“Carilah di gunung-gunung

di dalam gua dan di situlah letaknya

air suci yang sesungguhnya belum pernah diceritakan

ada yang tahu tempat air suci itu”.

Werkudara jelas tak mencari tirta amerta mahening suci di Singosari. Andai pandawa itu tahu kalau di kaki Gunung Arjuna mengalir sebuah sendang yang konon memancarkan air suci, ia tentu tidak perlu repot-repot menghancurkan Gunung Candramuka dan bergelut melawan dua raksasa seperti yang tertulis dalam Serat Dewa Ruci.

Mata air ajaib itu bersebelahan dengan sebuah candi bercorak Buddha, yakni Sumberawan, di suatu desa di kaki gunung. Stupa kuno itu dikepung pokok-pokok pinus yang seolah melindungi dan menambah nuansa sakral area itu.

Suara serangga mengisi udara begitu saya menginjakkan kaki di kawasan Candi Sumberawan. Angin berembus pelan, gemericik air terdengar di kejauhan. Daun-daun pinus berguguran menutup tanah. Saya membubuhkan nama di buku tamu dan mengobrol sejenak dengan Rosida, sang juru pelihara. Ia adalah seorang perempuan paruh baya yang bersahaja. Sudah dua dekade ia mengemban tugas mulia itu.

Candi Sumberawan/Asief Abdi

Menurut dia, zona kudus tersebut semula bernama Kasurangganan yang berarti “taman” dan sudah eksis sejak periode Buddha namun masih digunakan hingga era Hindu. “Kalau kata ‘Sumberawan’ itu artinya ‘sumber’ dan ‘rawa’,” jelasnya sambil menunjuk sekeliling. Tempat tersebut memang dikelilingi rawa-rawa. Berbagai jenis tanaman hidrofit tumbuh subur. Konon, di belukar basah itu, legenda setempat tentang tirta amerta lahir.

Diceritakan, dahulu kala, di situlah seorang Belanda menembak seekor babi hutan. Si Belanda yakin pelor yang dimuntahkan bedilnya mengenai tubuh sang binatang. Hewan malang itu pun lari tunggang langgang hingga terperosok dan jatuh ke dalam air.

Syahdan, sesaat kemudian, si babi hutan muncul kembali, mengibas-ngibaskan badannya yang basah, seolah butir peluru tak pernah menembus kulitnya. Orang Belanda itu kaget. Dia yakin bidikannya tepat sasaran. Sejak itu, penduduk lokal percaya bahwa air yang memancar dari sendang tersebut bertuah. Begitulah desa tempat sumber air itu berada diberi nama Toyomerto yang berarti “air kehidupan”.

Terdapat dua mata air keramat di sekitar candi, yaitu Sendang Kamulyan dan Umbulan. Yang pertama terletak di bawah pohon beringin tua, tepat di samping candi, dan biasa digunakan untuk ritual ruwat. Airnya menyembur dari sesosok arca kepala naga. Kita tahu, ular itu acap dianggap penjaga dan erat kaitannya dengan kuasa kreatif alam semesta. Orang-orang percaya bahwa air dari sumber tersebut bisa melunturkan mala dan membasuh bersih seseorang dari dosa.

Sendang Kamulyan/Asief Abdi 

‌Mata air kedua, yaitu Sendang Umbulan, lazim digunakan orang untuk pengobatan lantaran dipercaya mujarab menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Jika di mata air sebelumnya saya melihat patung kepala naga, kini saya berhadapan dengan arca kura-kura yang bagi umat Hindu merupakan perlambang jagat raya sekaligus avatar Wisnu. Saya berjongkok untuk menadahi air menggunakan telapak tangan lalu mereguknya. Rasanya dingin dan segar.

Sendang Umbulan/Asief Abdi

Sang juru piara berkata bahwa hingga kini, orang-orang masih menghormati sumber air tersebut. “Saban tahun kami menggelar ritual pengambilan air suci oleh tokoh masyarakat,” paparnya. Selain dilatari nalar mitologis, sendang itu memang vital bagi warga kampung sekitar sebagai penyedia air bersih.

Mitos air kehidupan hadir di berbagai kebudayaan. Dalam Serat Dewa Ruci, agaknya tirta pawitra merujuk pada tirta amerta yang dalam kosmologi Hindu bisa memberi hidup abadi bagi siapa pun yang meneguknya. Orang Barat mengenal Fountain of Youth, suatu mata air yang konon dicari-cari penjelajah Spanyol, Ponce de Leon. Sesiapa yang minum dari telaga tersebut bakal awet muda. Kisah itu mengilhami sekuel keempat Pirates of The Carribean. Dalam film tersebut,  Jack Sparrow harus menjelajahi samudra untuk mencari aqua de vida. Jagat Islam juga punya mite sejenis, yakni ainul hayat, mata air ajaib yang telah membuat Khidir hidup sampai akhir zaman. Terdapat pula kisah tentang Alexander Agung yang mencari air abadi di tanah kegelapan. Jadi, sebenarnya, ada apa dengan air?

