Etnis.id - Artefak sedikit banyak membuat Indonesia dikenal sebagai bangsa yang punya peradaban maju. Seperti diskusiku pada Tampil, seorang museumolog di hadapan mumi dari Toraja.
Ujung bibir Tampil tertarik melebar. Ia memperlihatkan itu kepada semua pengunjung yang mendekati mumi dalam wadah berbentuk meja yang ditutupi kaca tebal. Dalam ruangan itu, tercium bau dupa yang sangat harum.
Tampil berbicara memakai pelantang suara. Ada spiker kecil tergantung di kerah kemeja kotak-kotanya. "Inilah bukti kalau Nusantara sudah sangat maju melebihi luar negeri sana. Indonesia itu baru, tetapi bangsa ini tidak."
Ia mengawali pembicaraan dengan membandingkan Eropa dan Indonesia. Eropa boleh indah dan terlihat maju. Tapi, baru berapakah umurnya? Ia mengomparasikannya dengan Nusantara. Candi, relief dan arca sudah menjadi bukti betapa leluhur kita sudah mengenal seni dan keindahan. "Peradaban kita lebih baik. Dulu. Sekarang, seperti mengalami kemunduran."
Saya mendengarnya sembari terkesiap melihat mumi yang ada di hadapan kami. Fotographer Etnis, Dumas Artadi, juga khusyuk menyimak penjelasan Tampil. Dumas, kawan saya itu, mengelilingi mumi untuk mengambil posisi foto yang mantap. Saya tak luput diabadikannya sewaktu berbicara dengan Tampil.
Saya memberi tahu Tampil, kalau dulu, sewaktu kecil, saya pernah mengunjungi Toraja. Saya memperkenalkan diri padanya. Saya bilang, saya dari Makassar, Sulawesi Selatan. Butuh waktu kurang lebih enam jam jika menggunakan kendaraan pribadi dan tak berhenti lama di titik-titik tertentu. Bisa delapan jam, kalau pakai angkutan umum.
Mumi yang tulangnya berwarna seperti buku tua yang lapuk itu memiliki sedikit rambut yang tipis di tengah kepalanya. Kautahu model rambut Meireles saat membela Portugal dalam helatan Piala Dunia beberapa tahun yang lalu? Begitulah modelnya. Samping kepalanya gundul dan atasnya hanya menyisakan sedikit rambut. Seperti anak punk.
Gigi mumi itu masih ada. Kokoh dan putih bersih. Tangannya bersedekap. Buku-buku jarinya terlipat dengan tampilan aneh. Saya sempat bertanya, kenapa gigi muminya masih utuh dan tak bolong seperti gigi milikku. "Pengurusan mumi ini memang khusus. Harus telaten," katanya. Ia dirawat dengan cara diasapi dan disimpan dalam ruangan bertemperatur khusus.
Syukurlah ada pendidikan yang tiap hari makin maju. Peninggalan seperti mumi, bisa diawetkan dan dipamerkan, hingga kita semua tahu dan bisa belajar dari orang-orang yang sudah meninggal. Kita patut tahu soal pria asal Eropa bernama Gysi, yang mempopulerkan istilah mumifikasi pada tahun 1899. Itu artinya, sebelum Gysi, cara merawat mumi sudah ada dan dijalankan.
Mumi yang dipamerkan dalam Pekan Kebudayaan Nasional 2019 di Istora Senayan itu, ternyata sudah berumur ratusan tahun. Dinas Kebudayaan mencatat, mumi itu diambil dan dijaga pemerintah sekisar 1950-an.
Mumi itu jauh-jauh dibawa dari Museum Benteng Rotterdam, Makassar, Sulawesi Selatan. "Berdasarkan beberapa data yang kami miliki, mumi ini pernah disita oleh Cagar Budaya Sulsel." Tampil bilang, muminya diambil dari daerah pekuburan batu di Toraja. Tidak dijelaskan lebih jauh, entah itu di Kete Kesu, Pekuburan Lemo atau di Londa.
"Orang ini meninggal, kira-kira saat umurnya belum mencapai 20 tahun. 18 atau 19 (tahun), kali ya. Saya atau kita (pemerintah) bisa mendeteksinya dari jumlah gigi yang masih utuh. Jika dihitung giginya, mumi itu masuk dalam kriteria orang yang meninggal muda."
Saya mengangguk. Ia juga menjelaskan, mengapa mumi ini bisa berada dan diurusi oleh pemerintah. Katanya, konon mumi ini akan diboyong oleh orang yang tak bertanggung jawab untuk diperjualbelikan. Apakah itu keluar negeri atau dalam negeri, Tampil tak begitu tahu kepastian informasinya.
Toh, sejak Mei 2018, Tampil sudah dimutasi ke Museum Kepresidenan Balai Kirti di Bogor. Semula, ia bekerja di Lembaga Sandi Negara (sekarang jadi Badan Siber Sandi Negara) selama enam tahun di Museum Sandi Yogyakarta milik BSSN.
Kasus yang disampaikan Tampil memang sempat mengagetkan saya dulu. Pernah sekali, tiga atau empat tahun yang lalu, kontributor dari Toraja mengirimi saya sebuah berita pendek dan cerkas. Waktu itu, saya masih bekerja di Makassar untuk media arus utama.
Isinya padat dan jelas: Satu mumi hendak dijual dan digagalkan kepolisian. Saya mencari kasus serupa dan akhirnya menemukan banyak jejak digital soal jual-menjual mumi itu. Seperti yang disampaika Kapolres Tana Toraja medio 2016 lalu.
