Bagaimana bangsa ini mengenang sosok mahir ilustrasi yang menyingkap cakrawala budaya melalui komik?
Ia adalah Raden Ahmad Kosasih, putra pasangan Raden Wiradikusuma dan Sumami yang gemar menyaksikan lakon wayang golek semalam suntuk. Minatnya pada komik baris (komik strip) juga sudah tampak sejak kecil. Ia senang meskipun kerap mendapati komik strip favoritnya beralih fungsi menjadi kertas yang mengemas aneka belanjaan di pasar tradisional. Kelak, ia dikenal dengan nama R.A Kosasih, pencipta ratusan komik legendaris berbagai genre, mulai dari superhero, wayang, mitologi, epos, hingga silat.
Berawal dari keengganannya menjadi ambtenaar, selepas menamatkan pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School, Kosasih lebih tertarik menjadi juru gambar di Instituut voor Planten ziektenBuitenzorg (Bogor). Tahun 1939 ketika itu, ia bekerja sebagai ilustrator buku-buku terbitan Departemen Pertanian Bogor sambil menyambi profesi ilustrator komik strip di Harian Pedoman.
Sebelum Kosasih, Kho Wang Gie telah lebih dulu dikenal sebagai komikus Indonesia yang membuat komik strip bertemakan budaya. Dinamika kehidupan masyarakat peranakan Tionghoa di Batavia digambarkan Gie melalui tokoh utama bernama Put On. Konten bergenre humor yang tayang secara berseri itu diterbitkan di koran Sin Po, surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu, sejak 2 Agustus 1931.
Komik strip tak begitu memuaskan hasrat pembaca lantaran hanya terdiri dari beberapa bingkai kolom saja setiap satu kali terbit, namun kekhasan tema menjadikan Gie sebagai pionir komik strip yang mengusung tema kultur Tionghoa.
Tahun 1954, komikus Indonesia menyadari bahwa konsep yang ditawarkan oleh komik Amerika mendapat perhatian dari masyarakat. Mereka pun mencoba peruntungan dengan mengadaptasi penokohan dalam komik Amerika ke dalam tokoh-tokoh bernuansa kearifan lokal Indonesia. Salah satunya, karakter adipahlawan pertama Indonesia, Sri Asih.
Bersama Penerbit Melodie Bandung, Sri Asih dicetak sebanyak 3000 eksemplar. Komik dengan tokoh utama bernama Nani Wijaya, gadis lugu yang terlahir dari keluarga kaya raya. Sri Asih dikisahkan sebagai titisan Dewi Asri yang memiliki kekuatan setara 250 pria dewasa, serta dianugerahi kesaktian Triwikarma: mampu menggandakan diri dan memperbesar tubuh bak Dewa Wisnu.
Kosasih boleh dikatakan cukup berani menentang pandangan kaum pendidik tentang budaya Barat. Premis yang berkembang pada saat itu: komik membuat seorang pelajar malas membaca teks dan dianggap menjauhkan masyarakat Indonesia, terutama pelajar, dari proses pembelajaran menurut standar pendidikan Indonesia.
Sri Asih digambarkan sebagai sosok perempuan tangguh berkemampuan super layaknya Wonder Woman. Guna mencegah tudingan melanggengkan hegemoni kebudayaan Barat, nilai budaya lokal dihadirkan melalui penampilan Sri Asih yang tetap mempertahankan tradisi Jawa: berbalut kain jarik dan berlilit kemben layaknya kostum pemeran perempuan dalam pertunjukan wayang orang. Inspirasi ini diperoleh dari permainan dalang saat membawakan sejumlah lakon.
Selain Kosasih, komikus Johnlo juga melahirkan karakter adipahlawan bernama Puteri Bintang dan Garuda Putih (Marcell Bonneff, Jakarta, 2008). Tema yang menurut Lekra tak sesuai dengan visi kerakyatan dan lingkungan lokal Indonesia.
