Tiba-tiba seperti memasuki dimensi lorong deja vu, ketika saya melihat anak-anak perempuan di Desa Mbodak saling tawar-menawar dalam bermain pasar-pasaran. Pasalnya, permainan tradisional ini lazim dimainkan anak-anak yang lahir di tahun 90-an. Paling tidak, pernah melihat permainan itu semasa kecil.
Pedesaan boleh dikatakan rahim dari lahirnya berbagai tradisi dan nilai budaya di masyarakat. Jarang sekali permainan tradisional digunakan hanya untuk diri sendiri, melainkan dimainkan bersama-sama. Tradisi menjadi perilaku dasar yang terekam dalam ingatan kolektif dan menjadi cara pandang kehidupan di kemudian hari, selain daripada kenyataan bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk sosial yang mustahil berdiri sendiri.
Kearifan lokal dan budaya tradisional semakin tergerus zaman. Barangkali, memang tak mampu bersaing dengan modernitas yang semakin merangsek ke kehidupan masyarakat pedesaan. Hilangnya batas antara kota dan desa ditandai dengan senyapnya percakapan. Masyarakat kota dan desa kini lebih banyak bersosialisasi menggunakan gawai.
Kehidupan berjalan seiring waktu, kemudian mengubah interaksi sosial, individu dan kelompok. Beragam cara dilakukan untuk mengangkat kembali nilai-nilai kearifan melalui literasi, dialog-dialog verbal dan visual. Namun kebaruan modernitas sudah kadung meresap dalam keseharian masyarakat.
Desa dan kota sudah tak ada bedanya. Dulu, ketika seorang anak tak mengerti sesuatu yang dianggap baru, kerap dijuluki cah ndeso. Hari ini, hampir tak ada lagi sekat antara kota dan desa, sebab modernitas telah memasuki sendi kehidupan masyarakat pedesaan.
Menyinggahi ujung tenggara Kota Madiun, wilayah yang masih memelihara nilai budaya, tradisi dan kearifan lokalnya. Wilayah itu dikenal dengan Lembah Wilis oleh masyarakat, khususnya yang berada di Kabupaten Madiun.
Lembah Wilis adalah seluruh wilayah yang berada di lereng Gunung Wilis bagian barat. Wilayah paling ujung yang terletak di tenggara Kota Madiun dan ujung utara Kabupaten Ponorogo, sekaligus menjadi wilayah perbatasan kedua kabupaten tersebut.
Kegiatan di wilayah ini sebagian besar telah berganti dengan kebiasaan baru. Meski begitu, beberapa budaya lokal masih menjadi pakem ritual adat bagi penduduk di beberapa desa yang berada di kawasan Lembah Wilis.
Permainan dan Makanan Tradisional
Seingat saya, permainan tradisional banyak dilakukan oleh anak-anak usia 5 tahun di dua desa yang saya jumpai di Lembah Wilis, yaitu Desa Karangjati Ngawi dan Desa Mbodak. Dua desa ini berbeda dari sebagian wilayah di Lembah Wilis lainnya yang telah memiliki akses internat dan sinyal 4G. Sementara di desa lainnya, saya melihat anak-anak berpose di depan kamera, lalu mengunggahnya ke media sosial sebagai wujud aktualisasi diri.
Masyarakat Desa Mbodak hampir tak terpapar kemajuan zaman. Keceriaan yang dan kerukunannya, tercermin pada wajah anak-anak yang tampak berseri nan lugu, ketika mereka mengenakan pakaian dari daun talas saat bermain pasar-pasaran.
Dakon, permainan tradisional anak-anak generasi 90-an juga masih digemari di Desa Mbodak. Selain permainan tradisional pasar-pasaran dan dakon, wilayah ini juga memiliki makanan khas, yaitu sego jagung, sajian lezat bergizi tinggi yang kini sudah tak lagi diminati oleh masyarakat Lembah Wilis.
Jika pernah mendengar lagu ciptaan maestro Gesang yang dipopulerkan oleh penyanyi senior Waljinah dalam lagu camping gunong, sego jagung digambarkan sebagai hidangan yang lekat dengan masyarakat desa kala itu. Ada pula Didi Kempot yang pernah mengangkat ciri khas makanan tradisional masyarakat desa ini dalam lagunya yang berjudul kuncung.
Gejala modernitas dapat dirasakan dalam berbagai aspek dan lini kehidupan, mempengaruhi kegiatan dan kebiasaan masyarakat, sekaligus memberi pengaruh yang besar bagi budaya masyarakat pedesaan.
Identitas budaya yang lekat dengan masyarakat pedesaan suatu saat akan menjadi mitos bagi generasi selanjutnya. Sebagai contoh, permainan-permainan tradisional yang kini telah jarang dijumpai. Jikapun ada, hanya ditemui di beberapa daerah saja. Padahal, nilai kearifan lokal dapat menjadi medium pembangunan karakter.
