22 September 1883, belum sampai satu bulan pasca letusan Krakatau di Selat Sunda, di Amsterdam sudah terbit sebuah koran bernama “Krakatau”. Uniknya, koran itu terbitan perdana sekaligus terakhir. Berisi 4 halaman dan 4 kolom, di kepala berita (headline) dalam koran tertera “Eerste en Laatste Nommer” (nomor atau edisi pertama dan terakhir).
Koran ini semacam “koran amal”. Diterbitkan oleh sebuah komite di Amsterdam yang dibentuk khusus untuk menggalang donasi dan mengadakan lelang dalam rangka membantu korban letusan Krakatau. Bentuk simpati dan kepedulian masyarakat Eropa dan dunia pada peristiwa di Selat Sunda.
Lantas, apa kontennya?.
Halaman 1 terdiri dari tiga bahasa (Prancis, Belanda, dan Jerman) berisi informasi mengenai situasi Krakatau dan upaya yang tengah dilakukan. Misalnya, Angkatan Laut Belanda yang dibantu Inggris dan Amerika Serikat, bahu membahu memberi pertolongan, peta laut yang harus diperbaiki, peralatan komunikasi (kabel telegraf bawah laut) belum pulih dan populasi yang berkurang.
Kekacauan yang diakibatkan oleh letusan gunung juga digambarkan sedemikian rupa: tanah subur yang porak poranda, penyakit-penyakit yang bermunculan, korban yang terapung di lautan dan masyarakat yang putus asa dalam penderitaan.
Di kaki halaman pertama, tertulis prosa pendek karya Multatuli, berjudul "De Banjir" yang bersambung ke halaman dua. Temanya tentang letusan Krakatau, menggambarkan situasi saat bencana di beberapa bait syair dalam prosa ini.
Di halaman 2, tertulis artikel dan info dalam sejumlah bahasa (Swedia, Italia, Hongaria, Turki, dan Spanyol) dari kontributor. Ada pula puisi berjudul “Noodkreet” karya A. Winkler Prins.
Halaman 3 dipenuhi gambar yang tidak ada kaitannya dengan letusan Krakatau. Lambang kerajaan, jam bandul, rumah, sejumlah hewan, sepatu, hingga gigi palsu.
Halaman 4 terdiri dari beberapa aksara dan bahasa (Cina, Arab, Portugal, Jawi, Rusia, Sanskrit, Ibrani, Jepang, Spanyol). Tiga baris aksara Jawi, berisi ucapan terima kasih dari penduduk pribumi kepada (pemerintah atau orang) Belanda yang telah membantu korban di Banten dan Lampung.
Ada beberapa (tipografi) syair bahasa Belanda dan non-Belanda dalam koran ini. Selain itu, terdapat sejumlah kekeliruan dalam pencetakan aksara, seperti di aksara Jawi dan Sanskrit, mungkin juga aksara lainnya.
Informasi mengenai koran Krakatau edisi pertama sekaligus terakhir itu mungkin tidak diketahui oleh mayoritas masyarakat Indonesia, terutama Banten dan Lampung, dua daerah terdampak letusan Krakatau pada tahun 1883.
Teknologi kabel telegraf bawah laut yang belum lama muncul pada masa itu, berkontribusi menyebarluaskan informasi letusan Krakatau ke berbagai negara. Dampaknya, peristiwa itu menjadi ingatan global hingga saat ini.
Ada banyak ihwal menarik pasca letusan Krakatau. Beritanya memenuhi halaman koran-koran Belanda dan Hindia Belanda, dengan catatan korban sebanyak kurang-lebih 36 ribu jiwa.
Kekuatan letusannya, sekitar 4 kali lipat letusan bom atom yang meluluhlantakkan Hirosima-Nagasaki. Letusannya terdengar sampai ratusan kilometer dari sumber suara. Bahkan, memicu kenaikan gelombang air laut di benua Afrika.
