Mengikuti serangkaian upacara ngaben massal, rasanya seperti menyaksikan kompleksitas atau kerumitan siklus hidup-mati yang diyakini oleh umat Hindu di Pulau Bali. Gelora upacara ngaben massal tak hanya dipandang sebagai kekhidmatan yang diperoleh dari keteraturan situasi ritual-sakral semata. Lebih dari itu, ritual kremasi juga membuka banyak celah yang dapat ditarik ke dalam arena dialektika.
Kematian, bagi masyarakat Hindu-Bali adalah persoalan ekonomi sekaligus menjadi ruang interaksi, komunikasi, serta jalinan keterhubungan relasi sosial. Melalui ngaben massal, potensi untuk saling menumbuhkan kreativitas berkesenian dan sarana apresiasi budaya pun dapat diidentifikasi dari banyaknya unsur-unsur auditif musikal, visual serta atraksi.
Catatan etnografi ini merupakan refleksi pengalaman saya ketika terlibat secara langsung di dalam upacara ngaben massal bersama keluarga besar I Nengah Muliana dan Ni Nyoman Astaman pada tahun 2015, di Desa Bona, Gianyar.
Peristiwa Melapangkan Jalan Arwah
Sebagai bagian dari tradisi, upacara ngaben merupakan bentuk penghormatan terhadap roh leluhur. Dalam keyakinan agama Hindu-Bali, ngaben merupakan sarana untuk meleburkan unsur-unsur panca mahabhuta yang masih melekat di tubuh jenazah. Melalui ngaben pula, roh orang yang telah meninggal dapat segera menuju alam satya loka atau berreinkarnasi ke dalam siklus samsara. Hal ini ditentukan oleh budi atau karma manusia selama menjalani hidup di dunia.
Dalam bahasa lokal Bali, istilah ngaben berasal dari kata ngabehin, yang artinya melebihi. Pesan yang terkandung di dalamnya juga dapat diartikan sebagai besarnya biaya yang dianggarkan untuk pelaksanaan upacara. Besar-kecilnya biaya tersebut, mencerminkan status sosial serta tingkatan ekonomi keluarga yang melaksanakan hajat.
Ada sebuah anggapan bahwa, semakin besar skala upacara ngaben—semakin banyak orang yang terlibat—maka semakin tinggi pula citra karismatik keluarga pelaksana. Tetapi pada dasarnya, ngaben merupakan serangkaian upacara adat yang membutuhkan kesiapan finansial tertentu. Bagi kelompok masyarakat menengah ke atas, pengabenan secara swadana tidaklah menjadi persoalan.
Namun lain halnya dengan kelompok masyarakat dengan taraf ekonomi menengah ke bawah yang terpaksa menunda pelaksanaan ngaben. Sementara penundaan ini, diyakini akan memengaruhi perjalanan sang atman (roh) ke alam Swah Loka. Sebab artinya, jasad harus ‘disemayamkan’ terlebih dahulu di setra (kuburan), sampai keluarga siap untuk menggelar ritual kremasi.
Adapun besarnya anggaran harus memenuhi syarat dan prasyarat upacara, di antaranya: penyediaan bade (wadah jenazah), kain, banten, aneka macam sesaji, jasa pemain musik, bahan-bahan makanan selama upacara berlangsung, hingga biaya untuk membeli hewan ternak (babi dan unggas) yang akan dijadikan persembahan di dalam upacara.
Pitra rna atau hutang kepada leluhur ialah alasan utama mengapa upacara ngaben bersifat mutlak bagi umat Hindu di Bali. Sedangkan ngaben massal, merupakan alternatif solusi untuk menuntaskan hutang tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, ngaben massal tidak lagi mencerminkan kemampuan finansial seseorang. Ngaben kini telah berkembang menjadi semacam peleburan berbagai unsur. Setiap orang dapat melibatkan diri tanpa perlu khawatir dipersoalkan latar belakang maupun status sosialnya.
Filosofi Duwenang Sareng
Menariknya, masyarakat Bali mempunyai cara sendiri untuk mengurai kerumitan tersebut lewat prinsip duwenang sareng yang terangkum ke dalam berbagai jenis kreativitas dan pengetahuan masyarakat Bali—sebagaimana keterlibatan banten, blawa, undangi, serati, pengrawit, pinandita, pengidung, hingga pecalang.
