Akhir-akhir ini bermunculan berita perceraian dari kalangan public figure Indonesia. Perihal perceraian, tampaknya kita perlu melihat bagaimana komunitas Samin membangun hubungan keluarga mereka. Dua referensi yang menjelaskan tentang tradisi Samin menjelaskan perihal “Sosialisasi Undang-Undang Perkawinan Bagi Masyarakat Suku Samin Di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Jawa Tengah” (C. Hisyam & Tarmidji, A, 2023) dan “Sistem, Identitas, Harmoni dan Konversi Perkawinan Samin di Dukuh Belik Desa Temurejo Kecamatan Blora, Kabupaten Blora” (M.Thohir, 2020).
Perceraian sebenarnya tidak dikenal dalam tradisi Samin yang asli. Akad yang telah diucapkan untuk membangun relasi keluarga harus dipegang erat sampai ajal menjemput. Maka, dalam tradisi perkawinan Samin, para pengantin diharuskan untuk memegang prinsip “sadat sepisan kanggo selawase” (ijab kabul sekali untuk selamanya).
Lalu bagaimana cara masyarakat Samin membentuk hubungan perkawinan? Sehingga mereka dapat menjamin bahwa pasangan yang telah dipilih adalah sosok yang tepat untuk menjadi pendamping sehidup semati.
Komunitas Samin dibentuk oleh Samin Soerosentiko. Munculnya Gerakan Samin yang biasa disebut “saminisme” pada awalnya digunakan untuk melawan kekuasaan kolonialis yang secara paksa mengambil keuntungan materil terhadap pribumi. Perlawanan masyarakat Samin tidak dilakukan melalui pemberontakan fisik, akan tetapi lebih kepada pemberontakan ideologi dengan tidak mau melakukan pembayaran pajak.
Gerakan ideologi Samin akhirnya semakin berkembang dengan beberapa prinsip “khas” yang diyakini. Gagasan pemikiran Saminisme menyebar di kawasan perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Saat masa kolonialisme usai, ideologi Samin masih lestari. Dampaknya, mereka tidak tunduk dan patuh terhadap administrasi dan hukum negara yang telah merdeka karena menganggapnya bagian dari kolonialisme.
Masyarakat Samin tidak menjalankan administrasi negara. Dalam perkawinan misalnya, mereka melaksanakannya sesuai dengan hukum adat yang berlaku tanpa mencatatkannya di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama. Menurut mereka, perkawinan tidak perlu dicatatkan dalam buku garing (kertas), namun hanya wajib dicatatakan dalam buku teles (teles dalam bahasa Indonesia berarti basah: ini sebagai kiasan bahwa dalam perkawinan hanya perlu adanya persetubuhan)
Selain keyakinan filosofis itu, terdapat beberapa keunikan dalam perkawinan Samin. Dalam tata cara perkawinannya, calon pengantin laki-laki-laki dan perempuan wajib melakukan persetubuhan terlebih dahulu sebelum melaksanakan paseksen (ijab kabul yang disaksikan). Persetubuhan dalam hal ini dinamakan ngrukuni.
Ngurukuni sebenarnya merupakan bagian dari tahap nyuwito atau ngenger. Dalam prosesi ini, keluarga calon mempelai yang telah melaksanakan lamaran bersepakat untuk meninggalkan calon pengantin laki-laki di rumah calon mertuanya. Pelaksanaan nyuwito ditujukan untuk menemukan kecocokan antara para pihak: antara calon mempelai dan keluarganya. Calon mempelai laki-laki memiliki dua tugas saat nyuwito: membantu pekerjaan calon mertua dan melakukan persetubuhan dengan calon mempelai perempuan (ngrukuni).