Buku Krakatoa: The Day the World Exploded; August 27, 1883, karya Simon Winchester yang telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa, dapat menjadi rujukan mengenai hal-ihwal sekaitan dengan Krakatau 1883. Sangat banyak buku, jurnal, atau literatur lain yang membahas Krakatau dari berbagai aspek. Mayoritas dalam bahasa Belanda.
Masyarakat Indonesia mungkin lebih familiar dengan informasi tentang naskah Syair Lampung Karam karya Muhammad Saleh yang ditemukan Suryadi Sunuri di Perpustakaan Leiden, kemudian diterbitkan dalam “Syair Lampung Karam: Sebuah Dokumen Pribumi Tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883” (Komunitas Penggiat Sastra Padang, 2009).
Syair Lampung Karam berisikan semacam laporan saksi mata yang dibuat penulisnya saat (kemungkinan besar) berada di Lampung, ketika Krakatau meletus. Formatnya berbentuk karya sastra. Naskah ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Jhon Mc Glynn “Krakatau, The Tale of Lampung Submerged” oleh Yayasan Lontar, sebuah lembaga yang aktif mempromosikan karya sastra-budaya Indonesia ke mancanegara.
Berdasarkan terjemahan ini, naskah ini kemudian dialihwahanakan ke dalam pertunjukan teater. Sebagai informasi tambahan, jauh sebelumnya, tahun 1976 film Lampung Karam diproduksi di Malaysia berdasarkan naskah tersebut.
Puisi St. Telemachus karya Alfred, penyair Eropa yang terinspirasi perubahan iklim Eropa pasca letusan Krakatau. Novel “Dewi Krakatau” karya Zam Nuldyn (Medan) terbit 1976. Roman “Drama dari Krakatau” karya Kwee Tek Hoay (Drukkerij Hong Sing In Kiok, Batavia, 1929)
Lukisan fenomenal berjudul Scream karya Edvard Munch (Norwegia) yang terjual lebih dari satu triliun rupiah, terinspirasi dari langit dan cuaca Eropa pasca letusan Krakatau. Bahkan ada beberapa film layar lebar bertemakan letusan Krakatau.
Banyak buku-buku mengenai berbagai aspek sekaitan Krakatau yang terbit pasca letusan. Sampai dekade ini, masih banyak karya sastra berlatar Krakatau. Secara tidak langsung, turut mendekatkan riwayatnya ke hadapan dunia.
Tahun 1920-an, banyak foto klasik hitam-putih dan video Gunung Anak Krakatau yang didokumentasikan orang Belanda. Sebagian beredar di internet dan bisa diakses masyarakat. Cukup banyak juga video klasik hitam putih yang mendokumentasikan Krakatau, termasuk letusannya sekitar tahun 1920-an.
Untuk mengenang dan memperingati letusan Krakatau, pemerintah Provinsi Lampung menghelat Festival Krakatau, yang telah melewati tahun kedua puluh. Agenda tahunan ini telah menjadi semacam simbol atau identitas budaya dan pariwisata Lampung. Salah satu acara menarik di festival itu ialah berwisata ke Krakatau.
Kepingan-kepingan informasi mengenai sejarah Krakatau, sudah selayaknya ditemukan dan dirangkai kembali. Kenyataannya, justru pihak-pihak (pribadi dan lembaga) dari luar Lampung yang mengupayakan pengarsipannya. Fakta-fakta yang telah dijelaskan sebelumnya, menjadi bukti bahwa Krakatau masih menarik perhatian dunia internasional, sekaligus menjadi sumber inspirasi penulisan.
Masih banyak aspek sejarah sekaitan dengan Krakatau yang belum diketahui publik. Semestinya, peristiwa itu dapat melengkapi arsip dan dokumentasi yang sudah ada. Sayang sekali jika semua itu diabaikan. Memang, seiring kemajuan zaman dan temuan-temuan baru, problem-problem sejarah dan kebudayaan menjadi semakin kompleks.
Penyunting: Nadya Gadzali