Bagi manusia, alam menyediakan beragam simbol untuk dimaknai.  Air, misalnya. Ia jamak diasosiasikan dengan kekuatan feminin yang menghidupkan, yang pasif tapi juga sanggup menghanyutkan dan merusak. Elemen tersebut lekat dengan fertilitas. Kultus air pun lahir. Lain dari itu, air yang mengalir dan membasuh apa saja yang ia lewati menjadikannya medium penyucian dalam bermacam tradisi.

Kepercayaan tersebut nyatanya masuk akal dan memperoleh legitimasi sains. Hubungan antara air dan daya hidup pun menjadi logis. Bahkan tubuh kita sebagian besar terdiri atas air. Tanpa senyawa itu, kehidupan di muka bumi tak mungkin seperti sekarang. Hanya ketika organisme autotrof primordial mampu memecah H2O menjadi oksigen, babak baru kehidupan di bumi bermula. Begitu gas oksigen menyesaki atmosfer, organisme-organisme baru pun bermunculan, termasuk leluhur kita.

Hidup yang panjang dan awet muda agaknya telah lama menjadi angan-angan tertinggi anak Adam. Rasa takut akan mati memotivasi orang untuk melakukan apa saja demi lolos dari rahang maut. Manusia ingin seperti dewa yang kebal ajal. Itulah mengapa mitos-mitos tentang air hayat atau cerita dengan konsep serupa lainnya macam epos Gilgamesh selalu menampilkan upaya juang habis-habisan.

Kisah-kisah kuno itu, saya pikir mencerminkan obsesi manusia akan hidup. Dan, tampaknya pola tersebut masih termanifestasi di dunia modern kini. Terobosan-terobosan yang terus diciptakan ilmuwan di bidang sains kedokteran, mulai dari terapi gen hingga teknologi nanorobot sangat mungkin didorong tendensi yang sama dengan mite keabadian. Kalaupun manusia gagal lari dari sabit kematian, kebanyakan dari kita toh yakin kalau jiwa akan kekal di alam baka. Seperti judul lagu Dream Theater, “The Spirit Carries On”. Pada akhirnya, manusia sendiri yang menjadikan dirinya abadi. Meski begitu, narasi perihal air tahir tak melulu tentang umur panjang dan kekekalan.

Dalam kisah Dewa Ruci, perjalanan Bima mencari air kehidupan dipicu niat yang berbeda dengan Gilgamesh, sang raja Uruk yang jelas-jelas takut mati usai menyaksikan sahabatnya wafat. Pencarian akan tirta pawitra justru menuntun Bima mencapai kesejatian dan kejernihan pikir. Malah, wejangan sang wiku mengingatkan kesatria itu perihal kematian.

“Yaitu tentang mati dalam hidup

dan hidup dalam mati

tetapi sesungguhnya hidup selamanya

yang mati itu adalah nafsu

badan lahir yang hidup itu

telah bersatu dengan badan hakiki

itulah persatuan wujud

beginilah merasakan mati itu”.

Maka, dalam cerita tersebut, air merupakan simbol purifikasi sekaligus wahana manunggal dengan yang ilahi.

Pada akhirnya, bagaimanapun, tirta amerta hanya eksis sebagai legenda. Atau, seperti tertulis dalam Serat Dewa Ruci, barangkali “hanya air yang tahu tentang air”. Akan tetapi hal tersebut tak mengurangi nilai air bagi seluruh bentuk kehidupan di muka bumi. Sayangnya, seiring zaman, laku takzim manusia terhadap sang tirta kian menguap.

Sekarang, alih-alih benda keramat, air kerap dipandang sebagai komoditas dagang belaka. Unsur alam itu tak lagi sakral, ia kini komersial. Manusia tak lagi merasa berdosa saat mengotori sungai dan mencemari telaga. Kita abai pada ancaman kekeringan yang menghantui dunia di masa mendatang. Padahal, lima miliar orang diprediksi bakal sulit mengakses air tawar pada 2050.

Saat mata air mengering dan sungai tak lagi mengalir, ketika sawah-sawah sekarat dan dunia di ambang kiamat, barangkali kita akan sama kalapnya dengan Werkudara. Di bawah bayang-bayang krisis iklim, masihkah kita sudi hidup abadi?

Penyunting: Nadya Gadzali