Kegemaran menjelajah tempat-tempat jauh membuat saya lupa menyambangi lingkungan terdekat. Potensi daerah sekitar terlambat diketahui, padahal sebuah sentra penghasil batik berada tak terlalu jauh dari tempat tinggal saya, Hasan Batik.
Meskipun telah lama bergiat di industri busana, Hasan Batik tetap mempertahankan bangunan lama khas tahun 80-an di kawasan Cigadung, Kota Bandung. Pemiliknya tetap menjaga agar rumah produksi batik yang ia kelola tetap sederhana. Tak ada bangunan mewah atau elemen dekoratif yang terkesan muluk. Gerainya pun hanya bersolek karya-karya para pengrajin batik ala kadarnya.
Keteduhan itu salah satunya menjelma pada hiasan dinding bermotif kolase batik “kawung” yang dipajang di salah satu sudut ruangan, serta setumpukan kain batik yang tersusun rapi di ambalan (rak) yang berada tak jauh dari gawang peraga yang memamerkan sejumlah pakaian batik.
Hasan Batik adalah sentra pembuatan batik yang didirikan pada tahun 1978 oleh Drs. Hasanuddin, M.Sn—Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung asal Pekalongan. Uniknya, Hasan Batik digandrungi pecinta batik bukan karena mempertahankan tradisi batik lawasan, melainkan keberaniannya melawan arus dengan membuat rupa-rupa batik kombinasi dan tambal-sulam.
Sang Guru akrab dengan seni batik sejak kecil, sebagaimana daerah asalnya, Pekalongan—kota yang masyhur dengan julukan kota batik, sekaligus yang membuatnya mengalami proses pendewasaan di jalur seni. Hingga tutup usia, beserta latar belakang keilmuannya, Hasan mampu mewariskan hal terbaik yang membuatnya layak dikenang, yakni segudang ilmu tentang menjalankan usaha batik pada keturunannya.
Jika batik dipandang sebagai sesuatu yang usang, Hasan Batik justru menjawab tantangan zaman melalui pengaplikasian motif yang tak selalu seragam. Meski begitu, Hasan Batik melakukan modifikasi motif batik tanpa menghilangkan kedalaman maknanya.
Tak berlebihan jika saya menyebut Hasan Batik sebagai produsen batik kontemporer. Pasalnya, dari segi tema, Hasan Batik mampu merefleksikan situasi saat ini, meskipun motifnya tetap diadaptasi dari ragam hias motif batik klasik, seperti hiasan dinding hasil perpaduan kain bermotif kawung aneka warna dan ukuran kembang tak simetris yang dijahit secara acak.
Persinggungan antara seni tradisional dan modern tak hanya membuat Hasan Batik dikenal sebagai produsen batik yang berani melintasi batas-batas kekakuan, tetapi juga mampu membuka ruang perkenalan antara masyarakat dengan berbagai kemungkinan dalam motif batik—yang meskipun ke luar dari pakem tradisional—dapat memantik semangat pelestarian warisan budaya Nusantara. Hasan Batik menjadikan batas-batas itu lebur dan membentuk citranya sendiri: warisan budaya yang arkais dan mampu beradaptasi dengan kemajuan zaman.
Setiap karya yang digubah adalah ekspresi artistik dan pengalaman panca indera yang hendak disampaikan oleh kreatornya. Karena itu, simbol-simbol yang tersirat pada kain batik, baik tradisional Nusantara maupun yang berkorelasi erat dengan kepercayaan tertentu merupakan bentuk komunikasi nonverbal orang-orang terdahulu, tentang beragam pengetahuan, perasaan, atau peristiwa yang pernah dialami.
Asal muasal terciptanya motif batik antara lain ialah perasaan berduka, seperti motif batik truntum perlambang kesedihan Ratu Beruk, istri Pakubuwono III.
Dikisahkan bahwa Sang Raja hendak mempersunting selirnya untuk memperoleh keturunan. Rencana itu membuat Ratu Beruk bersedih dan beranjak dari istana untuk melakukan pertapaan. Sang Ratu kemudian meratapi kesedihan seraya melukiskan truntum, gambaran angkasa yang tengah berkalang bintang pada malam ia bertapa.