Dalam komik superhero Amerika, alur cerita dititikberatkan pada keberanian, kekuatan fisik, dan superioritas tokoh utama. Kriteria itulah yang tampaknya membuat komik Amerika dengan mudah diterima oleh pasar Indonesia. Realitas yang sama kemudian ditawarkan Kosasih melalui penokohan komik adipahlawan Indonesia. Dalam karyanya yang berjudul Sri Asih dan Siti Gahara misalnya, tokoh utama tak pernah gagal memecahkan misteri dan menumpas kejahatan.
Kendati demikian, Sri Asih tetap dipandang sebagai sosok adipahlawan pertama Indonesia hasil imitasi budaya Amerika yang tak sesuai dengan kepribadian bangsa, sebagaimana ditentang oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), kelompok yang begitu sengit menentang imperialisme Barat.
Sebagai reaksi atas tuduhan itu, Kosasih mengubah ciri khas kekaryaannya dengan mengusung tema wayang. Sejak itu, karya-karyanya selalu bermuatan budaya lokal. Di antaranya, mewujud ke dalam karakter, penamaan, tata bahasa, hingga alur cerita. Kisah heroik dalam peperangan Bharatayudha bertransformasi menjadi deretan panel yang membingkai wujud-wujud wayang orang, begitu pula yang terdapat di dalam komik Parikesit dan Dasamuka Lahir (Rahwana).
Komik berlatar wiracarita berjudul Mahabharata dan Ramayana menjadi dua karya Kosasih yang tak hanya mampu melintasi zaman, tetapi juga tertanam dalam memori kolektif masyarakat Indonesia. Transformasi teks ke bahasa rupa menjadikan Kosasih "Bapak Komik Wayang Indonesia". Sebagaimana diungkap Dwi Koendoro dalam tugas akhir I Wayan Nuriarta (ISI Denpasar), “Komik Wayang; Transformasi Teks Verbal ke Dalam Bahasa Rupa”, bahwa R.A Kosasih adalah komikus yang memperkenalkan wayang di Nusantara melalui komik. Dari beberapa karya yang ia gubah, lakon wayang akhirnya terpilih menjadi tema sentral.
Kedua epos bermuatan kemanusiaan itu ditempa sedemikian rupa sehingga menjadi fragmen kolosal yang dapat diterima khalayak tanpa memerlukan penalaran yang rumit. Ringan sekaligus berbobot, itulah sensasi pembacaan atas teks dan visual dalam komik Kosasih, baik ketika dibaca oleh dewasa maupun kanak-kanak. Pembaca akan segera hanyut dalam heroisme Bhisma dan Gatotkaca, bahkan ikut terlibat dalam konflik sengit antara Sangkuni dan Widura. Pun, dalam momen-momen heroik kesatria ketika berada sejengkal lagi dari maut.
Ringkasan sloka-sloka Veda disajikan ke dalam jilid khusus Bhagawadgita. Kreshna dan Arjuna di tengah pertempuran Kurusetra dibingkai dalam wujud wayang. Siasat itu dilakukan Kosasih agar karya-karyanya memuat unsur budaya. Bhagawadgita pun menjelma bacaan universal yang tak terbatas hanya untuk segmen pembaca beragama Hindu.
Seakan menolak surut, pada rentang tahun 1960an, ketika gandrung masyarakat terhadap wayang mulai memudar, Kosasih mengubah haluan dengan membuat alterasi mitologi dan kisah klasik seperti Mundinglaya Dikusumah dan Ganesha Bangun.
Gaung karya-karya Kosasih masih terdengar hingga saat ini, bahkan dicetak ulang dan tetap dipasarkan. Sebagian menyebutnya langka agar dapat membandrol harga tinggi-tinggi, sebagian lagi menghargai karya-karya Kosasih sebagai warisan budaya yang tak dapat dinilai dengan materi.
Kosasih mengajarkan bahwa proses menjadi Indonesia salah satunya adalah dengan meleburkan berbagai identitas ke dalam sketsa hitam-putihnya. Dalam tjergam.com, Seno Gumira Ajidarma menyebutnya sebagai “sesuatu yang Indonesia”. Meskipun Mahabharata dan Ramayana tak memainkan peran Penakawan, Kosasih telah menasionalkan kisah wayang dalam Bahasa Indonesia, bahasa yang sedang membentuk dirinya ketika itu.