Dilansir Rapler, oleh kepolisian, pada tahun 2014 lalu, dicatat sebanyak dua kasus pencurian mumi. Semuanya berhasil ditangani dan dibantu oleh warga sekitar. Jika ada yang berhasil, kira-kira berapa yang tidak berhasil diselesaikan dan luput dari pengawasan kita? Pikiran saya mengawang.
Kebanyakan, menurut komentar dari Kapolres Tator, AKBP Arief Satriyo (medio Rapler menurunkan laporannya), saat itu para pelaku mengaku tidak berani mencuri mumi. Mereka berdalih, hanya mengambil barang berharga yang ikut dikubur bersama tau-tau yang berarti mumi.
Di Toraja, bukan hanya mumi yang berharga. Makanya, dalih para pelaku juga masuk akal. Syahdan, kepolisian berhasil mengungkap pencurian barang berharga lainnya di kuburan Tana Toraja, yang dilakukan oleh turis. "Kalau warga sekitar sudah tidak ada yang berani mencuri tau-tau. Mereka takut kena tuah, katanya," ungkap Arief.
Seperti apa tuah itu? Arief mengaku, dari omong-omong orang Toraja dan masyarakat lokal, jika seseorang sudah berbuat hal yang terlarang di kuburan batu, maka keanehan cepat atau lambat akan terjadi pada pembuat hal ganjil tersebut. Semisal pada kasus pencurian mumi yang berusia 400 tahun.
Arief mengatakan, warga yang menemukan mumi itu, sempat membawa pulang tau-tau ke rumahnya dan disimpan selama sepekan. Saat itu pula, ia kerap dihantui. Suara mistis dan penampakan misterius dilihatnya. Sekali lagi, ini cuma "konon katanya".
Alhasil, dia menyerahkan mumi tersebut dengan lekas ke Markas Polres Tana Toraja. Begitu juga oleh petugas polisi yang berjaga di Mapolres Tana Toraja, jika selesai mengurus kasus-kasus soal mumi. Mereka sering mendengar suara langkah kaki di ruangan penyimpanan mumi. "Rumornya begitu, makanya orang di sana (Toraja) menganggap tau-tau sangat sakral," kata Arief.
Sewaktu kecil, saya pernah diajak oleh Kakek untuk berkunjung di sebuah rumah kecil di Toraja. Rumah itu berwarna-warni. Di dalam rumah, ada kaca seperti aquarium berisi tengkorak yang dulunya saya kira anak kecil. Rambut tengkorak itu panjang melewati kaki si jasad. Saya lupa, apakah gigi dari tengkorak itu panjang atau tidak; kukunya panjang atau tidak.
Di empat sudut kaca bagian luarnya, tegak sebuah patung setinggi anak-anak berusia enam sampai tujuh tahun bak pahlawan memegang tombak. Belakangan, saat beranjak dewasa, saya bingung, apakah itu kora-kora, jenglot atau mumi? Tidak tahu. Yang jelas, itu menyeramkan dan bikin bulu kuduk saya merinding jika mengingatnya.
Omong-omong, jika tidak berharga, pasti mumi itu tidak akan dicuri. Kesimpulan sederhana saya, semakin tua sebuah artefak atau peninggalan, maka makin mahal harganya. Bahagianya saya, orang-orang Toraja masih banyak yang tidak silau dengan duit. Jika semua gelap mata, maka isi kubur batu di Kete Kesu sudah habis dilego.
"Di Indonesia, banyak artefak dan peninggalan yang sudah melampaui akal." Ya, benar. Itu kesimpulan yang dibuat Tampil. Dua hal itu itu tidak bisa dinilai. Kalau mau materialis, berapa harga sebuah benda yang tak masuk akal, kira-kira?
Tampil bukanlah seorang asal Toraja. Darahnya Batak dan Jawa. Mengetahui hal itu, saya langsung memberi tahunya satu ritual magis yang ada di Tana Toraja yakni Ma'nene. Saat ritus ini dilangsungkan, mumi akan dibuat berdiri seperti manusia yang masih hidup. "Ya, itu yang saya bilang tadi, itu melampaui akal."
Soal Ma'nene, ada beberapa versi. Ada yang bilang, mayat itu dibuat berjalan. Media arus utama juga banyak menyebutnya dengan "mayat berjalan". Ada juga yang bilang, hanya dibuat berdiri saja. Saya mencoba bertanya lebih jauh kepada perempuan asal Toraja, Grace Andaresta.
"Kalau berdiri, iya. Cuma kalau berjalan, saya belum pernah lihat. Itu opini saya."
Sementara putri dari seorang pramuwisata di Toraja, Clara Tambing berpendapat lain. Dulunya, dalam ritual Ma'nene, mayat dibuat berjalan dengan menggunakan mantra khusus. Orang di Sulsel, menyebutnya bacabaca. "Konon begitu nyatanya, Tapi itu dulu. Sekarang cuma diberdirikan saja. Dibersihkan."
Lepas dari perdebatan itu, ritual Ma'nene dipercaya bisa membuat tanah pertanian di Toraja bisa subur. Entah apa hubungan mengawetkan mayat dan memperlakukan mumi dengan baik dengan hasil panen yang mantap setiap tahunnya. Inilah nilai magis dari tradisi dan ritus Ma'nene.
Tak lama, kucari soal penelitian ilmiah tentang bagaimana mayat itu bisa berjalan. Kekuatan logika macam apa yang melatari hal itu bisa terjadi. Sayangnya, data untuk mendukung gagasan di atas belum kudapat. Apakah ada misinformasi yang beredar soal Ma'nene atau saya yang kurang paham melihat dan mendengar soal ritus kuno itu?