Kendati ritual Tapa Bisu di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Daerah Istimewa Yogyakarta dilakoni tanpa prosesi Mubeng Benteng tahun ini, tampaknya kesakralan makna 1 Suro bagi masyarakat Jawa tak surut begitu saja.
Begitu pula di Keraton Kasunanan Surakarta Kota Solo. Meski Kirab Pusaka ditiadakan, namun ritual lain yang tak berpotensi menimbulkan kerumunan warga, tetap dapat dilakukan.
Di Jakarta, khidmat itu dirasakan oleh Nasip Hadi Prayitno (51) yang dipercaya oleh Museum Pusaka Taman Mini Indonesia Indah (TMII) untuk merawat koleksi pusaka yang ada di sana, termasuk membersihkan keris pada setiap tanggal 1 Suro menurut tradisi penanggalan Jawa.
Di tanggal 1 Suro Jimakir 1954 yang jatuh pada hari Kamis (20/8/2020), Hadi melakukan ritual jamasan atau pencucian keris di Museum Pusaka TMII.
Selain bertujuan untuk membersihkan kajiprat dari tubuh keris, ritual budaya yang dilakukan setiap tahun baru Islam 1 Muharram itu juga merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan keutuhan keris sebagai karya agung bagi kemanusiaan yang dikukuhkan oleh UNESCO pada tahun 2005 lalu.
Sebagai hasil cipta, rasa dan karsa para pendahulu kita, keris bukan hanya senjata yang dapat digunakan untuk menikam atau membela diri. Sebab pertarungan tak selamanya dilakukan di arena duel, melainkan pada wilayah batin yang meminta kita untuk bertempur melawan ego.
Sama halnya dengan sebilah keris. Jika pemiliknya enggan merawat, keris hanya akan menjadi seonggok benda yang kehilangan makna.
Untuk itu, diperlukan kerendahan hati dan pemahaman spiritual yang memadai agar sang empu bersungguh-sungguh dalam merawat benda pusaka berpamor itu. Salah satunya, dengan melakukan ritual pembersihan keris atau jamasan pada perayaan 1 Suro.
Tak sulit untuk mencari alasan mengapa seseorang harus merawat benda pusaka yang ia miliki.
Di masa lampau, keris merupakan representasi jati diri manusia Jawa yang mencitrakan keluhuran budi pekerti, sifat kesatria, serta kecakapan dalam menjalankan amanat Raja-raja.
Dalam mitos Pewayangan misalnya, dikisahkan bahwa Dewa-dewa telah menurunkan beberapa bilah keris untuk umat manusia. Sebagian jatuh ke kalangan Astina, sebagian lagi digunakan para Pandawa untuk bertempur melawan Kurawa dalam perang Bharatayuda.
Pada pertempuran selama delapan belas hari itu, beberapa keris pemberian Dewa kemudian lenyap. Ki Hudoyo Doyodipuro dalam "Keris: Daya Magis, Manfaat, Tuah, Misteri" memaparkan bahwa di kemudian hari, Raja-raja di tanah Jawa memerintah para Empu berkemampuan spiritual tinggi untuk melacak keberadaan keris-keris yang hilang lewat ritual tapa brata.
Setelah mendapat restu dari Sang Hyang Widhi, kemudian dibuatlah pola, bahan-bahan, sesaji dan besalen (ruang kerja bagi para pengrajin keris) untuk membuat tiruan pusaka keris yang hilang di medan Kurusetra.
Maka tak heran bagi seseorang yang jiwanya terpanggil untuk merawat keris seperti Hadi—memiliki penguasaan tinggi terkait sejarah, bentuk, pola dan ornamen pusaka yang dijaganya itu—termasuk makna dan filosofi yang terkandung pada Tombak Ki Joko Tole peninggalan zaman Majapahit.
Ritual jamasan kerap dianggap sebagai kultus terhadap benda pusaka keris. Padahal, menurut Hadi, membersihkan keris bukanlah semata-mata bentuk persembahan atau menyembah kepada suatu benda, melainkan untuk melestarikan budaya, merawat peninggalan sejarah, sekaligus menjadi wujud penghormatan kepada para empu yang telah membuat benda-benda pusaka tersebut.
Sebagai benda pusaka, keris memang diyakini memiliki daya magis yang dapat melindungi pemiliknya dari gangguan Roh Halus, kekuatan negatif, sekaligus berfungsi sebagai penolak bala, atau yang dalam tradisi Kejawen dikenal dengan istilah manunggal. Namun, konsep penyatuan ini hanya dapat terjalin jika terdapat hubungan timbal balik antara keris dengan sang pemilik.
Meski begitu, proses penyatuan antara keris dan sang pemilik tak melulu dibangun di atas pola-pola mistik tertentu. Sebagaimana 1 Suro dalam penanggalan Jawa yang diyakini sebagai hari yang sakral, ada pula yang melakoni ritual jamasan untuk melestarikan tradisi warisan leluhur.
Ritual ini selaras dengan falsafah Jawa "Memayu Hayuning Bawono", atau yang dalam pengertian ruang budaya (space culture) merupakan upaya manusia untuk merawat, memelihara dan melindungi segala unsur yang ada dalam tatanan hidup manusia dari kepunahan.
Sedangkan capaian tertingginya, secara spiritual terletak pada terciptanya suatu keselarasan antara manusia, alam dan Sang Pencipta lewat laku kebatinan tertentu. Dalam hal ini, ritual jamasan adalah satu dari sekian banyak cara untuk mencapai tujuan tersebut. Spiritualitas ruang-budaya itu pula yang memusat dalam ritual jamasan pada setiap pergantian tahun Jawa, 1 Suro.