufisme, berkaitan dengan keterserapan ilahiah. Pelakunya ditengarai hilang kesadaran atau lazim dikenal dengan "mabuk Gusti." Sementara, gelar “Gus” yang selama ini sering kita dengar, pada mulanya tak hanya disematkan pada anak-anak Kyai saja. Sebutan“Gus” merupakan kependekan dari Raden Bagus, yakni panggilan terhormat untuk nama muda anak laki-laki keturunan ningrat.
Penyunting: Nadya Gadzali