Duwenang sareng ialah prinsip kebersamaan, kegotong-royongan, serta saling menghargai di antara sesama anggota masyarakat. Prinsip ini meliputi setiap peran yang dijalankan oleh masing-masing individu, di antaranya: mejejahitan, yaitu seniman pembuat anyaman, penjor dan bermacam banten dari daun lontar; blawa atau juru masak yang memastikan ketersediaan makanan selama berlangsungnya upacara; undagi yang ahli dalam membuat ukir-ukiran di atas kain atau kayu; pecalang yang bertugas menegakkan sistem keamanan; keluarga yang mengambil dan memandikan tulang-belulang jenazah, serta pihak-pihak lainnya yang diperbantukan secara teknis (ngayah).
Paruman: Otoritas Tertinggi dalam Struktur Pelaksana Upacara Ngaben Massal
Jumlah nisan di areal pekuburan di Bali tak sebanyak yang kita lihat di Jawa, sebab konsepsi pekuburan bagi umat Hindu di Bali—sebatas persemayaman sementara bagi badan kasar, sampai upacara ngaben benar-benar dapat dilaksanakan.
Pada prosesi ngebet sawa—ketika batu-batu nisan dihancurkan, liang kubur digali dan tulang-belulang dikeluarkan dari dalam tanah, secara bersamaan terdengar pula seruan “bangun... bangun... bangun...” yang dilantangkan oleh anggota keluarga.
Setelah jenazah' tertidur' cukup lama, ritual ngebet sawa kemudian mengakhiri keterwakilan kuburan sebagai tempat bersemayamnya jasad. Dalam ajaran Hindu Dharma, ngebet sawa diartikan sebagai momen dramatis yang mempertemukan kembali anggota keluarga dengan leluhurnya. Sebab pada prosesi ini, tulang-belulang yang semula berada di dalam liang kubur, diangkat dan disempurnakan lewat serangkaian upacara ngaben massal.
Setelah jumlah sawa dihitung, selanjutnya paruman (rapat desa adat) digelar guna menyepakati beberapa hal, di antaranya, mekanisme penyederhanaan biaya atau ngerit (baca: ngirit) agar pelaksanaan ngaben massal tidak membebani penyelenggara upacara.
Selain berdampak pada keringanan biaya, paruman juga berperan penting dalam memobilisasi jalannya upacara, yakni untuk memetakan ruang, waktu, serta keterlibatan sumber daya manusia.
Manajemen ruang dapat dilihat pada areal pekuburan di desa-desa yang dibersihkan kembali selepas prosesi ngebet sawa. Tujuannya, agar lahan dapat digunakan untuk menguburkan jenazah baru. Sedangkan manajemen waktu, berkaitan dengan momentum, termasuk mempersiapkan seluruh sarana dan pra-sarana yang dibutuhkan dalam upacara ngaben massal. Manajemen sumber daya manusia pun menjadi faktor penentu, lantaran setiap orang akan diserahi tugas sesuai dengan keahlian masing-masing.
Setiap pembagian tugas itu terikat dalam sistem adat, dikerjakan tanpa pamrih, serta mengutamakan duwenang sareng—dengan menempatkan paruman sebagai otoritas tertinggi.
Unsur-Unsur Seni dalam Perayaan Ngaben Massal
Ngaben massal tidak hanya menyajikan keindahan atau menghadirkan kekayaan budaya lokal semata, melainkan ada banyak material seni yang menjadi daya tarik—baik yang bersifat aural, visual, maupun atraktif.
Secara aural, kekayaan budaya Bali tercermin di dalam kreativitas musikal yang terbingkai melalui bunyi-bunyian Panca Gita. Kreativitas visual nampak pada simbol-simbol yang melekat pada berbagai macam elemen dekoratif. Sedangkan sisi atraktifnya, tercermin lewat gerakan-gerakan tubuh para pengayah upacara.