Kearifan-kearifan lokal yang menjadi identitas daerah, kian tergerus oleh modernitas. Jika dulu tradisi tedak siten menjadi wujud rasa syukur orang tua untuk menyambut kemandirian bayinya yang mulai belajar berjalan, kini tak lagi menjadi ritual yang mudah ditemui. Hal ini mengindikasikan bahwa tradisi nenek moyang telah digantikan oleh budaya modern.
Ruwatan Bumi
Alam begitu banyak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, seperti manfaat yang dirasakan dalam pelaksanaan upacara ruwatan bumi pada Bulan Suro sebagai bentuk rasa syukur masyarakat di beberapa desa di Lembah Wilis, antara lain Desa Glatik, Desa Ngranget dan Desa Mbodak.
Wilayah yang subur memberi kemudahan bagi kehidupan masyarakat desa. Meskipun padi tak bisa ditanam di sana, namun berbagai komoditi lain yang memiliki nilai ekonomi, tumbuh subur di Lembah Wilis. Cengkeh, durian, jagung, bahkan porong yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi, dibudidayakan di sana.
Jika ruwatan bumi adalah wujud rasa syukur masyarakat atas hasil panen yang berlimpah, maka masyarakat Lembah Wilis juga menjadikan ritual wiwit sebagai ritual kepercayaan, yaitu menentukan hari baik untuk menanam menurut pasaran atau tanggal menurut sistem penanggalan Jawa, kemudian mereka akan menaruh takir yang telah didoakan di salah satu sudut lahan yang akan ditanami. Kepercayaan ini diturunkan oleh nenek moyang sebagai doa dan harapan mereka atas karunia Tuhan YME yang telah melimpahkan rejeki berupa hasil bumi.
Larung Sesaji
Sekitar 20 kilometer ke arah selatan dari Desa Mbodak, menembus hutan jati dan kebun jagung lereng Gunung Wilis, Telaga Ngebel, serta perbatasan dua Kabupaten Madiun dan Ponorogo—sebuah kawasan dijadikan lokasi pelaksanaan ritual Larung Sesaji pada Bulan Suro. Ritual ini dimaknai sebagai ritual bersih desa yang termasuk ke dalam ritual tolak bala.
Larung Sesaji menjadi daya tarik bagi pengunjung untuk menyimak kesakralan ritual tolak bala, serta menjadi momen untuk menyaksikan beragam sajian pertunjukan kesenian Reog Ponorogo, Wayang Kulit, Festival Musik Tradisional, Jatilan, serta beragam kuliner khas daerah setempat.
Kegiatan ini diselenggarakan pada pagi hari. Diawali dengan doa dan selamatan. Dilanjutkan dengan pertunjukan kesenian Reog, Jatilan, dan Gambyong untuk mengiring ritual Larung Sesaji. Setidaknya, terdapat lima buceng (tumpeng) yang menjadi syarat ritual dan diarak menuju ke pintu utama telaga menggunakan getek.
Sesaji dilarung ke tengah telaga, melibatkan tokoh masyarakat setempat dan warga sekitar. Malam harinya, pertunjukan digelar dan menampilkan kesenian musik tradisional atau musik populer. Sebagai penutup ritual Larung Sesaji, kesenian Wayang Kulit menjadi menutup rangkaian ritual dengan menampilkan fragmen legenda rakyat setempat.
Di Lembah Wilis, jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya cukup berjauhan, sekitar 20 meter hingga 50 meter. Kendati demikian, penduduknya tetap akrab. Kerukunan dapat dijumpai pada sejumlah anak yang sedang bermain pasar-pasaran atau pada saat Gugur Gunung.
Gugur Gunung adalah kerja bakti yang dianut oleh masyarakat setempat di salah satu wilayah pegunungan di Jawa Timur. Kawasan ini memang tak setenar Gunung Bromo, Gunung Kelud, dan Gunung Lawu. Kendati tak sedigdaya pegunungan yang berada dalam deretan destinasi wisata unggulan, namun Gunung Wilis memiliki suhu udara yang hangat, panorama alam yang indah, serta kearifan lokal dan kultur masyarakat yang masih terperlihara.
Sifat ramah menjadi ciri khas masyarakat yang mendiami Lembah Wilis. Hal menarik lainnya, di wilayah ini masih terdapat hewan-hewan langka yang dilindungi, seperti merak, ayam hutan emas, landak, trengiling, elang jawa dan lain sebagainya. Saat musim panen durian, Telaga Ngebel menyajikan festival berbagai jenis durian yang dapat disantap gratis asalkan tidak dibawa pulang.
Penyunting: Nadya Gadzali