Ketelatenan Ratu Beruk menjadi cikal bakal terciptanya batik truntum, atau yang dikaitkan dengan tumaruntum dalam Bahasa Jawa: simbol kesetiaan, keabadian, dan ketulusan hati. Itu sebabnya, batik truntum lazim dikenakan pada acara pernikahan adat Jawa.
Dari segi teknik perintangan warna, Hasan Batik masih menggunakan canting dan lilin panas sesuai defisini UNESCO, bahwa batik adalah kain bergambar dengan teknik perintangan warna menggunakan lilin panas untuk membentuk motif tertentu.
Prosesnya yang panjang dan rumit membuat produsen batik tak selamanya dapat memenuhi permintaan pasar. Pasalnya, untuk memproses selembar kain batik saja, dibutuhkan kesabaran dan ketelitian yang sangat tinggi. Dimulai dari kegiatan membuat pola di atas kertas (drafting), sampai meluruhkan kerak lilin yang melekat pada kain (washing).
Setidaknya, ada 10 tahapan untuk membuat batik tulis, diawali dengan nyungging atau proses membuat pola di atas kertas yang dilakukan oleh drafter. Tak semua orang dapat memiliki keahlian ini. Mereka yang berpengalaman dalam membuat pola biasanya telah berpengalaman di industri batik dan menguasai dasar-dasar keterampilan menggambar.
Berikutnya adalah njaplak atau memindahkan pola yang digambar di atas kertas ke permukaan kain, kemudian nglowong atau proses melekatkan lilin panas ke permukaan kain sesuai dengan pola yang telah dibuat sebelumnya. Dilanjutkan dengan ngiseni yang berasal dari kata isen-isen (isian), yaitu menambahkan ornamen tertentu pada kain batik, baik flora maupun fauna.
Pemberian warna pada bagian-bagian tertentu dengan kuas atau nyolet adalah tahapan lanjutan dari ngiseni. Sedangkan proses menutup bagian kain yang telah dicolet dengan lilin disebut dengan mopok.
Dilanjutkan dengan proses menutup bagian latar belakang pola yang tak perlu diwarnai (nembok), mewarnai kain secara keseluruhan dan merendamnya ke dalam pewarna (ngelir), meluruhkan malam tahap pertama dengan merendam kain di dalam air mendidih (nglorod), ngrentesi atau memberikan motif titik pada klowongan menggunakan canting berujung tipis, nyumri atau menutup bagian tertentu dengan lilin panas.
Keseluruhan proses ditutup dengan nglorod tahap kedua, yakni melarutkan sisa lilin pada kain dalam air mendidih, diakhiri dengan mengeringkan kain batik dengan cara memanfaatkan hembusan angin.
Hasan Batik menyiasati permintaan pasar dengan memproduksi berbagai jenis batik cap menggunakan cetakan yang terbuat dari tembaga. Tengok saja ruang produksinya yang menyimpan aneka cetakan tembaga, baik motif batik klasik maupun motif khusus sesuai permintaan pelanggan (custom on demand).
Kendati proses produksinya dipermudah oleh stempel bermaterial tembaga, namun potensi dan keahlian para pengrajinnya tak dapat diragukan. Sebab, seluruh proses pembuatan dikerjakan oleh tenaga terlatih untuk menghasilkan kain batik yang memenuhi standar kelayakan.
Hasan memang telah tiada, namun semangatnya tetap tinggal. Kelima orang putrinya kini melanjutkan perjalanan Sang Ayah dengan terus memproduksi beragam produk batik kombinasi dan tambal-sulam (patchwork batik) berefek tiga dimensi.
Upaya lainnya adalah menggiatkan promosi batik di dalam dan luar negeri, serta terus membuka kesempatan mengenal batik lewat berbagai program penerimaan siswa magang dan PKL. Dengan begitu, semangat berkarya Hasan tak pernah mengenal kata surut.