Unsur-unsur bebunyian Panca Ghita terdiri dari bunyi kulkul, bajra, puja mantra, kidung, dan tabuhan gamelan. Dalam bahasa musik, gending Tung-tung Tangis yang dimainkan dalam Gamelan Angklung merupakan gending yang diyakini paling mewakili suasana hati keluarga yang ditinggalkan. Sebagaimana arti kata ‘tangis’ itu sendiri, yang dalam konteks ini—digambarkan sebagai kesedihan, kedukaan, atau kepiluan atas kepergian roh ke alam nir.
Gending Tung-tung Tangis kerap ditabuh ketika mengiringi suasana duka. Dibawakan di kediaman keluarga mendiang, maupun ketika di setra. Sedangkan kata ‘tung-tung’ mewakili bunyi kendang angklung itu sendiri. Pola ritmisnya mengisyaratkan dinamika perasaan yang bercampur aduk, antara sedih dan senang. Secara manusiawi, perasaan sedih itu muncul lantaran berpisah dengan anggota keluarga. Sementara itu, manifestasi perasaan senang didasari oleh keyakinan bahwa roh anggota keluarga yang meninggal dapat segera melanjutkan perjalanannya ke alam Swah Loka.
Selain Gamelan Angklung, terdapat pula perangkat Gamelan Baleganjur yang dimainkan pada saat arak-arakan. Komposisi musik pada Gamelan Baleganjur umumnya mempunyai karakter yang ramai dan riuh. Hal inilah yang menjadi medium pengantar, serta memberikan motivasi kepada para pengarak bade agar terus bersemangat.
Elemen Dekoratif dalam Upacara Ngaben Massal
Pada pelaksanaan upacara ngaben massal, bade digunakan sebagai kendaraan sekaligus wadah pembakaran jenazah. Berhiaskan banten dan rerajahan, para seniman undagi membuat kreasi berupa ukir-ukiran yang umumnya menyimbolkan elemen-elemen di dalam kehidupan.
Sementara itu, hasil kreativitas seni yang ditunjukkan oleh para serati atau tukang pembuat banten merepresentasikan banyak hal terkait simbol dewa-dewi serta aneka unsur pembentuk kehidupan. Sedangkan pada bentuk rerajahan, terlukis di dalam aksara-aksara suci yang erat kaitannya dengan pelepasan unsur-unsur duniawi pada badan kasar.
Unsur atraktif yang menjadi daya tarik dalam ngaben massal adalah adanya aksi para pengayah ketika mengarak bade menuju pekuburan—diiringi oleh ramainya tetabuhan musik dari Gamelan Baleganjur. Sepanjang perjalanan menuju kuburan, para pengayah melakukan atraksi memutar bade sebanyak tiga kali dengan melawan arah putaran jarum jam. Hal ini merupakan simbol kembalinya unsur-unsur Panca Mahabhuta ke tempat asalnya masing-masing. Makna dari memutar bade di pertigaan atau perempatan jalan dimaksudkan sebagai ungkapan ‘salam pamit’ arwah kepada anggota keluarga dan lingkungan sosialnya.
Sebelum memasuki proses pembakaran jenazah atau kremasi, pengayah akan memutar kembali bade di areal setra sebagai ungkapan perpisahan arwah kepada dunia materi. Uniknya, dalam setiap atraksi memutar bade ini, seseorang atau salah satu pengayah menyiprakan air suci ke kerumunan pemikul bade, menimbulkan sorak-sorai yang menandai puncak acara, sehingga arak-arakan terasa semakin meriah dan semarak.
Ngaben massal sejatinya memperlihatkan sisi lain kehidupan umat Hindu di Bali, ihwal betapa rumit dan kompleksnya kewajiban ‘melunasi hutang’ kepada leluhur—dimulai dari ngebet sawa, ngemandusin, mengarak bade, kremasi, hingga nganyut atau pelarungannya ke laut.
Pada akhirnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa tata cara pelaksanaan ngaben massal pada masyarakat Bali, dapat kita terapkan pula dalam kehidupan sehari-hari, agar hubungan antara manusia, alam dan Sang Pencipta dapat terjalin harmonis—sebagaimana keselarasan yang tersarikan di dalam konsep Tri Hita Karana.
Penyunting: Nadya Gadzali