Apabila kedua pihak telah melaksanakan persetubuhan, calon pengantin laki-laki melapor kepada calon ayah mertuanya bahwa persetubuhan telah dilakukan. Calon ayah mertua mengonfirmasi kembali kepada keduanya, apakah dengan persetubuhan itu mereka telah merasa cocok? Jika telah cukup cocok dan yakin, selanjutnya akan dilaksanakan prosesi pasekesen. Paseksen dalam padanan bahasa Indonesia berarti penyaksian. Calon pengantin laki-laki melaksanakan ikrar sadat (ijab kabul) yang disaksikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Setelah ikrar sadat, sesepuh Samin memberi nasihat kepada kedua mempelai tentang perkawinan. Sebagaimana ikrar sadat yang telah diucapkan, kedua mempelai diharapkan menjaga pernikahan mereka agar tetap langgeng karena sadat berfungsi untuk selamanya (sadat sepisan kanggo selawase).
Masyarakat Samin merupakan komunitas yang menjunjung tinggi makna filosofis dalam kehidupan mereka. Seperti yang dikatakan sesepuh Samin di akhir acara, bahwa sadat sepisan kanggo selawase. Dalam arti bahwa ijab kabul ini seharusnya hanya dilakukan sekali untuk seumur hidup. Maka, setelah adanya sadat yang telah diikrarkan kepada satu wanita, warga Samin tidak boleh mengucapkan sadat lagi kepada wanita lain.
Perceraian adalah satu istilah yang tidak dikenal dalam hukum adat Samin. Pasangan yang telah melaksanakan perkawinan diwajibkan untuk menjaga keharmonisan perkawinan mereka sampai ajal menjemput. Kesetiaan terhadap pasangan merupakan “harga mati” dalam filosofi perkawinan masyarakat Samin.
Tradisi adat Samin memberikan kesempatan kepada warganya untuk mengenali calon pasangannya secara mendalam melalui nyuwito. Laki-laki diharuskan untuk menginap di rumah calon mertuanya untuk membantu pekerjaan sehari-hari dalam beberapa waktu yang telah disepakati, sehingga para pihak diharapkan mengenal secara detail sifat dan watak masing-masing.
Selain kepada keluarganya, pihak laki-laki diwajibkan untuk mengenal calon pengantin perempuan dengan baik. Hubungan yang intensif diharapkan mampu menjadikan mereka mengetahui seluk beluk satu sama lain. Dalam tahap ini, mereka wajib melakukan persetubuhan (ngrukuni). Persetubuhan dianggap sebagai jalan untuk membentuk komunikasi yang efektif. Pada kesempatan itu pula keduanya dapat melihat sisi biologis dan psikologis pasangan.
Ketika telah terjadi persetubuhan, kedua calon pengantin dipertegas kembali perihal keputusannya, apakah mereka telah merasa saling cocok?. Jawaban yang diberikan oleh pasangan ngrukuni tidak boleh didasari atas keterpaksaan. Jika memang saling cocok, perkawinan akan dilanjutkan. Namun ketika salah satu atau keduanya saling merasa tidak merasa cocok, maka prosesi perkawinan tidak akan berlanjut.
Kunci kelanggengan hubungan perkawinan warga Samin terletak pada prosesi sebelum akad. Mereka harus mengatahui sedetail mungkin sisi luar dan dalam pasangan sebelum keduanya telah mengikat diri dalam janji yang suci karena ideologi Samin melarang keras pelanggaran janji yang telah diucapkan warganya.
Satu hal yang dapat kita pelajari dalam perkawinan masyarakat Samin adalah cara mereka menjaga keutuhan perkawinannya. Mereka telah mengetahui kondisi pasangan masing-masing, sebelum akhirnya memutuskan untuk berjanji sehidup semati dengan pasangannya. Akad nikah yang telah diucapkan harus didasarkan atas “kemerdekaan” seseorang untuk mengenal pasangan.
Jangan sampai kita berada dalam posisi “membeli kucing dalam karung”. Maka, selayaknya kita harus mengetahai latar belakang, karakter, dan visi hidup calon pasangan yang diharapkan mampu merealisasikan harapan “menua bersama”. Namun, cara memilih pasangan versi masyarakat Samin tidak perlu diadopsi seluruhnya. Pada sisi-sisi yang bertentangan dengan norma, seperti persetubuhan, tidak perlu dipraktekkan.
Penyunting: Nadya Gadzali