Kita selama ini, mengenal Ki Hadjar Dewantara sebagai tokoh pendidikan nasional, tetapi tidak banyak yang mengetahui bahwa ia adalah seorang komponis, terutama untuk karya gamelan. Bagi Ki Hadjar, musik bukan semata timbunan suara dan bunyi, namun juga menjadi ruang-medium pergerakan, perjuangan, dan nasionalisme.
Hakikat gamelan bukan semata memainkan bunyi dan nada-nada, tetapi juga menjadi ruang penghubung bagi memori pergerakan nasionalisme kultural di negeri ini. Apabila dilihat lebih jauh, gamelan di masa penjajahan menjadi lakon pertarungan politis kultural, antara masyarakat pribumi dengan pemerintah kolonial.
Ki Hadjar Dewantara menjadi salah satu tokoh penting yang menginisiasi nasionalisme dalam musik. Penyebabnya sederhana, Belanda dan bangsa Eropa seringkali memandang rendah kaum jajahan dengan menyebutnya “primitif”. Tidak hanya dalam konteks perbedaan warna kulit, namun juga peradaban, kebudayaan, dan musik adalah salah satunya.
Ki Hadjar membuat satu karya musik monumental berjudul Kinanthie Sandoong. Karya itu terilhami dari tembang di Jawa, namun digarap dengan pola dan variasi baru yang unik. Kita bisa membaca jejak kekaryaan itu lewat tulisan R. Franki S. Notosudirdjo berjudul Modernisasi Musik dalam Abad Kedua Puluh(2016). Pertama, karya Kinanthie Sandoong ditulis untuk soprano dan piano. Kedua, transkrip pianonya didasarkan pada permainan instrumen gender dalam gamelan Jawa. Ketiga, digunakannya konsep harmoni ala musik Barat.
Di situlah titik awal musik kontemporer negeri ini dilahirkan. Keinginan Ki Hadjar tidak muluk, sekadar ingin membuktikan bahwa gamelan merupakan sumber bagi penciptaan musik baru. Gending gamelan adalah belantara ide yang dapat digubah menjadi berbagai macam tafsir dan karya yang lebih segar.
Karya Kinanthie Sandoong memang terdengar problematis. Di satu sisi ia memunculkan satu wacana pembelaan bagi tradisi gamelan bahwa: bergamelan bukan sekadar bermusik namun juga “berilmu pengetahuan”. Hal itu dituangkan melalui berbagai guratan pemikiran-gagasan Ki Hadjar, gamelan adalah sumber bagi terbentuknya jiwa manusia-manusia yang merdeka, menghargai perbedaan, dan tentu saja humanis.
Tapi di sisi lain, lahirnya Kinanthie Sandoong terkesan dipaksakan hanya menuruti kemauan politis agar gamelan setara dengan musik barat. Kritik ini muncul dalam artikel berjudul Toonkunts in de toekomst (masa depan musik) di jurnal Wederopbouw, 1920.
Secara musikalitas, karya Kinanthie Sandoong cukup menarik untuk dibaca. Walaupun karya itu menggunakan notasi barat, namun di beberapa bagian, terutama vokal dan piano, dimainkan secara improvisatoris. Hal ini membuka segala kemungkinan tafsir bagi musisi. Mereka tidak kaku layaknya mesin yang menjalankan kerja berdasar buku panduan.
Improvisasi digelar selayaknya pemain gender melakukan ornamentasi musikal pada gending. Kendatipun ia memiliki kebebasan untuk bertindak di luar kerangka gending, namun ada batas-batas kewajaran musikal yang mengikat. Dengan kata lain, improvisasi itu tetap dalam kontrol dan kesadaran yang penuh. Praktis, dalam setiap pentas akan memunculkan warna dan kontur musikal baru yang berbeda dari sebelumnya. Kinanthie Sandoong menjadi karya yang tak hendak menemukan kata titik.
Kehadirannya dianggap sebagai cikal bakal lahirnya karya-karya sejenis lainnya. Ada keberanian memunculkan gamelan sebagai wacana dan gagasan anyar yang menentang hegemoni musik barat. Dan lebih penting lagi, perkawinan antara barat dan timur yang diinisiasi oleh komposer pribumi mulai tumbuh dan berani hadir secara terang-terangan.
Dalam konteks yang demikian, Ki Hadjar hendak bersuara tentang sebuah kesetaraan kultur. Dalam musik, semua luruh, perbedaan menjadi tidak lagi penting, yang utama adalah kesatuan dan kebersamaan untuk mewujudkan karya. Hal ini terlepas dari persoalan musikal seperti embat, laras, pathet dan kontur melodi yang timpang antara keduanya (barat-timur). Kinanthie Sandoong pertama kali dipergelarkan di Den Haag, Belanda, tahun 1916.
Segera setelah dimainkan, karya itu menjadi perdebatan dan diskusi hangat di antara para akademisi musik, seniman, dan kalangan terpelajar lainnya. Persoalan utama yang hendak dibaca adalah musik sebagai sebuah simbol atau kode dari timbunan makna-makna.
Mendengarkan karya itu, rujukan kemudian tertuju pada kebudayaan musik di tanah asalnya, Jawa. Karya musikal, gending, menuntut para pemainnya untuk tidak soliter. Namun saling mendengar dan memperhatikan permainan dari musisi lain. Ada kode-kode musikal, “pertarungan” musikal, dan komunikasi-interaksi musikal yang terjadi saat gending dipergelarkan. Hal ini memicu munculnya, apa yang disebut sebagai budaya “adi luhung”, untuk mendekonstruksi “keklasikan” musik Barat.
Ki Hadjar membuat Kinanthie Sandoong sebagai gerbang awal bagi terwujudnya mimpi dan imajinasi untuk menjadikan Jawa dan Indonesia merdeka, setidaknya dalam konteks kultural dan seni. Kinanthie adalah sebentuk tembang dengan teks dan lirik yang terikat oleh aturan-aturan kata (guru lagu) beserta jumlahnya (guru wilangan).
Liriknya tidak semata tembang, namun juga puisi atau karya sastra. Karenanya di zaman itu, kata Sastra Gendhing lazim diucapkan untuk merujuk pada sebuah sikap bahwa musik selayaknya dapat mengungkap perasaan jiwa terdalam manusia. Barangkali, sebuah gending akan terasa membosankan dan lambat, namun kelambatan atau kesayuan itulah hidup. Di dalamnya terdapat sistem organisme, perputaran struktur kehidupan manusia, dari gong pembuka hingga gong penutup, permainannya akan senantiasa tumbuh dan semakin berkembang hingga mencapai titik kompleksnya (baca tingkatan gending).
Kinanthie Sandoong dan Ki Hadjar Dewantara mengajarkan kita tentang arti sebuah perjuangan kultural. Karya musiknya menjadi landasan atau pijakan awal bagi tersuarakannya wacana-wacana politis. Dengan demikian fakta-fakta musikal dalam Kinanthie Sandoong adalah cerminan dari fakta-fakta sosial dan kultural masyarakat Indonesia dan Jawa khususnya.
Kisah dan laku Ki hadjar Dewantara berdiam di karya itu. Gending, musik, dan bunyi menjadi monumen, tempat di mana timbunan realitas-fakta historis dibekukan. Tak ada salahnya kini kita kembali mendengarkan gending gamelan. Karena bergamelan bukan sekadar bermusik, namun juga wujud penghormatan bagi sebuah jasa, perjuangan,dan pengorbanan besar Ki Hadjar.
Penyunting: Nadya Gadzali